***"Diam kamu, Rin!" desis Delia sambil terus mengulas senyum menatap dua wanita di depannya. "Jangan bikin malu!"Erina meneguk ludahnya kasar. Katalog yang sempat dia genggam kini diletakkan di atas meja dengan tangan bergetar."Kamu kenapa, Rin, sakit?" Bu Sarah datang sembari membawa beberapa gelas berisi minuman segar. "Pucat sekali wajahmu," kata Bu Sarah lagi."Silahkan diminum, Mbak-mbak cantik," pinta Bu Sarah mempersilahkan. "Wah, jadi repot-repot begini, terima kasih, Bu," jawab wanita muda di depan Delia. "Untuk catering dan semua tetek bengek pernikahan, Pak Haikal sudah memasrahkan semuanya pada kami. Namun untuk perihal gaun, Pak Haikal ingin Mbak Delia sendiri yang memilih," tutur wanita muda itu dengan lembut."Acaranya berlangsung sehari penuh di Hotel Surabaya. Biasanya kami menyediakan empat gaun untuk pasangan pengantin, tapi kemarin Pak Haikal mengatakan kalau Mbak Delia bebas memilih berapa gaun untuk acara pernikahan nanti," lanjut wanita cantik itu lagi. "Su
***"Itu-- itu beneran kalau mahar Delia lima puluh juta, Fat?" bisik Meisya. Fatima mengedikkan bahu tak acuh. "Fat, kamu juga dengar kan kalau Haikal bilang lima puluh juta tadi, dengar kan, Fat?" "Dengar, Mbak," jawab Fatima malas. "Mbak pikir aku tuli?" "Bukan begitu, Fatima, tapi ... kamu kenapa biasa saja dengar mahar Delia yang fantastis? Kamu gak kaget, hah? Lima puluh juta itu banyak loh!""Ya, terus? Mbak mau aku jingkrak-jingkrak gak jelas hanya karena mahar Delia, begitu? Atau Mbak mau aku seperti Erina, tuh, dia mau pingsan," ujar Fatima sambil menunjuk Erina di kursinya. "Aku gak kaget mau berapapun mahar yang Haikal kasih, dia memang kaya."Meisya mencengkeram kedua bahu Fatima dan menatap adil iparnya itu lamat-lamat. "Kamu yakin kalau dia kaya, Fat? Maksudku ... kamu beneran tahu dia petani kaya raya?"Fatima melepaskan tangan Meisya dengan kasar. "Punya otak setidaknya buat mikir. Bisa menggelar acara
***"Kamu baik-baik saja, Fat?" tanya Meisya panik. "Mas, adikmu!" ucap Meisya setengah berteriak memanggil Jaka. Tubuh Fatima terasa dingin. Tengkuknya berat, kepalanya seperti berputar, belum lagi isi perut yang rasanya seperti diaduk. Mual. Fatima mual berada di keramaian yang bising. "Ada apa?" Pak Handoko menangkap raut khawatir di wajah Bu Sarah. "Fatima, Pak."Pak Handoko mencari-cari sosok Fatima yang ternyata sedang berdiri tidak jauh dari tempatnya duduk. Semua keluarga duduk di tempat yang sudah disediakan. Namun entah mengapa putri kedua Pak Handoko itu terlihat berdiri sambil mencengkram perutnya kuat-kuat. Suasana gedung yang semula hening kini disulap menjadi pesta yang riuh. Suara musik mulai terdengar membuat bising suara para tamu tidak lagi terdengar. Acara akad nikah yang sakral telah usai, Haikal dan Delia melanjutkan rangkaian acara selanjutnya di tempat yang sama. Resepsi pernikahan indoor namun dekorasi yang disajikan benar-benar membius mata. Indah sekali.
