***Wajah Eyang Salma memerah. Wanita tua yang berpenampilan nyentrik itu menatap Pak Handoko nyalang. "Jangan lupa kalau Eyang adalah tetua di keluarga kita, Delia," ucapnya dingin. "Semua perkataan Eyang harus dipatuhi."Delia tersenyum getir. "Jangan berlagak bahwa selama ini Eyang peduli pada kami.""Jaga batasanmu, Delia!" bentak Bibi Husniah. "Berani sekali bicara seperti itu pada Eyang, hah?!""Cukup, sudah, cukup!" Pak Handoko menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. "Tidak seharusnya kita berseteru di depan para tamu. Ini memalukan!"Delia kembali menunduk. Keluarganya memang dari kota, tapi sikap dan sifatnya sangatlah kampungan. Berbeda dengan keluarga Haikal yang terlihat begitu tenang pada setiap situasi."Dengarkan aku baik-baik, yang tidak setuju dengan pilihan Delia, boleh keluar dari rumah ini sekarang juga. Tidak terkecuali Ibu," ucap Pak Handoko tegas. "Delia adalah putriku, aku tau mana yang terbaik untuk anakku. Silahkan!"Eyang Salma membuang muka. B
***Emak menepuk lengan Yu Jamilah sambil berdesis, "Ssttt, masuklah ke rumah orang dalam keadaan buta, Mila!"Bahu Yu Jamilah merosot. "Ya maaf, Mak. Tapi lucu aja gitu, ternyata dari tadi mereka merendahkan Mas Haikal karena tidak tau kalau calon suami Neng Delia itu kaya raya. Iya kan?"Emak menatap tajam Yu Jamilah membuat saudara suaminya itu seketika terdiam takut. Sementara di samping Emak, Delia hanya tersenyum dan menyahut. "Tidak apa-apa, Mak. Lagipula yang Bibi Jamilah katakan itu benar."Yu Jamilah manggut-manggut penuh kemenangan. "Tuh kan ....""Alhamdulillah!""Haduh, Bu, bikin panik saja!"Anak-anak Eyang Salma saling menggerutu. Bagaimana tidak, Eyang yang datang dalam keadaan sehat tiba-tiba pingsan di tengah-tengah acara hanya karena mengetahui siapa Haikal sebenarnya. "Delia benar dilamar petani kaya, Rah?" tanya Eyang sekonyong-konyong. Belum reda pening yang dirasa, sebuah pertanyaan
***"Ish, apa-apaan sih, Del," gerutu Erina. "Kita cuma pilih-pilih kok disini, kamu itu harusnya berbagi, kita kan saudara.""Del, pokoknya kain ini punya Mbak, Mbak gak mau kalau diambil Erina. Enak saja!" sahut Meisya ketus. "Mbak Del, sandalnya boleh buat aku?" Anisah turut menimpali. Sepasang sandal sudah terbuka dari tempatnya. Delia meradang, sandal flat dengan tampilan cantik dengan warna putih itu sudah melekat di kaki Anisah yang lebar. "Sama itu juga, make up-nya sama kayak punya, Mbak. Buat aku juga ya!" Delia makin naik pitam kala wadah make up sudah terbuka dan beberapa isinya berjajar di atas ranjang. "Keluar!" teriak Delia lantang. "Jangan bawa apapun dari kamar ini. Keluar semuanya!" Suara Delia berhasil membuat semua orang ketakutan. Erina sontak menjauh, begitupula dengan Anisah. Namun ketika putri Bibi Husniah itu berlari, Delia justru berteriak kesal. "Aarghh ....!"Pak Handoko dan Bu Sarah tunggang l
***"Kue segitu banyak buat Bibi Husniah dan Bibi Naomi?" Jaka menimpali. "Eyang gak salah ngomong kan?"Meisya bersedekap dada, jengah melihat sikap dan tingkah keluarga suaminya. "Yang benar saja, Eyang, masa kue segitu banyak cuma buat Bibi Hus sama Bibi Nao. Gak logis, cacat logika!"Eyang menatap Meisya sengit. Wanita tua yang berdiri dengan sedikit gemetar itu mulai melangkah perlahan mendekati Delia. "Aku tidak mau mendengar apapun, Eyang," kata Delia lemah. "Hari ini cukup melelahkan, aku harap Eyang tidak berkata-kata yang membuat hatiku semakin lelah."Eyang menggeleng. Jemari Delia yang tersemat cincin berlian indah digenggam dan dipandang cukup lama. "Kamu sudah dapat banyak dari calon suamimu, Del. Tidak ada salahnya kalau kue-kue itu untuk Bibi kamu kan?""Bu, sudahlah, aku sudah membagi kue untuk Husniah dan Naomi, jangan memaksa begitu," ujar Bu Sarah menengahi. "Lagipula semua kue dari Haikal tidak serta merta kami habiskan, kami punya tetangga, Bu, kue-kue itu renca
***"Cari jodoh kenapa harus jauh-jauh begini sih, Le?" tanya Yu