***"Kamu gila, Mbak!" Tanpa sadar, Delia berteriak marah. "Apa yang kamu harapkan dari seorang lelaki yang sudah beristri, hah? Otakmu sudah gak waras, bagaimana bisa mengorbankan sesuatu yang berharga hanya demi ....""Ini bukan tentang ‘hanya’, Delia," sela Fatima. Suaranya yang bergetar justru membuat Delia semakin muak. "Aku mencintai Mas Faisal, sangat mencintainya. Dia tidak bisa menikahiku karena istrinya tidak mau madu yang usianya lebih tua darinya, itu sebabnya Mas Faisal memilih kamu. Aku selama ini hanya berpura-pura setuju dengan kecintaannya padamu, Delia, tapi apakah kamu tahu ... aku ... sebenarnya sangat membencimu!"Plak !!!"Ibu ...." Delia memekik."Bu!" Suara tegas Pak Handoko membuat tangan Bu Sarah bergetar.Haikal menarik napas panjang, pria yang sedang duduk di balik kemudi itu berbicara sebelum bibir Delia terbuka untuk mengatakan sesuatu yang bisa menjadikan keributan ini makin memanas."Bisa kamu diam sebentar saja, Delia, setidaknya sampai mobil kita samp
***"Pak, aku ada urusan sebentar dengan Mas Haikal, boleh kami keluar?" Pak Handoko memindai wajah Delia dan Haikal bergantian. Meskipun keduanya sudah terikat cincin tunangan, tetap saja rasa khawatir bergelayut di hati pria paruh baya itu apalagi baru saja telinganya mendengar kebenaran yang mengejutkan tentang Fatima. "Kami ... cuma mau berbincang di Cafe ...."Haikal menggenggam jemari Delia sembari menggeleng. Wajah perempuan cantik itu memanas. Jantungnya berdegup kencang ketika matanya menatap dua tangan yang saling menggamit. "Kenapa harus berbohong pada Bapak?" tanya Haikal dengan suara rendah. "Bapak berhak tau semua yang berkaitan dengan Faisal, Dek," kata Haikal lagi. "Kenapa, ada apa lagi, Delia?" cecar Pak Handoko setengah panik. "Kamu menyembunyikan apa lagi dari Bapak, Nak?"Delia melirik Fatima yang masih menangis di ruang tamu sementara Bu Sarah menyandarkan punggungnya di sofa dengan mata terpejam. "Istri Faisal meminta bertemu dengan Delia, Pak," ucap Haikal.
***"Sudah tau orangnya?" tanya Haikal. Matanya mengawasi semua pengunjung Cafe yang sebenarnya tidak banyak. "Coba kirim pesan dia pakai baju apa?""Sepertinya dia, Mas." Delia menunjuk seorang wanita cantik dengan dagunya. "Sejak tadi aku perhatikan dia melihat ke arah kita."Haikal menggandeng tangan Delia dan berjalan mendekati meja paling ujung. Seorang wanita dengan dua balita yang duduk anteng di sebelahnya."Mbak Kamila?" Delia menyapa takut-takut. "Benar?"Kamila mengangguk seraya tersenyum tipis. "Ternyata feeling saya benar," jawab Kamila, "Sejak tadi saya perhatikan kamu, ternyata feeling saya tidak meleset. Kamu memang Delia. Silahkan duduk!""Saya pesankan minuman ya?" tawar Kamila ramah."Tidak perlu, Mbak," tolak Delia. Ia duduk di samping Haikal. "Ini anak ....""Anak saya," sela Kamila cepat, "Anak Mas Faisal," imbuhnya.Delia menatap Haikal cukup lama. "Jadi kalian sudah punya anak?"Kamila mengusap bekas es cream di bibir putranya dengan lembut. Wanita cantik itu m
***"Erin, kita jalan-jalan saja dulu ya, Ibu barusan kirim pesan katanya rumah lagi berantakan banget," kata Haris, "Lagipula sebentar lagi kita menikah loh, Rin, kamu juga bakalan tau rumahku kan?"Erina cemberut. Tiga bulan berkenalan dengan Haris, belum sekalipun ia dibawa pulang. Terlebih, keduanya sekarang sudah bertunangan. Bukankah itu aneh?"Aku cuma mau silaturahim sama keluarga kamu, Mas Haris," ujar Erina setengah dongkol. "Kita sudah mau menikah loh, kenapa sekedar ajak aku main ke rumah kamu aja susah banget sih!""Atau jangan-jangan ada yang kamu sembunyikan dari aku?" Haris meneguk ludahnya kasar. Pria berperawakan tinggi tegap dan berkulit bersih itu menggenggam jemari Erina dengan erat. "Rin, bukan begitu, tapi ....""Kalau gak ada yang kamu sembunyikan, ya sudah, ayo kita ke rumah kamu sekarang. Heran deh, udah mau menikah tapi belum pernah diajak main ke rumahnya, aneh!""Erin ...." Haris memanggil dengan suara rendah. "Bahkan