***"Tinggallah beberapa hari lagi, Nduk." Suara Bu Sarah menghentikan gerakan tangan Delia yang sedang memasukkan beberapa helai baju ke dalam tas berukuran sedang. "Setidaknya sampai acara tujuh hari pernikahan Mbakmu. Setelah ‘selamatan’ tujuh hari pernikahan, kamu bisa pulang."Delia melirik Haikal yang masih berdiri di ambang pintu. "Delia sudah bersuami, Bu, tidak baik menghentikan langkahnya untuk meraih bakti pada suami. Lagipula pekerjaan Haikal di kampung, kalau mereka disini lebih lama, siapa yang membantu Besan kita di sana?" sahut Pak Handoko bijak. "Delia dan Haikal sudah banyak membantu kita berdua, jangan menyulitkan mereka lagi."Bu Sarah terduduk di tepi ranjang dengan bahu bergetar. Delia iba, bagaimanapun perasaan anak pasti terluka melihat orang tuanya menangis tersedu-sedu. "Aku bisa pulang sewaktu-waktu kapanpun Ibu minta, Mas Haikal pasti mau mengantarku, Bu," kata Delia berusaha membesarkan hati Sang Ibu. "Tapi untuk sekarang, kami harus pulang, Bu."Bu Sara
***"Mbak, kamu keterlaluan ....""Jangan termakan dengan air mata Ibu, Delia, aku yang lebih tahu bagaimana sikap dan perangai Ibu yang sesungguhnya. Apa kamu tidak merasa janggal mengapa Ibu tiba-tiba berubah menjadi sosok Ibu yang penyayang di hadapanmu, hah? Bukankah sedari awal Ibulah yang sudah memaksamu menerima pinangan Mas Faisal, kau lupa?""Ibu sudah menyesali perbuatannya, Mbak," seru Delia. "Tega sekali kamu berbicara seperti itu di hadapan Bapak dan Ibu. Belum puas Mbak Fatima menyakiti hati mereka?"Fatima tertawa getir. "Asal kamu tahu ... Ibu adalah satu-satunya orang yang mati-matian mempertahankan kehamilan ini, bukan aku!" teriak Fatima kalap. "Kamu tahu kenapa, hah? Kamu tahu kenapa Ibu memaksaku ....""Fatima, cukup!" teriak Bu Sarah, "Cukup, Fat!""Kenapa Ibu melakukan ini?" Tangis Fatima menjadi-jadi. "Kenapa tidak Ibu katakan saja sejak awal jika ini semua adalah rencana Ibu? Katakan!"Tas selempang yang ada dalam genggaman Delia terjatuh begitu saja. Tulang-t
***."Assalamualaikum ....""Waalaikumsalam, Emak," jawab Delia sembari tersenyum melihat Emak Karti yang tengah berdiri di ambang pintu dapur. "Tadi malam belum sempat ke rumah, Mas Haikal bilang mungkin Emak dan Bapak sudah tidur," papar Delia.Delia mencium punggung tangan Emak Karti dan membantu wanita tua itu duduk dengan perlahan. "Bapak ....""Bapak sudah berangkat ke sawah, beberapa hari ini selalu berangkat pagi, Nduk, musim panen," sela Emak. "Jadi belum tahu kalau saya dan Mas Haikal sudah pulang?""Tahu," jawab Emak singkat. "Kan mobil kalian di halaman," imbuhnya.Delia menepuk dahinya perlahan. "Oh iya."Emak terkekeh sementara Delia kembali berkutat dengan ikan di atas penggorengan. "Bagaimana kabar Ibu dan Bapak, semua baik-baik saja?"Delia tertegun. Sejak semalam tidurnya terasa tidak nyenyak. Ada banyak pertanyaan yang membuat kepalanya terasa penuh ingin pecah. Tiba-tiba matanya berkaca-kaca, ucapan Fatima terngiang di telinga. "Delia ...."Delia tersentak kag
***"Sabar ya, Neng, jangan dimasukin ke dalam hati, lagipula Neng Delia sama Mas Haikal kan baru menikah, belum hamil bukan berarti mandul," papar Yu Jamilah resah. "Mulut Neng Ranti memang suka bicara pedas. Sudah terkenal dia seperti itu, kejam sama orang miskin apalagi pembantu di rumahnya. Huh!"Delia mengulas senyum getir di hadapan Yu Jamilah. "Kok jadi gibah?" gurau Delia membuat air muka Yu Jamilah berubah kikuk. "Y-- ya, bagaimana lagi, Neng, Bulek gemas soalnya. Huh, rasanya pengen Bulek bejek-bejek itu mulutnya Neng Ranti!""Kalau Emak Karti tahu, sudah pasti dia marah mendengar menantunya dihina seperti itu," imbuh Yu Jamilah kesal. "Aku adukan saja sama Emak, sekali-kali anak Ustad Jefri yang satu itu harus diberi pelajaran.""Bulek, tidak usah!" cegah Delia. "Saya baik-baik saja, tidak perlu membebani Emak dengan ucapan Mbak Ranti yang tidak bermutu itu, ya?" Yu Jamilah nampak ragu sebelum akhirnya ia memilih mengangguk karena wajah Delia yang memelas. "Kasihan Emak jik
