***"Itu-- itu beneran kalau mahar Delia lima puluh juta, Fat?" bisik Meisya. Fatima mengedikkan bahu tak acuh. "Fat, kamu juga dengar kan kalau Haikal bilang lima puluh juta tadi, dengar kan, Fat?" "Dengar, Mbak," jawab Fatima malas. "Mbak pikir aku tuli?" "Bukan begitu, Fatima, tapi ... kamu kenapa biasa saja dengar mahar Delia yang fantastis? Kamu gak kaget, hah? Lima puluh juta itu banyak loh!""Ya, terus? Mbak mau aku jingkrak-jingkrak gak jelas hanya karena mahar Delia, begitu? Atau Mbak mau aku seperti Erina, tuh, dia mau pingsan," ujar Fatima sambil menunjuk Erina di kursinya. "Aku gak kaget mau berapapun mahar yang Haikal kasih, dia memang kaya."Meisya mencengkeram kedua bahu Fatima dan menatap adil iparnya itu lamat-lamat. "Kamu yakin kalau dia kaya, Fat? Maksudku ... kamu beneran tahu dia petani kaya raya?"Fatima melepaskan tangan Meisya dengan kasar. "Punya otak setidaknya buat mikir. Bisa menggelar acara
***"Kamu baik-baik saja, Fat?" tanya Meisya panik. "Mas, adikmu!" ucap Meisya setengah berteriak memanggil Jaka. Tubuh Fatima terasa dingin. Tengkuknya berat, kepalanya seperti berputar, belum lagi isi perut yang rasanya seperti diaduk. Mual. Fatima mual berada di keramaian yang bising. "Ada apa?" Pak Handoko menangkap raut khawatir di wajah Bu Sarah. "Fatima, Pak."Pak Handoko mencari-cari sosok Fatima yang ternyata sedang berdiri tidak jauh dari tempatnya duduk. Semua keluarga duduk di tempat yang sudah disediakan. Namun entah mengapa putri kedua Pak Handoko itu terlihat berdiri sambil mencengkram perutnya kuat-kuat. Suasana gedung yang semula hening kini disulap menjadi pesta yang riuh. Suara musik mulai terdengar membuat bising suara para tamu tidak lagi terdengar. Acara akad nikah yang sakral telah usai, Haikal dan Delia melanjutkan rangkaian acara selanjutnya di tempat yang sama. Resepsi pernikahan indoor namun dekorasi yang disajikan benar-benar membius mata. Indah sekali.
***"Kamu mengancamku menggunakan nama Mbak Fatima, Mas?" Delia menggenggam erat jemari Haikal. Mustahil jika saat ini hatinya baik-baik saja. Delia panik. Khawatir. Takut jika Fatima benar-benar hancur di tangan Faisal. "Dan kamu pikir aku peduli?" Sudut bibir Delia terangkat mencetak senyum sinis. "Kamu salah jika menganggap Mbak Fatima berharga buatku, Mas Faisal. Setelah aku menikah maka prioritas utamaku adalah suamiku, bukan saudara ataupun yang lainnya." Ucapan Delia terdengar menohok. Mati-matian istri Haikal itu mempertahankan agar suaranya tidak bergetar. Delia tidak mau Faisal mengambil keuntungan dari perasaannya yang mudah tersentuh. Faisal masih berdiri di depan Delia dan Haikal sementara Jaka terlihat bingung dengan apa yang mereka bicarakan."Foto apa maksudmu, Sal, foto Fatima?" tanya Jaka penasaran. "Bahkan jika kedua orang tuamu hancur, Delia?" Faisal tak acuh dengan pertanyaan Jaka. Pria itu lebih suka mengorek kelemahan yang ada pada diri Delia. "Kamu rela meli
***"Aku gak mau tau, Mas, kamu udah janji mau nikahin aku tahun ini!"Faisal menyentak napas kasar. Di sebuah kamar hotel, seorang wanita terduduk di atas ranjang sambil melilit tubuhnya menggunakan selimut tebal. "Tidak semudah itu, Sya ....""Apanya yang tidak mudah, hah? Kamu sengaja mengulur waktu karena masih menggilai Delia, iya kan?""Sya, bukan seperti itu tapi ... ck, ayolah ... aku menerima tawaran Jaka untuk menikahi adiknya tidak