Delia juga belum pernah ke rumah Haik
***"Ibu restu, Haikal. Ibu merestui kalian berdua, Le," kata Bu Sarah membuat tangis Delia pecah. Lagi, Haikal mencium punggung tangan calon mertuanya dengan takzim. Berulang kali pria berwajah tampan itu menghela napas perlahan. Kesabarannya membuahkan hasil. Restu telah ia kantongi setelah beberapa kali mendapat penolakan hanya karena ia adalah seorang petani. "Ibu sungguh minta maaf, Le ....""Kekhawatiran Ibu bisa saya maklumi," sahut Haikal bijak. "Sekalipun saya petani, tolong beri saya kepercayaan bahwa kebahagiaan Delia tidak akan pernah pupus, Bu."Bu Sarah mengangguk sambil menepuk pundak Haikal beberapa kali. Ruang tamu yang semula memperdengarkan perdebatan-perdebatan kecil kini menjadi riuh isak tangis. Pak Handoko memeluk bahu Delia erat-erat. Bangga dengan ketulusan yang Delia miliki selama ini, sementara Bu Sarah, wanita paruh baya itu berulang kali menyusut hidungnya yang berair. Tentulah merasa haru dengan sikap Haikal yang begitu l
***"Diam kamu, Rin!" desis Delia sambil terus mengulas senyum menatap dua wanita di depannya. "Jangan bikin malu!"Erina meneguk ludahnya kasar. Katalog yang sempat dia genggam kini diletakkan di atas meja dengan tangan bergetar."Kamu kenapa, Rin, sakit?" Bu Sarah datang sembari membawa beberapa gelas berisi minuman segar. "Pucat sekali wajahmu," kata Bu Sarah lagi."Silahkan diminum, Mbak-mbak cantik," pinta Bu Sarah mempersilahkan. "Wah, jadi repot-repot begini, terima kasih, Bu," jawab wanita muda di depan Delia. "Untuk catering dan semua tetek bengek pernikahan, Pak Haikal sudah memasrahkan semuanya pada kami. Namun untuk perihal gaun, Pak Haikal ingin Mbak Delia sendiri yang memilih," tutur wanita muda itu dengan lembut."Acaranya berlangsung sehari penuh di Hotel Surabaya. Biasanya kami menyediakan empat gaun untuk pasangan pengantin, tapi kemarin Pak Haikal mengatakan kalau Mbak Delia bebas memilih berapa gaun untuk acara pernikahan nanti," lanjut wanita cantik itu lagi. "Su
***"Itu-- itu beneran kalau mahar Delia lima puluh juta, Fat?" bisik Meisya. Fatima mengedikkan bahu tak acuh. "Fat, kamu juga dengar kan kalau Haikal bilang lima puluh juta tadi, dengar kan, Fat?" "Dengar, Mbak," jawab Fatima malas. "Mbak pikir aku tuli?" "Bukan begitu, Fatima, tapi ... kamu kenapa biasa saja dengar mahar Delia yang fantastis? Kamu gak kaget, hah? Lima puluh juta itu banyak loh!""Ya, terus? Mbak mau aku jingkrak-jingkrak gak jelas hanya karena mahar Delia, begitu? Atau Mbak mau aku seperti Erina, tuh, dia mau pingsan," ujar Fatima sambil menunjuk Erina di kursinya. "Aku gak kaget mau berapapun mahar yang Haikal kasih, dia memang kaya."Meisya mencengkeram kedua bahu Fatima dan menatap adil iparnya itu lamat-lamat. "Kamu yakin kalau dia kaya, Fat? Maksudku ... kamu beneran tahu dia petani kaya raya?"Fatima melepaskan tangan Meisya dengan kasar. "Punya otak setidaknya buat mikir. Bisa menggelar acara
***"Kamu baik-baik saja, Fat?" tanya Meisya panik. "Mas, adikmu!" ucap Meisya setengah berteriak memanggil Jaka. Tubuh Fatima terasa dingin. Tengkuknya berat, kepalanya seperti berputar, belum lagi isi perut yang rasanya seperti diaduk. Mual. Fatima mual berada di keramaian yang bising. "Ada apa?" Pak Handoko menangkap raut khawatir di wajah Bu Sarah. "Fatima, Pak."Pak Handoko mencari-cari sosok Fatima yang ternyata sedang berdiri tidak jauh dari tempatnya duduk. Semua keluarga duduk di tempat yang sudah disediakan. Namun entah mengapa putri kedua Pak Handoko itu terlihat berdiri sambil mencengkram perutnya kuat-kuat. Suasana gedung yang semula hening kini disulap menjadi pesta yang riuh. Suara musik mulai terdengar membuat bising suara para tamu tidak lagi terdengar. Acara akad nikah yang sakral telah usai, Haikal dan Delia melanjutkan rangkaian acara selanjutnya di tempat yang sama. Resepsi pernikahan indoor namun dekorasi yang disajikan benar-benar membius mata. Indah sekali.