***"Kampung amat rumah Haikal ya, Ma, lihat ... rumah-rumahnya masih belum tembok. Jangan-jangan rumah Haikal juga gitu, ih!" Erina bergidik ngeri menatap satu per satu rumah yang ada di pinggir jalan menuju Kampung Haikal. "Fix, kalau aku jadi Delia gak bakalan sudi diajakin pulang kesini. Mau hidup sama jangkrik?" Erina masih terus menggerutu sementara mobil yang Haris kendarai sudah memasuki halaman yang begitu luas. "Sudah sampai, Mas?" tanya Erina. Putri semata wayang Bibi Naomi itu seketika membuka pintu mobil dan keluar. "Ini rumah Haikal?" tanya Erina pada dirinya sendiri. "Gila, dilihat dari rumahnya saja sudah ketahuan kalau Haikal bukan orang kaya. Sumpah, meskipun aku bodoh tapi aku yakin kalau ....""Neng, mari!"Erina menoleh dan mendapati Yu Jamilah berdiri di belakangnya. "Mari ikut saya, Neng," ajak Yu Jamilah ramah.Mobil-mobil milik keluarga Delia terparkir di halaman luas yang ditumbuhi banyak pohon rindang. "Ikut kemana, Bi?" tanya Erina ketus, "Ini kan rumah H
***"Mari masuk, Besan!" Emak mendekati Bu Sarah dan mempersilahkan semua keluarga Delia masuk. "Rumah di kampung memang begini, ruang tamunya lebar. Mari!""Ini rumah siapa, Mak?" tanya Bibi Naomi setelah termangu di depan pintu. "Saudara Haikal?"Emak terkekeh seraya membuka pintu rumah lebih lebar. "Ini rumah Haikal dan Delia, monggo masuk!"Satu per satu keluarga Delia masuk ke dalam rumah. Di urutan paling belakang, Bibi Naomi dan Bibi Husniah saling bergandengan tangan dan perlahan menginjak keramik teras yang terasa begitu dingin. Rumah Haikal bukanlah rumah mewah seperti di kota-kota pada umumnya. Rumah bercat putih yang berdiri kokoh diantara rumah-rumah kayu yang ada di sebelahnya membuat rumah putra Emak Karti itu terlihat megah. Halamannya tidak begitu luas, namun ada pagar tembok yang dibangun mengelilingi bagian depan rumah. Ketika pintu rumah terbuka lebar, ruang tamu yang luas membuat semua orang betah berlama-lama disana. Belum lagi udara kampung yang segar membuat
***"Selamat ya, Kang, aku gak nyangka kalau pilihan kamu ternyata gadis kota yang tampilannya bahkan ...." Ranti nyengir sambil memindai tubuh Delia yang terbalut gaun pengantin mewah. "Saya pikir Kang Haikal menolak pinangan Abah karena wanita lain yang jauh lebih salehah, ternyata tidak," imbuhnya lirih. Senyum sinis di bibirnya membuat hati Delia seakan diremas. Perih. Nyeri. "Oh ya, saya Ranti. Putri Abah Jufri, Ustad kondang di Kampung ini." Ranti mengulurkan tangan di depan Delia. Delia menerima uluran tangan Ranti seraya tersenyum samar. "Delia ....""Ah, nama yang bagus," dusta Ranti, "Kamu cantik, tapi sayang ... kurasa tipe Kang Haikal bukan wanita seperti kamu."Delia mengangguk lemah dengan bibir yang terus tersenyum menanggapi cibiran Ranti. Hatinya boleh terluka, tapi jangan sampai wanita di depannya itu merasa menang karena sudah berhasil menghancurkan mentalnya. "Kalau saya bukan tipe Mas Haikal, sepertinya yang berdiri di samping suami saya jelas adalah wanita lai
***"Masya Allah, ini Neng Delia?" pekik Yu Jamilah saat mendapati menantu Pak Gani tengah berbelanja di tempat Tukang Sayur. "Cantik sekali, Nduk. Bulek sampai pangling," pujinya sembari mengelus lengan Delia lembut.Sudah dua hari berlalu setelah acara pesta pernikahannya di Kampung, namun Delia baru berani menampakkan batang hidungnya lantaran masih merasa canggung jika bertemu tetangga-tetangga Haikal. Pagi ini Delia sengaja berbelanja lebih petang agar tidak bertemu banyak orang di tempat Mang Udin, tapi sayang ... Yu Jamilah sepertinya begitu hapal dengan perawakan Delia."Delia menantu Emak Karti?" timpal tetangga Haikal yang lain. "Serius, Yu Milah?"Yu Jamilah mengangguk. "Bulek hampir tidak mengenali menantu juragan sendiri, Nduk. Ini ... kamu benar-benar anggun memakai gamis dan kerudung. Cantik!" "Bulek bisa saja," sahut Delia tersipu. "Saya pamit dulu boleh kan, Bulek? Mas Haikal pagi ini katanya mau ke sawah, memantau pekerja yang lagi panen cabe.""Ah, iya ... iya, mo
