***"Del ....""Aku capek, Mbak," sela Delia, "Kalau Mbak Meisya cuma mau ngajak ribut, mending besok-besok aja deh," imbuhnya.Meisya menggigit bibir bawahnya gusar. "Ehm ... cuma kain kok, Del," katanya ragu. "Mbak dari dulu pengen punya kain sutra teratai seperti punyamu, boleh ya, Del?"Delia menoleh. Matanya lelah tidak lantas membuat Meisya iba. Istri Jaka itu berdiri di depan kamar Delia dengan penuh harap. Bayangan menggunakan baju berbahan sutra membuatnya rela mengemis di depan Delia."Minta sama Mas Jaka," kata Delia jengah. "Mbak punya suami, beli kain sutra bukan perkara sulit kan?""Mas Jaka pasti menolak membelikan, Delia, kamu tau kan seperti apa pelitnya Masmu itu." Meisya cemberut manja di depan Delia. "Ayolah, Del, demi Mbak ...."Delia terkekeh, "Demi Mbak? Gak salah?" Meisya mencebik. Jika saja bukan karena kain yang begitu ia idam-idamkan, tidaklah sudi wanita berambut pirang itu memohon-mohon di depan Delia."Mbak, kalau Mas Jaka tidak mau membelikan kain itu b
***"Maafkan Ibu ...."Delia menggigit bibirnya yang ranum. Sejenak ia menatap Bulek Nina dengan pandangan sendu, lalu beralih menatap Bu Sarah dengan perasaan yang tidak bisa digambarkan. Antara sedih dan senang. Sedih karena Ibunya mendengar perbincangannya dengan Bulek Nina. Senang karena mendengar Bu Sarah menurunkan ego dengan meminta maaf. Luruh sudah kemarahan Delia."Ibu memang egois, Del. Maafkan Ibu ...."Delia menghambur di pelukan Bu Sarah. Wanita muda itu menangis sambil menggeleng. "Aku yang seharusnya minta maaf, Bu. Aku sudah bersikap tidak baik pada Ibu. Maafkan aku," ucap Delia di tengah tangisnya yang sesenggukan. "Aku ... aku hanya tidak suka Ibu terlalu mengagungkan Mas Faisal. Dia sudah beristri, Bu, terlepas dari istrinya yang tidak bisa punya anak, aku tidak sudi menyakiti hati wanita lain. Tidak akan pernah aku lakukan!"Bu Sarah menepuk-nepuk punggung Delia lembut. "Ibu hanya ingin memastikan kalau kamu hidup sejahtera setelah menikah, Delia. Ibu ... ibu sang
***"Ini mobil siapa, Bu?" Meisya bertanya setelah cukup lama tercengang. "Mulus sekali," pujinya tanpa sadar."Benar-benar baru ya, Mbak, beda sama punya Mas Jaka," timpal Delia menyindir. "Warna catnya aja masih mengkilat." Delia menarik ujung bibirnya sinis ketika mendapati kepala Meisya mengangguk tanpa sadar. "Itu mobil Mas Haikal," ucap Delia membuat tiga kepala manusia di sampingnya menoleh bersamaan."Pu-- punya Haikal?" tanya Jaka kaget."Hah, punya petani itu, maksudku ... mobil ini punya calon suamimu, Delia?" Meisya mendelik tidak percaya. "Mobil ini mahal, Del, bagaimana bisa dia ....""Kok percaya," sahut Fatimah menyela. "Zaman sekarang banyak rental mobil. Gitu aja kalian syok!" Fatimah menyembunyikan mimik mukanya yang sempat terkejut. Jaka menarik napas dan menghelanya perlahan. Dipandanginya mobil milik Haikal dengan mobilnya secara bergantian. Berbeda. Dari segi warna saja sudah terlihat timpang. Mobil Haikal berwarna merah menyala serta begitu mengkilat, sementar
***"Kok bawa elf, Rin?" Suara Bibi Husniah memecah keheningan. "Calon suamimu gak punya mobil?"Erina mencebik kesal. Apalagi ketika matanya bersirobok dengan mata Delia, calon istri Haris itu seketika membuang muka. "Mobil Mas Haris ada di bengkel. Ya sudahlah, Bude, mau pakai mobil elf kek, mobil mahal kek, yang penting keluarga calon suamiku datang dengan selamat," jawab Erina ketus. "Kalau Bude mau nyinyir di acaraku, mending pulang deh!"Bibi Husniah melongo melihat sikap Erina yang mendadak sensitif. "Y-- ya ... Bude kan cuma tanya, Rin. Santai dong!" sahut Bibi Husniah tak mau kalah. "Lagian kalau mobil Haris di bengkel, ya tinggal jawab aja gak pake ngegas!"Erina menatap Bibi Husniah dengan dada naik turun. Kesal. Pertama karena kedatangan Haris yang menimbulkan rasa malu. Bagaimana bisa seorang abdi negara melamar kekasihnya menggunakan mobil elf? Kedua karena Bibi Husniah mencecarnya di depan banyak orang. Apalagi di depan Delia dan Haikal, Erina mendadak geram mengingat
