***"Kok bawa elf, Rin?" Suara Bibi Husniah memecah keheningan. "Calon suamimu gak punya mobil?"Erina mencebik kesal. Apalagi ketika matanya bersirobok dengan mata Delia, calon istri Haris itu seketika membuang muka. "Mobil Mas Haris ada di bengkel. Ya sudahlah, Bude, mau pakai mobil elf kek, mobil mahal kek, yang penting keluarga calon suamiku datang dengan selamat," jawab Erina ketus. "Kalau Bude mau nyinyir di acaraku, mending pulang deh!"Bibi Husniah melongo melihat sikap Erina yang mendadak sensitif. "Y-- ya ... Bude kan cuma tanya, Rin. Santai dong!" sahut Bibi Husniah tak mau kalah. "Lagian kalau mobil Haris di bengkel, ya tinggal jawab aja gak pake ngegas!"Erina menatap Bibi Husniah dengan dada naik turun. Kesal. Pertama karena kedatangan Haris yang menimbulkan rasa malu. Bagaimana bisa seorang abdi negara melamar kekasihnya menggunakan mobil elf? Kedua karena Bibi Husniah mencecarnya di depan banyak orang. Apalagi di depan Delia dan Haikal, Erina mendadak geram mengingat
***"Beda bagaimana maksudnya?" Haris bersuara. "Ya beda. Coba lihat, punya Mbak Erina berkilau sekali.""Kalau seperti itu berarti sudah jelas, Nis, punyaku ini asli sementara milik Delia ... ya kita maklumi saja, petani mana bisa beli berlian asli," sahut Erina sombong. "Del, jangan sedih kalau ternyata berlian kamu itu palsu, kasihan Haikal, dia sudah susah payah menipu," imbuhnya disusul gelak tawa Haris dan keluarganya."Jadi ini saudara kamu yang dilamar petani, Erin?" tanya Bu Nela seraya menatap Delia remeh. "Cantik sih, tapi kok mau-maunya sama petani. Itu calon suami kamu?" Bu Nela menunjuk Haikal dengan telunjuknya.Delia mengangguk. Senyum di wajahnya menandakan bahwa ucapan Erina bagai angin lalu di telinganya."Iya, Tante. Ini calon suami saya," jawab Delia bangga. "Salam kenal," ucapnya lagi.Bu Nela menarik ujung bibirnya sinis. Pun dengan Pak Galih, pria paruh baya itu menepuk-nepuk pundak Haris seolah memberi tahu semua orang bahwa putranya lebih segalanya dari Haik
***"Surat-surat apa yang kamu bilang sama Bibi Naomi tadi, Del?" tanya Fatima penasaran. "Haris sampai menoleh, dia kelihatan marah sekali. Cincin Erina palsu ya?"Delia mengedikkan bahu. Dia membuang muka menatap jalanan alih-alih menjawab pertanyaan Fatima. Entah mengapa, rasa sakit hati pada kakak keduanya belum juga surut. Teringat bagaimana Fatima mencaci dan menghina Haikal, calon suaminya. "Delia?" Panggil Fatima, "Surat-surat apa sih?""Apa sih, Mbak," jawab Delia ketus. "Jangan dibiasakan kepo urusan orang lain. Gak baik!""Makanya cerita, surat apa yang kamu maksud? Cincin Erina pasti palsu kan, atau ... cincin kamu yang palsu?" selidik Fatima sambil melirik Haikal. "Kamu ... benar petani kaya, Haikal? Cincin Delia bukan berlian palsu kan?"Haikal tersenyum tipis menanggapi ocehan Fatima. Pria bertubuh tegap itu bahkan tidak mengalihkan sedikitpun pandangannya pada jalanan yang ada di depan. "Fatima!" tegur Bu Sarah, "Jaga ucapan kamu!""Aku cuma bertanya, Bu. Benar yang
***"Kamu gila, Mbak!" Tanpa sadar, Delia berteriak marah. "Apa yang kamu harapkan dari seorang lelaki yang sudah beristri, hah? Otakmu sudah gak waras, bagaimana bisa mengorbankan sesuatu yang berharga hanya demi ....""Ini bukan tentang ‘hanya’, Delia," sela Fatima. Suaranya yang bergetar justru membuat Delia semakin muak. "Aku mencintai Mas Faisal, sangat mencintainya. Dia tidak bisa menikahiku karena istrinya tidak mau madu yang usianya lebih tua darinya, itu sebabnya Mas Faisal memilih kamu. Aku selama ini hanya berpura-pura setuju dengan kecintaannya padamu, Delia, tapi apakah kamu tahu ... aku ... sebenarnya sangat membencimu!"Plak !!!"Ibu ...." Delia memekik."Bu!" Suara tegas Pak Handoko membuat tangan Bu Sarah bergetar.Haikal menarik napas panjang, pria yang sedang duduk di balik kemudi itu berbicara sebelum bibir Delia terbuka untuk mengatakan sesuatu yang bisa menjadikan keributan ini makin memanas."Bisa kamu diam sebentar saja, Delia, setidaknya sampai mobil kita samp
***"Pak, aku ada urusan sebentar dengan Mas Haikal, boleh kami keluar?" Pak Handoko memindai wajah Delia dan Haikal bergantian. Meskipun keduanya sudah terikat cincin tunangan, tetap saja rasa khawatir bergelayut di hati pria paruh baya itu apalagi baru saja telinganya mendengar kebenaran yang mengejutkan tentang Fatima. "Kami ... cuma mau berbincang di Cafe ...."Haikal menggenggam jemari Delia sembari menggeleng. Wajah perempuan cantik itu memanas. Jantungnya berdegup kencang ketika matanya menatap dua tangan yang saling menggamit. "Kenapa harus berbohong pada Bapak?" tanya Haikal dengan suara rendah. "Bapak berhak tau semua yang berkaitan dengan Faisal, Dek," kata Haikal lagi. "Kenapa, ada apa lagi, Delia?" cecar Pak Handoko setengah panik. "Kamu menyembunyikan apa lagi dari Bapak, Nak?"Delia melirik Fatima yang masih menangis di ruang tamu sementara Bu Sarah menyandarkan punggungnya di sofa dengan mata terpejam. "Istri Faisal meminta bertemu dengan Delia, Pak," ucap Haikal.