lain hanya demi kamu. Aku berusaha mencari cara agar bisa lebih dekat denganmu, Sya!""Omong kosong," cibir wanita cantik itu sambil terkekeh sumbang. "Aku bahkan tidak tinggal satu rumah dengan Ibu, menggunakan Delia sebagai objek kedekatan kita itu terdengar tidak masuk akal. Bohong!"Faisal berjalan mendekat. Kaos dalam genggaman ia pakai asal karena mendengar kekasihnya mulai merajuk. Di atas ranjang berwarna putih, Faisal merengkuh tubuh wanitanya dengan erat. Diusapnya kepala Sang kekasih perlahan serta lembut."Kalau kamu menikahi Delia,
***"Mas, aku punya bukti!""Cukup, Delia!" bentak Jaka sembari terpejam. Urat-urat di lehernya menegang, dadanya naik turun melihat Delia begitu kekeuh ingin menjatuhkan nama Meisya. "Cukup meracuni otakku dengan semua omong kosongmu itu!""Delia bicara benar, Mas ....""Diam, Haikal! Sadarlah pada posisimu, Petani!""Mas!" Delia berteriak marah. "Kita sedang membahas Mbak Meisya yang bermain serong, lalu apa hubungannya dengan pekerjaan Mas Haikal? Dia memang petani, lantas apa kamu pikir dia tidak berhak melindungi keluargaku?"Jaka terkekeh sumbang. Dia berjalan mendekati Delia dan mencengkeram bahu adiknya kuat-kuat. "Aku ... tidak sebodoh itu mau mendengarkan semua perkataanmu, Delia. Kau hanya ingin rumah tanggaku hancur berantakan, iya kan? Kau marah karena aku menghina suamimu lalu kalian datang kesini ingin memfitnah Meisya. Itu rencana kalian, bukan?"Rahang Haikal mengeras. Dihempasnya tangan Jaka yang sejenak membuat Delia menahan nyeri. "Ingat pesan Mas, Dek!" ujar Haik
***"Kampung amat rumah Haikal ya, Ma, lihat ... rumah-rumahnya masih belum tembok. Jangan-jangan rumah Haikal juga gitu, ih!" Erina bergidik ngeri menatap satu per satu rumah yang ada di pinggir jalan menuju Kampung Haikal. "Fix, kalau aku jadi Delia gak bakalan sudi diajakin pulang kesini. Mau hidup sama jangkrik?" Erina masih terus menggerutu sementara mobil yang Haris kendarai sudah memasuki halaman yang begitu luas. "Sudah sampai, Mas?" tanya Erina. Putri semata wayang Bibi Naomi itu seketika membuka pintu mobil dan keluar. "Ini rumah Haikal?" tanya Erina pada dirinya sendiri. "Gila, dilihat dari rumahnya saja sudah ketahuan kalau Haikal bukan orang kaya. Sumpah, meskipun aku bodoh tapi aku yakin kalau ....""Neng, mari!"Erina menoleh dan mendapati Yu Jamilah berdiri di belakangnya. "Mari ikut saya, Neng," ajak Yu Jamilah ramah.Mobil-mobil milik keluarga Delia terparkir di halaman luas yang ditumbuhi banyak pohon rindang. "Ikut kemana, Bi?" tanya Erina ketus, "Ini kan rumah H
***"Mari masuk, Besan!" Emak mendekati Bu Sarah dan mempersilahkan semua keluarga Delia masuk. "Rumah di kampung memang begini, ruang tamunya lebar. Mari!""Ini rumah siapa, Mak?" tanya Bibi Naomi setelah termangu di depan pintu. "Saudara Haikal?"Emak terkekeh seraya membuka pintu rumah lebih lebar. "Ini rumah Haikal dan Delia, monggo masuk!"Satu per satu keluarga Delia masuk ke dalam rumah. Di urutan paling belakang, Bibi Naomi dan Bibi Husniah saling bergandengan tangan dan perlahan menginjak keramik teras yang terasa begitu dingin. Rumah Haikal bukanlah rumah mewah seperti di kota-kota pada umumnya. Rumah bercat putih yang berdiri kokoh diantara rumah-rumah kayu yang ada di sebelahnya membuat rumah putra Emak Karti itu terlihat megah. Halamannya tidak begitu luas, namun ada pagar tembok yang dibangun mengelilingi