***Tangan Bu Sarah gemetar hebat setelah menampar pipi Fatima. Air matanya bercucuran sementara bibirnya bergetar hendak mengatakan sesuatu."Fat ....""Kenapa marah, Bu?" tanya Fatima getir. "Harusnya Ibu senang karena sebentar lagi aku akan menikah dengan pria kaya. Ini kan yang Ibu inginkan dulu? Ibu bahkan rela Delia menjadi istri kedua, kenapa sekarang justru marah saat tahu aku hamil anak Mas Faisal?" Pertanyaan Fatima membuat rasa bersalah di hati Bu Sarah semakin menjadi-jadi. "Karena Haikal petani kaya, itu sebabnya Ibu ....""Ibu memang salah, Fat. Ini semua salah Ibu," aku Bu Sarah sambil terisak. "Maafkan Ibu karena sudah menjerumuskan kalian ....""Sekarang bukan saat menyesali apa yang sudah terjadi, Bu," sela Haikal. "Semakin lama kehamilan Mbak Fatima tentu semakin membesar, mau tidak mau kita harus meminta pertanggung jawaban Faisal.""Bapak tidak setuju, Le, Bapak tidak sudi memiliki menantu seperti dia.""Kita tidak punya pilihan lain, Pak. Bapak ingin calon cucu B
***Haikal lantas menoleh ke belakang sementara pengamen yang Delia maksud sudah menepi dan duduk di atas trotoar. Wajahnya sedikit tertutup topi, namun rahangnya yang tegas bisa terlihat jelas jika pria itu adalah ...."Apa cuma mirip?" tanya Haikal ragu, "Haris tidak mungkin membiarkan orang tuanya mengamen di lampu merah, Dek. Dia TNI loh," seloroh Haikal lagi.Delia pun ikut menoleh. Mobil yang mereka kendarai sekarang telah menepi di pinggir jalan. Pria itu ... pria yang Delia rasa adalah Bapak Haris terlihat sedang termenung sambil mengusap peluh di pelipisnya tanpa melepas topi seperti sengaja sedang menyembunyikan wajah dari para pengendara yang berlalu lalang. "Sejak awal merasa ragu kalau Haikal ini benar-benar TNI, Mas.""Maksudnya?""Y-- ya ... dia hanya pria biasa, bukan abdi negara."Haikal kembali menatap ke depan, sesekali ia melirik Delia yang masih melihat dengan seksama pria berbaju lusuh di bela
***"Masuk, Kamila!" pinta Faisal membentak. "Aku tidak mengijinkan kamu mendengar apa yang Delia katakan. Masuk!""Mbak Fatima adalah kakak keduaku, Mbak Mila."Lutut Kamila terasa lemas. Hampir saja wanita cantik itu limbung jika tangannya tidak segera bersandar pada dinding. Kamila menggeleng tidak percaya. Selama bermain perempuan, baru kali ini Faisal kecolongan sampai meninggalkan benih di rahim wanita lain. Dadanya sesak. Hatinya perih. Namun inilah kebenarannya, Faisal menghamili wanita lain yang tak lain adalah Fatima, kakak kedua Delia. Tangan Kamila perlahan meremas dadanya kuat-kuat. Air mata yang sejak tadi menggumpal kini terurai sudah. Tangis Ibu beranak dua itu pecah. Pilu sekali. "Aku menyerah, Mas ...." Kamila berbicara dengan bibir bergetar. "Aku menyerah ....""Apa yang kamu katakan, Kamila? Delia bohong, aku tidak pernah menghamili wanita lain! Aku memang brengsek, tapi ... tapi percaya padaku, aku tidak mungkin membuat Fatima hamil." Haikal tersenyum sinis men
***"Apa sih, Rin? Kenapa Bapaknya Haris, hah?" Om Dani memekik kesal. Mobil yang melaju dengan kecepatan sedang hampir saja lepas kendali karena suara Erina yang terdengar mengagetkan. "Bahaya teriak-teriak di tengah jalan begini, Ayah kaget tau gak?!"Erina tak acuh dengan Om Dani yang sedang menggerutu. Kepalanya masih menoleh ke belakang untuk memastikan bahwa pria paruh baya yang ia tatap tadi bukanlah calon mertuanya. "Pengamen tadi, Yah, dia calon mertuaku."Alih-alih percaya, Bibi Naomi dan Om Dani justru tergelak. "Erina ... Erina ... kamu ini bicara apa sih, mana ada pengamen tadi calon mertua kamu? Wajahnya saja tidak terlihat semua, bisa jadi kamu salah lihat. Mama nih yang cari gara-gara, bikin Erina kepikiran!" gerutu Om Dani lagi. "Sudah, jangan dibahas lagi! Haris itu TNI, Rin, mana mungkin orang tuanya jadi pengamen. Aneh kamu itu!"Erina menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Mungkin memang iya, mana mungkin Haris
***"Haikal, woi!"Delia terperanjat ketika suara