***"Kurang ajar kau, Haikal!" hardik Haris geram. Haikal mengedikkan bahu tak acuh, "Kenapa kurang ajar? Bukannya wajar kalau aku terbuka sama istri, memang salah?"Kedua tangan Haris mengepal kuat. Apalagi ketika Haikal mengatakan tentang pengamen di lampu merah, deru napasnya semakin memburu. Ingin rasanya ia lekas pulang dan mencaci maki pria paruh baya itu. "Aku kesini dengan maksud baik, kurang ajar sekali kau menghina Ayahku!""Berhutang bukan hal baik, Haris," sindir Haikal, "Apalagi berhutang hanya untuk menunjang gaya hidup. Kalau tidak punya uang untuk menggelar pesta mewah, ya sudah ... menikah saja dengan sederhana. Beres!""Perihal ayahmu ... aku yakin sekali kami tidak salah lihat.""Kami?" Ulang Haris. Wajahnya yang semula menegang kini berubah pucat. "Ya, kami. Aku dan Delia. Kau tahu kan kalau pandangan istriku itu tajam sekali. Pria paruh baya yang siang tadi mengamen di lampu merah ... adalah ayahmu. Benar kan?"Haris sontak bangkit. Rahangnya mengeras mendengar
***"Siapa ....?"Fatima bertanya setelah membuka pintu. Keningnya mengernyit ketika melihat seorang wanita berdiri membelakanginya. "Cari siapa, Mbak?"Wanita tersebut menoleh. Bibirnya tersenyum kala melihat Fatima untuk yang pertama kali. "Delia," jawab wanita itu lembut. "Saya ada perlu dengan Delia. Ah, atau juga dengan kamu," imbuhnya membuat kening Fatima semakin berkerut. "Denganku, kamu siapa?""Saya Kamila ...."Fatima lagi-lagi mengernyit. "Kamila?" Ulangnya. "Siapa ya ....?"Kamila mengulas senyum tipis. Dipandanginya wajah Fatima yang terlihat segar dan berisi. Perutnya masih rata, namun Kamila yakin jika Delia tidak mungkin berdusta jika di dalam rahim kakaknya ada benih Faisal. Tiba-tiba mata Kamila berkaca-kaca. Lima tahun menjalani biduk rumah tangga dengan menahan segala luka yang Faisal berikan nyatanya tidak mampu membuat rumah tangganya baik-baik saja. Kemarin, dunianya benar-benar terguncang. Bagaimana tidak, Delia dan Haikal datang meminta pertanggung jawaban
***"Bohong!" pekik Fatima. "Aku mengandung anak Mas Faisal, dia pasti mau menikahiku!"Pak Handoko menekan bahu Fatima seraya menatap putri keduanya dengan tajam. "Duduklah! Di depanmu ada seorang wanita yang dunianya kau hancurkan, Nak, tapi apa kau lihat ada kilat kemarahan di matanya? Harusnya kamu sungkan, Fatima ... seharusnya kamu merasa malu karena perbuatanmu ini sudah merusak rumah tangga orang lain," tegur Pak Handoko tegas. "Pak, Mas Faisal sendiri yang bilang kalau dia sudah tidak mencintai istrinya, ini bukan salahku!" Plak ...!!!Bu Sarah menampar pipi Fatima untuk yang kesekian kalinya. Kali ini tangannya bahkan tidak bergetar seakan-akan tidak ada penyesalan karena sudah membuat pipi putri keduanya memerah. "Bu ...," panggil Delia lembut. "Kita sedang ada tamu," ucapnya."Dia bukan tamu, Delia. Dia adalah wanita yang sudah Fatima hancurkan. Dia bukan tamu, Nak ...."Kamila melengos. Betapa ia bisa merasakan sakit hati Bu Sarah dan Pak Handoko atas perbuatan putriny
***"Sekarang kita harus bagaimana, Pak? Aku rasa Mbak Kamila benar, Mas Faisal pasti kekeuh menolak menikahi Mbak Fatima, belum lagi Mas Jaka ... astaghfirullah ... kenapa Faisal brengsek sekali," gerutu Delia. Haikal keluar masih lengkap dengan baju kokoh dan sarung serta peci di kepala. "Dek, kenapa bicaranya begitu?" tegurnya membuat Delia seketika mengulum bibir. "Mas, aku kesal sekali ....""Jangan sampai kebencian kamu terhadap seseorang membuatmu berkata-kata kotor," tegur Haikal lagi. "Faisal tidak akan berubah hanya dengan kalimat umpatan. Tidak semudah itu," kata Haikal menuai anggukan kepala Kamila. "Suamimu benar, Delia. Aku punya rencana ...."Semua orang beralih menatap Kamila dengan air muka bertanya-tanya. Rencana apa yang sedang direncanakan wanita itu?Di ruang tamu, keluarga Delia mendengarkan dengan seksama rencana yang Kamila katakan, tidak terkecuali Fatima sekalipun. "Aku rasa itu tidak akan berhasil, Mbak," sahut Delia. "Mana mungkin dia berani datang kemar
***‘Mustahil aku tidak terluka dengan perpisahan ini karena perceraian adalah satu-satunya akhir yang tidak ingin aku tuju. Namun seberapa kuat pun aku bertahan, nyatanya aku tidak mampu, hujan di mataku selalu menderas ketika menatap binar cinta di mata wanita lain untukmu.’ ~Kamila Larasati ***"Are ’u okay, Kamila?"Kamila mencengkeram dadanya kuat-kuat. Mustahil. Mustahil jika dia baik-baik saja melihat suami yang sudah menemaninya selama lima tahun itu menikahi wanita lain.Tangis Kamila terdengar menyayat hati. Pilu. Wanita berambut sebahu itu tersedu tanpa peduli siapa yang ada di sampingnya saat ini. "Aku tahu melepas Mas Faisal sama halnya seperti membuang sampah, tapi ... kenapa hatiku merasa sesakit ini?" "Tidak ada perempuan yang merasa baik-baik saja ketika rumah tangganya mencapai akhir, Kamila."Kamila mengangguk membenarkan. "Dia bukan pria yang baik, melepasnya untuk Fatima bukankah aku sudah melakukan hal yang benar? Sampah ... harus dibuang pada tempatnya," ucap
***"Sekarang coba kamu telepon Haris, minta dia datang ke rumah. Cepat!" Om Dani terbakar amarah. Dia memerintah Erina dengan kedua tangan yang menggenggam erat setir mobil. "Pokoknya Delia harus dilaporkan, enak sekali dia mau merusak nama baik calon suami Ayah. Gak bisa!"Erina termangu sementara tangannya sibuk memutar-mutar cincin yang ada di jari manisnya. ‘Sudah kau tanyakan surat-surat perhiasan yang Haris beri untukmu, Erin? Ada? Atau ... imitasi?’Suara Haikal terngiang-ngiang di telinga Erina. Bohong jika dia tidak panik saat ini mengingat Haris selalu saja berkilah ketika Erina meminta semua surat perhiasan yang dibawa ketika pertunangan. Erina menggigit bibirnya gusar. Bagaimana jika Delia benar? Bagaimana jika tunangannya itu bukanlah abdi negara."Apa menurut Mama cincin berlian ini imitasi?"Bibi Naomi mencebik. Tangannya menjitak kepala Erina dengan gemas. "Jangan termakan omongan Haikal, Bodoh!""Ma, tapi Mas Haris tidak pernah mau menunjukkan surat-suratnya ....""
***"Ah, Haikal hanya membual, Sayang, lagipula mana mungkin aku pinjam duit, memang Haikal siapa, dia cuma petani?" Haris tertawa kaku melihat air muka Erina yang datar. "Erin, seratus juta tidak ada apa-apanya buatku. Tapi kamu tahu kan, setelah menikah aku punya impian tentang bisnis ....""Aku tidak perduli tentang bisnis yang kamu maksud, Mas," sela Erina. "Aku hanya mau menikah dengan mewah! Delia dan Haikal harus dibungkam dengan pesta megah kita. Titik!"Haris membuang muka. "Rin, tolong mengertilah ....""Aku sudah cukup mengerti, Mas!" pekik Erina. "Pertunangan yang seharusnya digelar besar-besaran ternyata hanya didatangi anggota keluarga kita. Aku punya impian tentang pernikahan kita, Mas, aku mau acara kita semegah acara-acara pernikahan para abdi negara yang lain. Aku mau seperti itu!" seru Erina menggebu-gebu. "Aku sudah cukup mengerti selama ini. Kamu melarangku datang ke rumahmu dengan berbagai alasan. Kamu takut aku dianggap wanita tidak baik sementara kita saja ser
***"Tinggallah beberapa hari lagi, Nduk." Suara Bu Sarah menghentikan gerakan tangan Delia yang sedang memasukkan beberapa helai baju ke dalam tas berukuran sedang. "Setidaknya sampai acara tujuh hari pernikahan Mbakmu. Setelah ‘selamatan’ tujuh hari pernikahan, kamu bisa pulang."Delia melirik Haikal yang masih berdiri di ambang pintu. "Delia sudah bersuami, Bu, tidak baik menghentikan langkahnya untuk meraih bakti pada suami. Lagipula pekerjaan Haikal di kampung, kalau mereka disini lebih lama, siapa yang membantu Besan kita di sana?" sahut Pak Handoko bijak. "Delia dan Haikal sudah banyak membantu kita berdua, jangan menyulitkan mereka lagi."Bu Sarah terduduk di tepi ranjang dengan bahu bergetar. Delia iba, bagaimanapun perasaan anak pasti terluka melihat orang tuanya menangis tersedu-sedu. "Aku bisa pulang sewaktu-waktu kapanpun Ibu minta, Mas Haikal pasti mau mengantarku, Bu," kata Delia berusaha membesarkan hati Sang Ibu. "Tapi untuk sekarang, kami harus pulang, Bu."Bu Sara