***."Assalamualaikum ....""Waalaikumsalam, Emak," jawab Delia sembari tersenyum melihat Emak Karti yang tengah berdiri di ambang pintu dapur. "Tadi malam belum sempat ke rumah, Mas Haikal bilang mungkin Emak dan Bapak sudah tidur," papar Delia.Delia mencium punggung tangan Emak Karti dan membantu wanita tua itu duduk dengan perlahan. "Bapak ....""Bapak sudah berangkat ke sawah, beberapa hari ini selalu berangkat pagi, Nduk, musim panen," sela Emak. "Jadi belum tahu kalau saya dan Mas Haikal sudah pulang?""Tahu," jawab Emak singkat. "Kan mobil kalian di halaman," imbuhnya.Delia menepuk dahinya perlahan. "Oh iya."Emak terkekeh sementara Delia kembali berkutat dengan ikan di atas penggorengan. "Bagaimana kabar Ibu dan Bapak, semua baik-baik saja?"Delia tertegun. Sejak semalam tidurnya terasa tidak nyenyak. Ada banyak pertanyaan yang membuat kepalanya terasa penuh ingin pecah. Tiba-tiba matanya berkaca-kaca, ucapan Fatima terngiang di telinga. "Delia ...."Delia tersentak kag
***"Sabar ya, Neng, jangan dimasukin ke dalam hati, lagipula Neng Delia sama Mas Haikal kan baru menikah, belum hamil bukan berarti mandul," papar Yu Jamilah resah. "Mulut Neng Ranti memang suka bicara pedas. Sudah terkenal dia seperti itu, kejam sama orang miskin apalagi pembantu di rumahnya. Huh!"Delia mengulas senyum getir di hadapan Yu Jamilah. "Kok jadi gibah?" gurau Delia membuat air muka Yu Jamilah berubah kikuk. "Y-- ya, bagaimana lagi, Neng, Bulek gemas soalnya. Huh, rasanya pengen Bulek bejek-bejek itu mulutnya Neng Ranti!""Kalau Emak Karti tahu, sudah pasti dia marah mendengar menantunya dihina seperti itu," imbuh Yu Jamilah kesal. "Aku adukan saja sama Emak, sekali-kali anak Ustad Jefri yang satu itu harus diberi pelajaran.""Bulek, tidak usah!" cegah Delia. "Saya baik-baik saja, tidak perlu membebani Emak dengan ucapan Mbak Ranti yang tidak bermutu itu, ya?" Yu Jamilah nampak ragu sebelum akhirnya ia memilih mengangguk karena wajah Delia yang memelas. "Kasihan Emak jik
***"Ck, ayolah, Haikal ... bisa kali pinjami kami tanpa jaminan. Sekali ini saja."Erina cemberut melihat calon suaminya yang merengek di depan Haikal. "Bagaimana, Dek?"Delia menggeleng tegas. "Aku tidak setuju! Masih teringat dengan jelas bagaimana mereka berdua mencaci maki kamu, Mas. Betapa mereka memandang pekerjaan kamu yang dianggapnya remeh dan tidak berpenghasilan. Aku tidak mau Mas kasih pinjaman apapun alasannya!""Jangan kekanak-kanakan, Delia!" Suara Erina meninggi. "Lagipula kami tidak salah, dulu Haikal hanya mengatakan kalau dia seorang petani, andai dia bilang kalau dia petani kaya, mana berani kita menghina. Itu salah suami kamu sendiri!" Delia membuang muka. Dadanya naik turun mengingat bagaimana perlakuan Erina dan Haris serta keluarga Bibi Naomi kepada Haikal, dulu. "Lima puluh juta saja, Dek ....""Mas, mereka sering menghina kamu, dulu. Untuk apa kita mengasihani orang yang bahkan tidak punya hati seperti mereka?" sela Delia."Erina sepupu kamu, Delia, sesam
***"Uangnya biar Mas yang pegang." Erina mengernyit mendengar penuturan Haris. "Besok biar bisa langsung urus DP WO dan Hotel, Sayang.""Buru-buru sekali, memang undangan pernikahan sudah Mas urus?"Haris menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Ya, besok biar Mas urus sekalian. Kamu tenang saja, nanti kalau ada kurangnya Bapak dan Ibu pasti membantu.""Undangan Mama sama Ayah itu banyak, Mas yakin gak perlu aku bantu?" tawar Erina tulus. "Kita perlu sekitar 3000 undangan, Mas, sanggup kamu ngurus sendirian?""Tenang saja, Sayang, serahkan semuanya padaku." Haris mengecup pipi Erina cukup lama sebelum akhirnya sepupu Delia itu melengos melepaskan bibir Haris dari pipinya. "Kamu kenapa, Erin?"Erina mendengus kesal. "Aku masih kesal, kenapa Mas bisa kehabisan uang? Mas tahu kan kalau ucapan Delia tadi melukai hatiku?""Maafkan aku, Erina. Ini juga diluar kendali Mas, mengertilah, Sayang!"Erina menyentak napasnya kasar. Enggan memperkeruh suasana, wanita cantik berjaket jeans itu