***"Nanti tidak perlu antar makan siang, titipkan saja ke Bulek Jamilah ya," pinta Haikal sebelum berangkat ke kebun. "Jangan capek-capek, oke?"Delia mengangguk patuh. Tangan Haikal diraih dan dicium takzim sebelum akhirnya Sang Suami berlalu menggunakan motor. Belum sempat Delia menutup pintu, seseorang sudah berdiri di halaman rumahnya sambil bersedekap dada. "Mau bersaing denganku?"Delia menoleh. Keningnya berkerut mendapati Ranti menatap nyalang ke arahnya. "Dari belanja, Mbak?" tanya Delia basa-basi, berusaha mengenyahkan pertanyaan Ranti barusan. "Mari, Mbak, saya masuk dulu ya.""Kamu tidak akan pernah bisa menyamai aku, Delia."Napas panjang berhasil Delia hela perlahan. Sebenarnya enggan meladeni ocehan Ranti apalagi tidak ada Haikal di rumah, tapi perkataan Ranti barusan berhasil menyentil hati Delia."Menyamai kamu?" Ulang Delia tenang. "Dari segi apa, Mbak?"Ranti tersenyum sinis. "Kamu pikir aku tidak tahu kalau kerudungmu hanya untuk menyaingiku? Asal kamu tahu, seka
***Sejak pagi Delia sudah berkutat di dapur. Beberapa menu sarapan sudah tersaji dan menguarkan aroma sedap. Ada empat piring yang Delia tata di atas meja makan, juga empat gelas kosong yang ditata rapi di sisi piring. Gulai daun singkong, rendang daging dan tempe goreng menjadi menu sarapan pagi ini. Delia sengaja masak pagi-pagi buta karena rencananya hari ini ia akan datang ke rumah kedua orang tuanya bersama Haikal. Ada sesuatu yang harus diluruskan. Seperti biasa, Haikal sedang berada di belakang rumah memberi makan ikan-ikannya. Sementara Bapak duduk di teras rumahnya sembari menyesap kopi di atas meja. Emak terlihat menyapu halaman yang luas, sebelum akhirnya Delia datang dan berkata, "Sarapan dulu yuk, Mak. Bapak mau diambilkan apa sarapan sama-sama?"Bapak meletakkan gelas kopinya di atas piring kecil. "Sama-sama saja, Nduk."Delia mengangguk dan membantu Bapak berdiri. Jika di depan Haikal pria paruh baya itu terlihat garang dan tegas, berbeda jika di depan Delia, Pak Ga
***"Mulutmu, Fat ....""Mulutku berbicara kebenaran, Mas," sela Fatima sengit. "Mas pikir selama ini Mbak Meisya adalah sosok istri yang setia, begitu?"Meisya bangkit, dia hendak menyerang Fatima namun Pak Handoko lebih dulu sudah berdiri di depan putrinya. "Tampar Bapak!" pinta Pak Handoko tegas. "Kenapa berhenti, bukankah selama ini kamu memang tidak pernah menghargai kami sebagai orang tua Jaka? Tampar Bapak, Mei!" Tangan Meisya yang semula mengambang di udara kini perlahan ia turunkan. Rahangnya mengeras. Emosinya sudah bersiap meledak. Fatima membongkar kedok Meisya di depan suami dan kedua mertuanya. Tiba-tiba Fatima menangis. Tangannya meremas perut yang masih rata. Entah apa yang dia pikirkan saat ini yang jelas ... Fatima terisak tanpa peduli apakah di ruang tamu ia sendirian atau sedang banyak orang. "Aku yang menang, Mbak," ucap Fatima setelah tangisnya reda. Putri kedua Bu Sarah itu tersenyum licik menatap Meisya. "Kau pikir Mas Faisal benar-benar mencintaimu, begitu?
***Delia mencekal pergelangan tangan Haikal sementara kepalanya menggeleng samar. Matanya yang berkaca-kaca membuat dada Haikal semakin terasa sesak. Jika saja Jaka bukan kakak iparnya ...."Kamu sungguh membuatku kecewa, Delia, Mas tidak menyangka kalau hatimu sejahat itu." Jaka berbicara dengan kedua matanya yang terus menatap Delia tajam, "Yang bermain-main dengan Faisal bukanlah Meisya, tapi Fatima. Caci maki saja kakakmu itu karena dengan bodohnya hamil sebelum menikah.""Mas, ayo ....""Sebentar, Sayang, Mas rasanya belum puas mengeluarkan kekesalan," sela Jaka. "Pulanglah, Nak, suatu hari nanti kebusukan pasti akan nampak. Pulanglah, jangan bikin keributan di sini," usir Bu Sarah secara halus. "Kalau memang benar istrimu adalah wanita baik-baik, kamu harus bisa membuktikan itu.""Aku tidak harus membuktikan apapun, Bu, karena kalian semua tidak akan mau mendengarkan pembelaanku. Puja dan percaya saja semua kata-kata Delia," sahut Jaka kemudian berlalu sambil menarik tangan Me