bagian depan rumah. Ketika pintu rumah terbuka lebar, ruang tamu yang luas membuat semua orang betah berlama-lama disana. Belum lagi udara kampung yang segar membuat
***"Selamat ya, Kang, aku gak nyangka kalau pilihan kamu ternyata gadis kota yang tampilannya bahkan ...." Ranti nyengir sambil memindai tubuh Delia yang terbalut gaun pengantin mewah. "Saya pikir Kang Haikal menolak pinangan Abah karena wanita lain yang jauh lebih salehah, ternyata tidak," imbuhnya lirih. Senyum sinis di bibirnya membuat hati Delia seakan diremas. Perih. Nyeri. "Oh ya, saya Ranti. Putri Abah Jufri, Ustad kondang di Kampung ini." Ranti mengulurkan tangan di depan Delia. Delia menerima uluran tangan Ranti seraya tersenyum samar. "Delia ....""Ah, nama yang bagus," dusta Ranti, "Kamu cantik, tapi sayang ... kurasa tipe Kang Haikal bukan wanita seperti kamu."Delia mengangguk lemah dengan bibir yang terus tersenyum menanggapi cibiran Ranti. Hatinya boleh terluka, tapi jangan sampai wanita di depannya itu merasa menang karena sudah berhasil menghancurkan mentalnya. "Kalau saya bukan tipe Mas Haikal, sepertinya yang berdiri di samping suami saya jelas adalah wanita lai
ENDING***"Itu bukannya mantan pacar kamu, Sayang?"Hafsah mengikuti arah telunjuk Biru. Benar saja, di meja makan yang terletak di sudut, Azka duduk berhadapan dengan Safina. "Iya. Lagi kencan kali, Mas, sama seperti kita," sahut Hafsah tak acuh."Mau gabung?" tawar Biru dan dibalas gelengan kepala oleh Hafsah. "Tidak perlu memaksakan diri, Mas Biru.""Ya gapapa, Sayang, kita harus menjalin hubungan yang baik dengan mantan. Yuk!"Biru menggandeng tangan Hafsah dan berjalan mendekati meja yang hanya diisi oleh Azka dan Safina. "Hai ...."Azka dan Safina cukup terkejut melihat Hafsah datang bersama seorang lelaki. "Mbak Hafsah," ucap Safina sumringah. "Kapan datang ke Surabaya, kok gak kabar-kabar sih?"Respon Safina yang welcome membuat rasa takut yang sempat Hafsah rasakan memudar perlahan."Tadi niatnya gak mau ganggu acara kencan kamu sama Mas Azka, eh Mas Biru malah ngajakin gabung," ujar Hafsah jujur. "Eh, btw ini Mas Biru. Suamiku."Safina dan Azka saling pandang, "Kok Mbak
***Dua bulan berlalu setelah pesta pernikahan yang digelar secara mewah, hari ini Biru dan Hafsah sedang menikmati liburan di Kota Surabaya. Bukan luar negeri yang Hafsah mau, melainkan kota dimana banyak tercipta kenangan indah bersama Ranti dan kedua orang tuanya. Sengaja Biru menyetir mobil sendiri karena tidak mau liburannya yang ditunggu sejak dua bulan yang lalu diganggu oleh orang lain. Perjalanan yang melelahkan terasa menyenangkan karena sepanjang jalan keduanya tidak henti-hentinya melempar candaan. Hafsah membuka snack yang ada di kursi belakang. Sambil terus bercerita tentang masa kecilnya, sesekali tangan Hafsah menyuapi Biru dengan makanan ringan yang ada di tangan. "Mau cari makan dulu gak, Sayang?" Biru bertanya tanpa menoleh. "Nanti sampai hotel biar bisa langsung tidur. Capek sekali, Yang," keluh Biru. "Boleh," jawab Hafsah antusias. "Ini bentar lagi juga nyampe Hotel, Mas. Cari makan yang dekat-dekat sini saja ya."Biru mengangguk patuh. Matanya menatap satu pe
***"Jadi dia berhasil menggoda kamu, Mas?"Nisya berada jajaran para staf yang hendak memberi selamat. Di belakangnya, Anina justru tersenyum sinis seraya menatap Hafsah yang hari ini terlihat sangat menawan. Gaunnya