***"Sudah tau orangnya?" tanya Haikal. Matanya mengawasi semua pengunjung Cafe yang sebenarnya tidak banyak. "Coba kirim pesan dia pakai baju apa?""Sepertinya dia, Mas." Delia menunjuk seorang wanita cantik dengan dagunya. "Sejak tadi aku perhatikan dia melihat ke arah kita."Haikal menggandeng tangan Delia dan berjalan mendekati meja paling ujung. Seorang wanita dengan dua balita yang duduk anteng di sebelahnya."Mbak Kamila?" Delia menyapa takut-takut. "Benar?"Kamila mengangguk seraya tersenyum tipis. "Ternyata feeling saya benar," jawab Kamila, "Sejak tadi saya perhatikan kamu, ternyata feeling saya tidak meleset. Kamu memang Delia. Silahkan duduk!""Saya pesankan minuman ya?" tawar Kamila ramah."Tidak perlu, Mbak," tolak Delia. Ia duduk di samping Haikal. "Ini anak ....""Anak saya," sela Kamila cepat, "Anak Mas Faisal," imbuhnya.Delia menatap Haikal cukup lama. "Jadi kalian sudah punya anak?"Kamila mengusap bekas es cream di bibir putranya dengan lembut. Wanita cantik itu m
***"Erin, kita jalan-jalan saja dulu ya, Ibu barusan kirim pesan katanya rumah lagi berantakan banget," kata Haris, "Lagipula sebentar lagi kita menikah loh, Rin, kamu juga bakalan tau rumahku kan?"Erina cemberut. Tiga bulan berkenalan dengan Haris, belum sekalipun ia dibawa pulang. Terlebih, keduanya sekarang sudah bertunangan. Bukankah itu aneh?"Aku cuma mau silaturahim sama keluarga kamu, Mas Haris," ujar Erina setengah dongkol. "Kita sudah mau menikah loh, kenapa sekedar ajak aku main ke rumah kamu aja susah banget sih!""Atau jangan-jangan ada yang kamu sembunyikan dari aku?" Haris meneguk ludahnya kasar. Pria berperawakan tinggi tegap dan berkulit bersih itu menggenggam jemari Erina dengan erat. "Rin, bukan begitu, tapi ....""Kalau gak ada yang kamu sembunyikan, ya sudah, ayo kita ke rumah kamu sekarang. Heran deh, udah mau menikah tapi belum pernah diajak main ke rumahnya, aneh!""Erin ...." Haris memanggil dengan suara rendah. "Bahkan Delia juga belum pernah ke rumah Haik
***"Ibu restu, Haikal. Ibu merestui kalian berdua, Le," kata Bu Sarah membuat tangis Delia pecah. Lagi, Haikal mencium punggung tangan calon mertuanya dengan takzim. Berulang kali pria berwajah tampan itu menghela napas perlahan. Kesabarannya membuahkan hasil. Restu telah ia kantongi setelah beberapa kali mendapat penolakan hanya karena ia adalah seorang petani. "Ibu sungguh minta maaf, Le ....""Kekhawatiran Ibu bisa saya maklumi," sahut Haikal bijak. "Sekalipun saya petani, tolong beri saya kepercayaan bahwa kebahagiaan Delia tidak akan pernah pupus, Bu."Bu Sarah mengangguk sambil menepuk pundak Haikal beberapa kali. Ruang tamu yang semula memperdengarkan perdebatan-perdebatan kecil kini menjadi riuh isak tangis. Pak Handoko memeluk bahu Delia erat-erat. Bangga dengan ketulusan yang Delia miliki selama ini, sementara Bu Sarah, wanita paruh baya itu berulang kali menyusut hidungnya yang berair. Tentulah merasa haru dengan sikap Haikal yang begitu l