di seberang sana terdengar membentak. "Kamu dengar kan aku ngomong apa? Kita ketemu di Restoran Delima, jangan sampai ada yang tahu, Delia sekalipun. Awas aja!"Delia menghela napas perlahan. Suara ini ... suara yang tidak asing di telinga Delia. "Mau apa? Kalau ada perlu datang saja ke rumah," jawab Delia seketika membuat hening panggilan yang tengah berlangsung. "Kenapa aku tidak boleh tau, apa yang mau kamu bicarakan ... Haris?""De-- Delia?" "Ya, ini aku," jawab Delia dingin. "Kenapa, mau apa bertemu suamiku?"Helaan napas terdengar berat di seberang sana. Haris tidak berbicara, cukup lama panggilannya dibiarkan hening sampai akhirnya Haikal keluar dari dalam kamar mandi dan bertanya, "Siapa, Sayang?""Haris," jawab Delia sembari menyerahkan ponsel pada suaminya. "Assalamualaikum ....""Brengsek! Kamu sengaja minta Delia mengangkat panggilanku kan?" hardik Haris sengit. "Hei, Haikal ... aku ada perlu sama kamu, bukan sama Delia j
***"Mau apa dia ngajak ketemu?" tanya Pak Handoko. "Tidak tahu, Pak," jawab Haikal jujur. "Entah darimana dia dapat nomor WA saya."Fatima mencebik lalu membuang muka. Seketika dia teringat dengan pesan Erina kemarin malam agar mengirim nomor Haikal dengan alasan ingin bertanya-tanya tentang hotel yang pernah dipakai untuk acara pernikahan."Tadi malam Erin yang minta sama aku, katanya mau tanya-tanya tentang hotel tempat kamu dan Delia menikah."Haikal menoleh. "Begitu?" sahut Haikal tak acuh. "Ya sudah, nanti dia juga bakalan kesini kalau memang butuh informasi tambahan untuk rekomendasi hotel," jawabnya lagi. Dari ruang tamu terdengar deru mobil berhenti di halaman rumah. Haikal menoleh berharap mobil Faisal yang datang namun ternyata bukan. Bibi Naomi dan Erina lah yang keluar dari dalam mobil berwarna silver itu."Mbak Sarah!" pekik Bibi Naomi saat tubuhnya sudah berdiri di ambang pintu. "Ya Ampun, Mbak ... bisa-bisanya kamu punya anak perawan yang gak pandai menjaga diri!" c
***"Kamu kenapa teriak-teriak di rumah Budhe Sarah, Mas?" tanya Erina rikuh, semua keluarganya menatap Haris dengan pandangan jengah. Bagaimana bisa seorang ASN berperilaku kasar dan tidak sopan di rumah keluarga calon istrinya? "Ada janji sama Haikal?" tanya Erina lagi.Haris mematung di ambang pintu. Jakunnya terlihat naik turun menelan ludah dengan kasar. Sial, batinnya."E-- Erin, kenapa kamu ada disini, Sayang?"Erina mengerutkan kening. "Ini rumah Budhe Sarah, Mas, wajar kan aku disini. Kamu ... ngapain? Ada perlu apa sama Haikal?"Haris tersenyum kaku, "Aku ... aku ada yang mau dibahas sama Haikal, Sayang. Mau tanya-tanya seputar pernikahan dia waktu itu, apa saja yang dibutuhkan dan ....""Dan ya ... itu ... hanya itu," ucap Haris gugup. "Maaf, tadi kukira di rumah Delia tidak ada orang. Makanya aku langsung masuk dan panggil Haikal. Sorry!"Delia mencebik malas. Alasan klise. Mana mungkin di rumahnya tidak ada orang sementara Bapak dan Ibunya selalu berada di rumah."Terus k
***"Kurang ajar kau, Haikal!" hardik Haris geram. Haikal mengedikkan bahu tak acuh, "Kenapa kurang ajar? Bukannya wajar kalau aku terbuka sama istri, memang salah?"Kedua tangan Haris mengepal kuat. Apalagi ketika Haikal mengatakan tentang pengamen di lampu merah, deru napasnya semakin memburu. Ingin rasanya ia lekas pulang dan mencaci maki pria paruh baya itu. "Aku kesini dengan maksud baik, kurang ajar sekali kau menghina Ayahku!""Berhutang bukan hal baik, Haris," sindir Haikal, "Apalagi berhutang hanya untuk menunjang gaya hidup. Kalau tidak punya uang untuk menggelar pesta mewah, ya sudah ... menikah saja dengan sederhana. Beres!""Perihal ayahmu ... aku yakin sekali kami tidak salah lihat.""Kami?" Ulang Haris. Wajahnya yang semula menegang kini berubah pucat. "Ya, kami. Aku dan Delia. Kau tahu kan kalau pandangan istriku itu tajam sekali. Pria paruh baya yang siang tadi mengamen di lampu merah ... adalah ayahmu. Benar kan?"Haris sontak bangkit. Rahangnya mengeras mendengar