***"Kamu mengancamku menggunakan nama Mbak Fatima, Mas?" Delia menggenggam erat jemari Haikal. Mustahil jika saat ini hatinya baik-baik saja. Delia panik. Khawatir. Takut jika Fatima benar-benar hancur di tangan Faisal. "Dan kamu pikir aku peduli?" Sudut bibir Delia terangkat mencetak senyum sinis. "Kamu salah jika menganggap Mbak Fatima berharga buatku, Mas Faisal. Setelah aku menikah maka prioritas utamaku adalah suamiku, bukan saudara ataupun yang lainnya." Ucapan Delia terdengar menohok. Mati-matian istri Haikal itu mempertahankan agar suaranya tidak bergetar. Delia tidak mau Faisal mengambil keuntungan dari perasaannya yang mudah tersentuh. Faisal masih berdiri di depan Delia dan Haikal sementara Jaka terlihat bingung dengan apa yang mereka bicarakan."Foto apa maksudmu, Sal, foto Fatima?" tanya Jaka penasaran. "Bahkan jika kedua orang tuamu hancur, Delia?" Faisal tak acuh dengan pertanyaan Jaka. Pria itu lebih suka mengorek kelemahan yang ada pada diri Delia. "Kamu rela meli
***"Aku gak mau tau, Mas, kamu udah janji mau nikahin aku tahun ini!"Faisal menyentak napas kasar. Di sebuah kamar hotel, seorang wanita terduduk di atas ranjang sambil melilit tubuhnya menggunakan selimut tebal. "Tidak semudah itu, Sya ....""Apanya yang tidak mudah, hah? Kamu sengaja mengulur waktu karena masih menggilai Delia, iya kan?""Sya, bukan seperti itu tapi ... ck, ayolah ... aku menerima tawaran Jaka untuk menikahi adiknya tidak lain hanya demi kamu. Aku berusaha mencari cara agar bisa lebih dekat denganmu, Sya!""Omong kosong," cibir wanita cantik itu sambil terkekeh sumbang. "Aku bahkan tidak tinggal satu rumah dengan Ibu, menggunakan Delia sebagai objek kedekatan kita itu terdengar tidak masuk akal. Bohong!"Faisal berjalan mendekat. Kaos dalam genggaman ia pakai asal karena mendengar kekasihnya mulai merajuk. Di atas ranjang berwarna putih, Faisal merengkuh tubuh wanitanya dengan erat. Diusapnya kepala Sang kekasih perlahan serta lembut."Kalau kamu menikahi Delia,
***"Mas, aku punya bukti!""Cukup, Delia!" bentak Jaka sembari terpejam. Urat-urat di lehernya menegang, dadanya naik turun melihat Delia begitu kekeuh ingin menjatuhkan nama Meisya. "Cukup meracuni otakku dengan semua omong kosongmu itu!""Delia bicara benar, Mas ....""Diam, Haikal! Sadarlah pada posisimu, Petani!""Mas!" Delia berteriak marah. "Kita sedang membahas Mbak Meisya yang bermain serong, lalu apa hubungannya dengan pekerjaan Mas Haikal? Dia memang petani, lantas apa kamu pikir dia tidak berhak melindungi keluargaku?"Jaka terkekeh sumbang. Dia berjalan mendekati Delia dan mencengkeram bahu adiknya kuat-kuat. "Aku ... tidak sebodoh itu mau mendengarkan semua perkataanmu, Delia. Kau hanya ingin rumah tanggaku hancur berantakan, iya kan? Kau marah karena aku menghina suamimu lalu kalian datang kesini ingin memfitnah Meisya. Itu rencana kalian, bukan?"Rahang Haikal mengeras. Dihempasnya tangan Jaka yang sejenak membuat Delia menahan nyeri. "Ingat pesan Mas, Dek!" ujar Haik
***"Kampung amat rumah Haikal ya, Ma, lihat ... rumah-rumahnya masih belum tembok. Jangan-jangan rumah Haikal juga gitu, ih!" Erina bergidik ngeri menatap satu per satu rumah yang ada di pinggir jalan menuju Kampung Haikal. "Fix, kalau aku jadi Delia gak bakalan sudi diajakin pulang kesini. Mau hidup sama jangkrik?" Erina masih terus menggerutu sementara mobil yang Haris kendarai sudah memasuki halaman yang begitu luas. "Sudah sampai, Mas?" tanya Erina. Putri semata wayang Bibi Naomi itu seketika membuka pintu mobil dan keluar. "Ini rumah Haikal?" tanya Erina pada dirinya sendiri. "Gila, dilihat dari rumahnya saja sudah ketahuan kalau Haikal bukan orang kaya. Sumpah, meskipun aku bodoh tapi aku yakin kalau ....""Neng, mari!"Erina menoleh dan mendapati Yu Jamilah berdiri di belakangnya. "Mari ikut saya, Neng," ajak Yu Jamilah ramah.Mobil-mobil milik keluarga Delia terparkir di halaman luas yang ditumbuhi banyak pohon rindang. "Ikut kemana, Bi?" tanya Erina ketus, "Ini kan rumah H
***"Mari masuk, Besan!" Emak mendekati Bu Sarah dan mempersilahkan semua keluarga Delia masuk. "Rumah di kampung memang begini, ruang tamunya lebar. Mari!""Ini rumah siapa, Mak?" tanya Bibi Naomi setelah termangu di depan pintu. "Saudara Haikal?"Emak terkekeh seraya membuka pintu rumah lebih lebar. "Ini rumah Haikal dan Delia, monggo masuk!"Satu per satu keluarga Delia masuk ke dalam rumah. Di urutan paling belakang, Bibi Naomi dan Bibi Husniah saling bergandengan tangan dan perlahan menginjak keramik teras yang terasa begitu dingin. Rumah Haikal bukanlah rumah mewah seperti di kota-kota pada umumnya. Rumah bercat putih yang berdiri kokoh diantara rumah-rumah kayu yang ada di sebelahnya membuat rumah putra Emak Karti itu terlihat megah. Halamannya tidak begitu luas, namun ada pagar tembok yang dibangun mengelilingi bagian depan rumah. Ketika pintu rumah terbuka lebar, ruang tamu yang luas membuat semua orang betah berlama-lama disana. Belum lagi udara kampung yang segar membuat