Rani, tetangga samping rumah Emak Karti. "Bukannya Bulek ini gak suka sama calon istri kamu, Haikal, tapi ... keluarganya kasar sekali."Haikal yang duduk di samping Kang Dirman hanya mampu tersenyum. Mau dibantah model bagaimanapun, keluarga Delia memang kasar terlepas dari sikap Pak Handoko dan Delia yang begitu ‘welcome’ pada tamu."Mereka tidak seharusnya bersikap kasar hanya karena kamu ini petani kan?" seloroh Yu Rani lagi. "Bulek tadi hampir jingkrak-jingkrak waktu lihat Eyang Delia pingsan gara-gara tahu kamu ini anak juragan sawah dan kebun. Puas sekali Bulek, Haikal!"Kang Dirman tertawa disusul dengan tawa Yu Jamilah dan suaminya-- Paklik Junaedi. "Benar, Yu, tadi aku juga hampir terpingkal-pingkal. Bagaimana tidak, wajah keluarga Neng Delia terlihat sangat syok. Mungkin mereka tidak menyangka kalau ada petani yang ternyata kaya raya.""Lah, iya. Masa cuma karena Haikal ini petani lantas bisa diperlakukan kasa
***"Del ....""Aku capek, Mbak," sela Delia, "Kalau Mbak Meisya cuma mau ngajak ribut, mending besok-besok aja deh," imbuhnya.Meisya menggigit bibir bawahnya gusar. "Ehm ... cuma kain kok, Del," katanya ragu. "Mbak dari dulu pengen punya kain sutra teratai seperti punyamu, boleh ya, Del?"Delia menoleh. Matanya lelah tidak lantas membuat Meisya iba. Istri Jaka itu berdiri di depan kamar Delia dengan penuh harap. Bayangan menggunakan baju berbahan sutra membuatnya rela mengemis di depan Delia."Minta sama Mas Jaka," kata Delia jengah. "Mbak punya suami, beli kain sutra bukan perkara sulit kan?""Mas Jaka pasti menolak membelikan, Delia, kamu tau kan seperti apa pelitnya Masmu itu." Meisya cemberut manja di depan Delia. "Ayolah, Del, demi Mbak ...."Delia terkekeh, "Demi Mbak? Gak salah?" Meisya mencebik. Jika saja bukan karena kain yang begitu ia idam-idamkan, tidaklah sudi wanita berambut pirang itu memohon-mohon di depan Delia."Mbak, kalau Mas Jaka tidak mau membelikan kain itu b
***"Maafkan Ibu ...."Delia menggigit bibirnya yang ranum. Sejenak ia menatap Bulek Nina dengan pandangan sendu, lalu beralih menatap Bu Sarah dengan perasaan yang tidak bisa digambarkan. Antara sedih dan senang. Sedih karena Ibunya mendengar perbincangannya dengan Bulek Nina. Senang karena mendengar Bu Sarah menurunkan ego dengan meminta maaf. Luruh sudah kemarahan Delia."Ibu memang egois, Del. Maafkan Ibu ...."Delia menghambur di pelukan Bu Sarah. Wanita muda itu menangis sambil menggeleng. "Aku yang seharusnya minta maaf, Bu. Aku sudah bersikap tidak baik pada Ibu. Maafkan aku," ucap Delia di tengah tangisnya yang sesenggukan. "Aku ... aku hanya tidak suka Ibu terlalu mengagungkan Mas Faisal. Dia sudah beristri, Bu, terlepas dari istrinya yang tidak bisa punya anak, aku tidak sudi menyakiti hati wanita lain. Tidak akan pernah aku lakukan!"Bu Sarah menepuk-nepuk punggung Delia lembut. "Ibu hanya ingin memastikan kalau kamu hidup sejahtera setelah menikah, Delia. Ibu ... ibu sang
***"Ini mobil siapa, Bu?" Meisya bertanya setelah cukup lama tercengang. "Mulus sekali," pujinya tanpa sadar."Benar-benar baru ya, Mbak, beda sama punya Mas Jaka," timpal Delia menyindir. "Warna catnya aja masih mengkilat." Delia menarik ujung bibirnya sinis ketika mendapati kepala Meisya mengangguk tanpa sadar. "Itu mobil Mas Haikal," ucap Delia membuat tiga kepala manusia di sampingnya menoleh bersamaan."Pu-- punya Haikal?" tanya Jaka kaget."Hah, punya petani itu, maksudku ... mobil ini punya calon suamimu, Delia?" Meisya mendelik tidak percaya. "Mobil ini mahal, Del, bagaimana bisa dia ....""Kok percaya," sahut Fatimah menyela. "Zaman sekarang banyak rental mobil. Gitu aja kalian syok!" Fatimah menyembunyikan mimik mukanya yang sempat terkejut. Jaka menarik napas dan menghelanya perlahan. Dipandanginya mobil milik Haikal dengan mobilnya secara bergantian. Berbeda. Dari segi warna saja sudah terlihat timpang. Mobil Haikal berwarna merah menyala serta begitu mengkilat, sementar