***"Ck, ayolah, Haikal ... bisa kali pinjami kami tanpa jaminan. Sekali ini saja."Erina cemberut melihat calon suaminya yang merengek di depan Haikal. "Bagaimana, Dek?"Delia menggeleng tegas. "Aku tidak setuju! Masih teringat dengan jelas bagaimana mereka berdua mencaci maki kamu, Mas. Betapa mereka memandang pekerjaan kamu yang dianggapnya remeh dan tidak berpenghasilan. Aku tidak mau Mas kasih pinjaman apapun alasannya!""Jangan kekanak-kanakan, Delia!" Suara Erina meninggi. "Lagipula kami tidak salah, dulu Haikal hanya mengatakan kalau dia seorang petani, andai dia bilang kalau dia petani kaya, mana berani kita menghina. Itu salah suami kamu sendiri!" Delia membuang muka. Dadanya naik turun mengingat bagaimana perlakuan Erina dan Haris serta keluarga Bibi Naomi kepada Haikal, dulu. "Lima puluh juta saja, Dek ....""Mas, mereka sering menghina kamu, dulu. Untuk apa kita mengasihani orang yang bahkan tidak punya hati seperti mereka?" sela Delia."Erina sepupu kamu, Delia, sesam
***"Uangnya biar Mas yang pegang." Erina mengernyit mendengar penuturan Haris. "Besok biar bisa langsung urus DP WO dan Hotel, Sayang.""Buru-buru sekali, memang undangan pernikahan sudah Mas urus?"Haris menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Ya, besok biar Mas urus sekalian. Kamu tenang saja, nanti kalau ada kurangnya Bapak dan Ibu pasti membantu.""Undangan Mama sama Ayah itu banyak, Mas yakin gak perlu aku bantu?" tawar Erina tulus. "Kita perlu sekitar 3000 undangan, Mas, sanggup kamu ngurus sendirian?""Tenang saja, Sayang, serahkan semuanya padaku." Haris mengecup pipi Erina cukup lama sebelum akhirnya sepupu Delia itu melengos melepaskan bibir Haris dari pipinya. "Kamu kenapa, Erin?"Erina mendengus kesal. "Aku masih kesal, kenapa Mas bisa kehabisan uang? Mas tahu kan kalau ucapan Delia tadi melukai hatiku?""Maafkan aku, Erina. Ini juga diluar kendali Mas, mengertilah, Sayang!"Erina menyentak napasnya kasar. Enggan memperkeruh suasana, wanita cantik berjaket jeans itu menat
***"Mas hanya mau Erina membuka matanya, Sayang, dia seharusnya menaruh curiga pada Haris. Kamu tahu kan, ada banyak sekali kejanggalan yang terjadi bahkan di hari pertunangan mereka. Mas sudah mencium kebohongan sejak Haris datang melamar Erina.""Mas, itu bukan urusan kita," sahut Delia menahan kesal. "Mau Erina dibohongi kek, ditipu kek, aku gak perduli! Dia sudah banyak menghina kamu, aku benci ....""Jangan kotori hatimu dengan hal-hal dari masa lalu, Delia." Haikal memeluk Delia lagi. Kali ini pelukannya bahkan jauh lebih erat dari sebelumnya. "Kita bisa saja tidak perduli, tapi ... bisa kamu bayangkan bagaimana hancurnya keluarga Bibi Naomi jika mereka tahu siapa Haris?""Setidaknya kita punya rasa kasihan, Delia, bukan justru tertawa dan merasa menang karena musibah yang akan menimpa mereka.""Tapi mereka keterlaluan, Mas! Kamu ingat kan bagaimana pedasnya ucapan Bibi Naomi saat tahu Mbak Fatima hamil?" Delia masih menggebu-gebu, kesal mengetahui suaminya memberikan perhatian
***Delia mengeratkan genggamannya pada tangan Emak Karti. Entah Haikal yang tidak merasa familiar pada wanita di depannya atau memang tidak ada tempat duduk yang kosong lagi di dekat mereka, Haikal tiba-tiba menarik kursi tepat di sebelah meja wanita cantik berbaju minim itu. "Sayang, di sebelah sini!" panggil Haikal lembut. Delia mengangguk dan membawa Emak mendekati Haikal. "Silahkan duduk, Mak," kata Delia mempersilahkan.Emak menunduk tanpa berani menoleh ke arah dimana wanita seksi itu berada. Jantungnya berdegup kencang. Tangannya yang keriput tiba-tiba terasa dingin dan berkeringat. Sekilas wanita tua itu melirik, namun lagi-lagi hanya kalimat istighfar yang keluar dari bibirnya. "Mak, sehat?" Haikal menggenggam jemari Emak yang dingin. "Kenapa dingin sekali, sakit?"Emak menggeleng samar. "Tidak, Le. Emak hanya ... kedinginan."Haikal tersenyum menanggapi ucapan Emak. "Tau gitu tadi makan di pinggir jalan saja ya, Mak?" bisiknya. "Mau keluar saja, mumpung belum pesan ini,"