***"Beda bagaimana maksudnya?" Haris bersuara. "Ya beda. Coba lihat, punya Mbak Erina berkilau sekali.""Kalau seperti itu berarti sudah jelas, Nis, punyaku ini asli sementara milik Delia ... ya kita maklumi saja, petani mana bisa beli berlian asli," sahut Erina sombong. "Del, jangan sedih kalau ternyata berlian kamu itu palsu, kasihan Haikal, dia sudah susah payah menipu," imbuhnya disusul gelak tawa Haris dan keluarganya."Jadi ini saudara kamu yang dilamar petani, Erin?" tanya Bu Nela seraya menatap Delia remeh. "Cantik sih, tapi kok mau-maunya sama petani. Itu calon suami kamu?" Bu Nela menunjuk Haikal dengan telunjuknya.Delia mengangguk. Senyum di wajahnya menandakan bahwa ucapan Erina bagai angin lalu di telinganya."Iya, Tante. Ini calon suami saya," jawab Delia bangga. "Salam kenal," ucapnya lagi.Bu Nela menarik ujung bibirnya sinis. Pun dengan Pak Galih, pria paruh baya itu menepuk-nepuk pundak Haris seolah memberi tahu semua orang bahwa putranya lebih segalanya dari Haik
***"Surat-surat apa yang kamu bilang sama Bibi Naomi tadi, Del?" tanya Fatima penasaran. "Haris sampai menoleh, dia kelihatan marah sekali. Cincin Erina palsu ya?"Delia mengedikkan bahu. Dia membuang muka menatap jalanan alih-alih menjawab pertanyaan Fatima. Entah mengapa, rasa sakit hati pada kakak keduanya belum juga surut. Teringat bagaimana Fatima mencaci dan menghina Haikal, calon suaminya. "Delia?" Panggil Fatima, "Surat-surat apa sih?""Apa sih, Mbak," jawab Delia ketus. "Jangan dibiasakan kepo urusan orang lain. Gak baik!""Makanya cerita, surat apa yang kamu maksud? Cincin Erina pasti palsu kan, atau ... cincin kamu yang palsu?" selidik Fatima sambil melirik Haikal. "Kamu ... benar petani kaya, Haikal? Cincin Delia bukan berlian palsu kan?"Haikal tersenyum tipis menanggapi ocehan Fatima. Pria bertubuh tegap itu bahkan tidak mengalihkan sedikitpun pandangannya pada jalanan yang ada di depan. "Fatima!" tegur Bu Sarah, "Jaga ucapan kamu!""Aku cuma bertanya, Bu. Benar yang
***"Kamu gila, Mbak!" Tanpa sadar, Delia berteriak marah. "Apa yang kamu harapkan dari seorang lelaki yang sudah beristri, hah? Otakmu sudah gak waras, bagaimana bisa mengorbankan sesuatu yang berharga hanya demi ....""Ini bukan tentang ‘hanya’, Delia," sela Fatima. Suaranya yang bergetar justru membuat Delia semakin muak. "Aku mencintai Mas Faisal, sangat mencintainya. Dia tidak bisa menikahiku karena istrinya tidak mau madu yang usianya lebih tua darinya, itu sebabnya Mas Faisal memilih kamu. Aku selama ini hanya berpura-pura setuju dengan kecintaannya padamu, Delia, tapi apakah kamu tahu ... aku ... sebenarnya sangat membencimu!"Plak !!!"Ibu ...." Delia memekik."Bu!" Suara tegas Pak Handoko membuat tangan Bu Sarah bergetar.Haikal menarik napas panjang, pria yang sedang duduk di balik kemudi itu berbicara sebelum bibir Delia terbuka untuk mengatakan sesuatu yang bisa menjadikan keributan ini makin memanas."Bisa kamu diam sebentar saja, Delia, setidaknya sampai mobil kita samp
***"Pak, aku ada urusan sebentar dengan Mas Haikal, boleh kami keluar?" Pak Handoko memindai wajah Delia dan Haikal bergantian. Meskipun keduanya sudah terikat cincin tunangan, tetap saja rasa khawatir bergelayut di hati pria paruh baya itu apalagi baru saja telinganya mendengar kebenaran yang mengejutkan tentang Fatima. "Kami ... cuma mau berbincang di Cafe ...."Haikal menggenggam jemari Delia sembari menggeleng. Wajah perempuan cantik itu memanas. Jantungnya berdegup kencang ketika matanya menatap dua tangan yang saling menggamit. "Kenapa harus berbohong pada Bapak?" tanya Haikal dengan suara rendah. "Bapak berhak tau semua yang berkaitan dengan Faisal, Dek," kata Haikal lagi. "Kenapa, ada apa lagi, Delia?" cecar Pak Handoko setengah panik. "Kamu menyembunyikan apa lagi dari Bapak, Nak?"Delia melirik Fatima yang masih menangis di ruang tamu sementara Bu Sarah menyandarkan punggungnya di sofa dengan mata terpejam. "Istri Faisal meminta bertemu dengan Delia, Pak," ucap Haikal.