mewah, perhiasan yang ia kenakan pun tidak berlebihan namun memberi kesan mahal. "Kamu keluar sendiri, atau aku meminta security menyeret tubuhmu keluar dari gedung ini?"Nisya tertawa sumbang. Di atas pelaminan, beberapa staf berdiri agak jauh sementara tepat di depan Biru dan Hafsah, Nisya bersungut-sungut marah karena tidak terima dengan pernikahan diantara keduanya. "Kamu bilang sulit mencari penggantiku, Mas," tutur Nisya sembari tersenyum sinis. "Tapi ternyata tidak lama setelah kamu memutuskan hubungan kita, pernikahan ini malah digelar."Rahang Biru mengeras. "Aku tidak akan melepaskan kamu jika acara pernikahan ini sampai ricuh, Nisya!"Nisya bertepuk tangan, "Wow. Secinta itukah kamu pada wanita ini? Apa yang sudah dia berikan sebelum kalian menikah? Keperawa
***"Apa?" tanya Biru tanpa berniat menjauhkan bibirnya dari bibir Hafsah. "Mas, ih!" Hafsah mendorong tubuh Biru dengan kesal. "Aku mau mandi, gerah!""Sayang!" Panggil Biru membuat langkah kaki Hafsah terhenti. "Apa?" tanya Hafsah ketus. "Bareng," ucap Biru merengek manja. Hafsah mencebik sebelum akhirnya berlari memasuki kamar mandi sampai-sampai lupa membawa baju ganti. Biru yang menyadari itu seketika tersenyum licik. Bisa dipastikan setelah ini Hafsah keluar hanya mengenakan bathrobe dan membayangkan hal itu saja sudah membuat kepalanya pusing. "Mas!" teriak Hafsah dari dalam kamar mandi. Biru berdiri di depan pintu, kemudian menyahut, "Kenapa, Sayang?""Mas, aku lupa bawa baju ganti ....""Aku tidur dulu ya, lelah sekali," sela Biru berdusta. "Ah, begitu ya. Ya sudah, nanti aku ambil sendiri, Mas tidur saja yang lelap."Biru tidak menjawab, pria itu justru menyandarkan tubuhnya di atas ranjang sambil memeriksa laporan kerja dari laptop yang sengaja ia bawa. Pintu kamar m
***Biru menuntun bahu Hafsah dan membawanya lebih dekat pada gundukan tanah yang masih basah. "Hapus air matamu jika tidak ingin Bunda sedih di dalam sana, Haf."Wajah Biru menegang, namun ketika Hafsah menggamit jemarinya, CEO muda itu perlahan menghela napas panjang. "Dia Mas Azka, Mas," ucap Hafsah memperkenalkan. Biru hanya mengangguk seraya tersenyum, kemudian kembali menuntun Hafsah mendekati makam yang baru saja memiliki penghuni itu. Para pelayat beberapa di antaranya memilih pulang setelah jenazah Ranti dikebumikan, namun beberapa yang lain masih berada di sana, sedikit banyak membantu merapikan makam yang baru saja ditabur bunga beraroma wangi. "Aku pamit ya, Haf. Semoga Bunda khusnul khatimah.""Aamiin, terima kasih banyak, Mas," sahut Azka. Azka mengangguk ragu, kemudian berkata, "Mari, Mas!"Biru tidak menjawab namun kepalanya mengangguk di depan Azka. "Semoga semua amal ibadah Bunda diterima Allah," ucap Hafsah nyaris tidak bersuara. "Doakan yang baik-baik untuk a
***"Bunda ...." Hafsah berteriak histeris sementara Biru segera menekan tombol yang ada di samping ranjang Ranti. "Bangun, Bun!" Hafsah mengguncang tubuh Ranti berharap wanita yang sudah ia anggap sebagai Ibu kedua itu mau membuka mata. "Tidak, Bun. Ini gak lucu!" teriak Hafsah. Biru menarik tubuh Hafsah dan memberi kesempatan para tenaga medis untuk memeriksa keadaan wanita paruh baya di atas ranjang itu. "Buka mata Bunda. Bunda berjanji mau lihat aku menikah dengan Pak Biru. Bangun, Bunda Ranti. Bangun!" Hafsah berteriak tanpa perduli apakah akan ada yang terganggu dengan suaranya. "Haf, tenang ....""Tidak, Mas. Bunda udah gak napas, aku tidak merasakan hangat napasnya. Bunda ... Bunda bohong padaku! Bunda pembohong!" Suara Hafsah terdengar pilu. "Bunda masih hidup kan, Sus? Aku yang bodoh ini pasti salah mengira ....""Innalilahi wa inna ilaihi raji'un ...."Dua orang suster mengucap kalimat istirja membuat dunia Hafsah yang baru saja berwarna kembali kelabu. Tidak lama, seora
***pov RantiHatiku terenyuh melihat Hafsah datang bersama calon suaminya. Ya, meskipun Hafsah belum mengatakan tentang lamaran yang dia terima, tapi aku yakin Hafsah sudah memantapkan diri untuk memulai kehidupan yang baru dengan pria bernama Biru itu. Aku lega, setidaknya setelah luka yang aku tanam di hatinya, gadis cantik itu pada akhirnya bisa bangkit lagi. Tidak mudah memang melupakan Azka, pesona anak dan Bapak itu memang teramat kuat, bahkan sampai detik ini Hafsah tidak tau jika nama Mas Haikal masih menjadi penghuni di hatiku. Bohong jika aku tidak bahagia dengan kehadiran Hafsah. Gadis cantik yang dulu sering tidur dalam pangkuanku itu ternyata masih menghormati aku sebagai Ibu asuhnya. Meskipun tidak bisa dipungkiri jika aku adalah dalang dari pisahnya dia dengan kedua orang tuanya. Aku bersyukur karena Hafsah tidak lagi mempermasalahkan itu. Aku bahagia. Terharu dengan ketulusan Hafsah padaku.Tolong tunggu sebentar, Bah, aku sudah berjanji akan menemaninya sampai ia m
***Dokter memeriksa keadaan Ranti yang sudah mulai membaik. Tidak ada penyakit serius, hanya saja wanita yang hidup sebatang kara itu diharuskan istirahat total karena tubuhnya yang kehilangan banyak cairan. "Setelah infusnya habis, pasien sudah boleh pulang.""Terima kasih, Dokter."Hafsah menghela napas lega, setidaknya Ranti tidak harus menginap lebih lama di Rumah Sakit. Dokter yang baru saja memeriksa Ranti keluar dari ruangan. Biru meminta ruangan VIP untuk Bunda dari calon istrinya. Hanya sehari semalam, namun Hafsah tahu seberapa besar tarif biaya di Rumah Sakit Unair. Cukup mahal memang. Ranti mengusap pipi Hafsah seperti seorang Ibu yang sudah lama tidak bertemu dengan putrinya. Kini Ranti mengerti bagaimana perasaan Bu Rania ketika Hafsah ia culik, dulu. Tidak salah jika banyak orang mengatakan jika Bu Rania hampir gila, karena sehancur itu memang kehilangan orang yang dicintai. "Dia siapa?" tanya Ranti sambil menunjuk Biru yang masih terlelap di atas sofa. "Mas Biru,
***Biru segera berlari karena teriakan Hafsah dari dalam makam. Bukan hanya itu, pengemudi yang semula dijanjikan akan dibayar sesuai kemauannya pun ikut turun dan melihat seorang wanita paruh baya tergeletak di atas tanah."Mas, Bunda ...." Hafsah menangis histeris. Wajah Ranti sangat pucat, tubuhnya yang semula mengeluarkan keringat dingin kini berubah panas. Dia demam. "Biar aku gendong, tolong buka pintu mobilnya," pintu Biru yang dibalas anggukan kepala oleh Hafsah. Belum sempat Hafsah berlari, pengemudi Gr*b lebih dulu melaksanakan perintah Biru untuk membuka pintu mobil dan bersiap duduk di belakang kemudi. Biru setengah berlari sembari membopong tubuh Ranti yang tidak terasa berat sama sekali. Ranti kehilangan banyak berat badannya, apalagi sejak Hafsah memutuskan pindah ke Jakarta, tubuhnya kian mengurus. Hafsah menangis, namun kali ini tidak bersuara, dia khawatir semakin membuat Biru panik apalagi ketika melihat prianya itu sedikit ngos-ngosan untuk menuju mobil yang te