menat
***"Mas hanya mau Erina membuka matanya, Sayang, dia seharusnya menaruh curiga pada Haris. Kamu tahu kan, ada banyak sekali kejanggalan yang terjadi bahkan di hari pertunangan mereka. Mas sudah mencium kebohongan sejak Haris datang melamar Erina.""Mas, itu bukan urusan kita," sahut Delia menahan kesal. "Mau Erina dibohongi kek, ditipu kek, aku gak perduli! Dia sudah banyak menghina kamu, aku benci ....""Jangan kotori hatimu dengan hal-hal dari masa lalu, Delia." Haikal memeluk Delia lagi. Kali ini pelukannya bahkan jauh lebih erat dari sebelumnya. "Kita bisa saja tidak perduli, tapi ... bisa kamu bayangkan bagaimana hancurnya keluarga Bibi Naomi jika mereka tahu siapa Haris?""Setidaknya kita punya rasa kasihan, Delia, bukan justru tertawa dan merasa menang karena musibah yang akan menimpa mereka.""Tapi mereka keterlaluan, Mas! Kamu ingat kan bagaimana pedasnya ucapan Bibi Naomi saat tahu Mbak Fatima hamil?" Delia masih menggebu-gebu, kesal mengetahui suaminya memberikan perhatian
***Delia mengeratkan genggamannya pada tangan Emak Karti. Entah Haikal yang tidak merasa familiar pada wanita di depannya atau memang tidak ada tempat duduk yang kosong lagi di dekat mereka, Haikal tiba-tiba menarik kursi tepat di sebelah meja wanita cantik berbaju minim itu. "Sayang, di sebelah sini!" panggil Haikal lembut. Delia mengangguk dan membawa Emak mendekati Haikal. "Silahkan duduk, Mak," kata Delia mempersilahkan.Emak menunduk tanpa berani menoleh ke arah dimana wanita seksi itu berada. Jantungnya berdegup kencang. Tangannya yang keriput tiba-tiba terasa dingin dan berkeringat. Sekilas wanita tua itu melirik, namun lagi-lagi hanya kalimat istighfar yang keluar dari bibirnya. "Mak, sehat?" Haikal menggenggam jemari Emak yang dingin. "Kenapa dingin sekali, sakit?"Emak menggeleng samar. "Tidak, Le. Emak hanya ... kedinginan."Haikal tersenyum menanggapi ucapan Emak. "Tau gitu tadi makan di pinggir jalan saja ya, Mak?" bisiknya. "Mau keluar saja, mumpung belum pesan ini,"
***"Pulanglah, Neng Ranti, saya tidak ada urusan apapun dengan kamu," usir Haikal ketus. "Anggap saja malam ini saya sekeluarga tidak pernah melihat kamu di Restoran ini. Insyaallah, kami pandai menyimpan aib orang lain." Ranti menangis. Perempuan berbaju seksi itu mendekati Emak Karti. Tangannya terulur hendak meraih tangan keriput mertua Delia namun dengan sigap Emak menyembunyikan dirinya di balik tubuh Sang Menantu. "Mak ...." Bibir Ranti bergetar. "Sungguh, aku dipaksa melalukan ini. Aku diancam!" "Maaf, Neng, itu bukan urusan kami. Haikal benar, lebih baik kamu pulang karena hari semakin malam."Ranti menggeleng cepat. "Kang, aku tahu kalau Kang Haikal pasti tidak tega melihatku seperti ini. Tolong, Kang ... jangan hanya karena dia Akang menutup mata tidak mau membantuku." Ranti menunjuk wajah Delia, "Bantu aku, antar aku pulang, Kang!"Delia terkekeh sumbang. "Aku istrinya, atas dasar apa kamu meminta agar suamiku tidak menutup mata padamu, coba jelaskan!" "Kamu tidak tahu
***"Jangan menyentuh menantu saya, Neng!" Emak mencekal pergelangan tangan Ranti dan menepisnya kasar. Delia terkejut mendapati Emak Karti yang tiba-tiba sudah berdiri di depannya. "Emak," panggil Delia. "Mak Karti." Yu Jamilah turut memanggil. "Astaghfirullah, ada apa ini sebenarnya. Neng Ranti mau menampar Mbak Delia?" seru ibu-ibu yang lain."Sstt, diam ... diam!" ucap Bu Hajat. Seketika suasana yang ricuh berubah hening. "Mak, ada apa?"Emak mengubah mimik wajahnya. "Tidak ada apa-apa. Emak hanya tidak mau ada orang lain yang menyakiti Delia."Ibu-ibu terlihat saling pandang membuat ruang gerak Ranti menjadi terbatas. "Mak ... Emak salah paham, Emak berpikir saya mau menampar pipi Delia, begitu? Bukan seperti itu, Mak ....""Kalau memang bukan seperti itu, saya minta maaf sudah menepis tangan Neng Ranti. Ayo, Nduk ... sudah selesai?"Delia hampir menangis melihat kedatangan Emak yang serupa penyelamat baginya. Berhadapan dengan Ranti adalah satu dari beberapa alasan mengapa ha