***"Uangnya biar Mas yang pegang." Erina mengernyit mendengar penuturan Haris. "Besok biar bisa langsung urus DP WO dan Hotel, Sayang.""Buru-buru sekali, memang undangan pernikahan sudah Mas urus?"Haris menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Ya, besok biar Mas urus sekalian. Kamu tenang saja, nanti kalau ada kurangnya Bapak dan Ibu pasti membantu.""Undangan Mama sama Ayah itu banyak, Mas yakin gak perlu aku bantu?" tawar Erina tulus. "Kita perlu sekitar 3000 undangan, Mas, sanggup kamu ngurus sendirian?""Tenang saja, Sayang, serahkan semuanya padaku." Haris mengecup pipi Erina cukup lama sebelum akhirnya sepupu Delia itu melengos melepaskan bibir Haris dari pipinya. "Kamu kenapa, Erin?"Erina mendengus kesal. "Aku masih kesal, kenapa Mas bisa kehabisan uang? Mas tahu kan kalau ucapan Delia tadi melukai hatiku?""Maafkan aku, Erina. Ini juga diluar kendali Mas, mengertilah, Sayang!"Erina menyentak napasnya kasar. Enggan memperkeruh suasana, wanita cantik berjaket jeans itu menat
***"Mas hanya mau Erina membuka matanya, Sayang, dia seharusnya menaruh curiga pada Haris. Kamu tahu kan, ada banyak sekali kejanggalan yang terjadi bahkan di hari pertunangan mereka. Mas sudah mencium kebohongan sejak Haris datang melamar Erina.""Mas, itu bukan urusan kita," sahut Delia menahan kesal. "Mau Erina dibohongi kek, ditipu kek, aku gak perduli! Dia sudah banyak menghina kamu, aku benci ....""Jangan kotori hatimu dengan hal-hal dari masa lalu, Delia." Haikal memeluk Delia lagi. Kali ini pelukannya bahkan jauh lebih erat dari sebelumnya. "Kita bisa saja tidak perduli, tapi ... bisa kamu bayangkan bagaimana hancurnya keluarga Bibi Naomi jika mereka tahu siapa Haris?""Setidaknya kita punya rasa kasihan, Delia, bukan justru tertawa dan merasa menang karena musibah yang akan menimpa mereka.""Tapi mereka keterlaluan, Mas! Kamu ingat kan bagaimana pedasnya ucapan Bibi Naomi saat tahu Mbak Fatima hamil?" Delia masih menggebu-gebu, kesal mengetahui suaminya memberikan perhatian
***Delia mengeratkan genggamannya pada tangan Emak Karti. Entah Haikal yang tidak merasa familiar pada wanita di depannya atau memang tidak ada tempat duduk yang kosong lagi di dekat mereka, Haikal tiba-tiba menarik kursi tepat di sebelah meja wanita cantik berbaju minim itu. "Sayang, di sebelah sini!" panggil Haikal lembut. Delia mengangguk dan membawa Emak mendekati Haikal. "Silahkan duduk, Mak," kata Delia mempersilahkan.Emak menunduk tanpa berani menoleh ke arah dimana wanita seksi itu berada. Jantungnya berdegup kencang. Tangannya yang keriput tiba-tiba terasa dingin dan berkeringat. Sekilas wanita tua itu melirik, namun lagi-lagi hanya kalimat istighfar yang keluar dari bibirnya. "Mak, sehat?" Haikal menggenggam jemari Emak yang dingin. "Kenapa dingin sekali, sakit?"Emak menggeleng samar. "Tidak, Le. Emak hanya ... kedinginan."Haikal tersenyum menanggapi ucapan Emak. "Tau gitu tadi makan di pinggir jalan saja ya, Mak?" bisiknya. "Mau keluar saja, mumpung belum pesan ini,"
***"Pulanglah, Neng Ranti, saya tidak ada urusan apapun dengan kamu," usir Haikal ketus. "Anggap saja malam ini saya sekeluarga tidak pernah melihat kamu di Restoran ini. Insyaallah, kami pandai menyimpan aib orang lain." Ranti menangis. Perempuan berbaju seksi itu mendekati Emak Karti. Tangannya terulur hendak meraih tangan keriput mertua Delia namun dengan sigap Emak menyembunyikan dirinya di balik tubuh Sang Menantu. "Mak ...." Bibir Ranti bergetar. "Sungguh, aku dipaksa melalukan ini. Aku diancam!" "Maaf, Neng, itu bukan urusan kami. Haikal benar, lebih baik kamu pulang karena hari semakin malam."Ranti menggeleng cepat. "Kang, aku tahu kalau Kang Haikal pasti tidak tega melihatku seperti ini. Tolong, Kang ... jangan hanya karena dia Akang menutup mata tidak mau membantuku." Ranti menunjuk wajah Delia, "Bantu aku, antar aku pulang, Kang!"Delia terkekeh sumbang. "Aku istrinya, atas dasar apa kamu meminta agar suamiku tidak menutup mata padamu, coba jelaskan!" "Kamu tidak tahu
***"Jangan menyentuh menantu saya, Neng!" Emak mencekal pergelangan tangan Ranti dan menepisnya kasar. Delia terkejut mendapati Emak Karti yang tiba-tiba sudah berdiri di depannya. "Emak," panggil Delia. "Mak Karti." Yu Jamilah turut memanggil. "Astaghfirullah, ada apa ini sebenarnya. Neng Ranti mau menampar Mbak Delia?" seru ibu-ibu yang lain."Sstt, diam ... diam!" ucap Bu Hajat. Seketika suasana yang ricuh berubah hening. "Mak, ada apa?"Emak mengubah mimik wajahnya. "Tidak ada apa-apa. Emak hanya tidak mau ada orang lain yang menyakiti Delia."Ibu-ibu terlihat saling pandang membuat ruang gerak Ranti menjadi terbatas. "Mak ... Emak salah paham, Emak berpikir saya mau menampar pipi Delia, begitu? Bukan seperti itu, Mak ....""Kalau memang bukan seperti itu, saya minta maaf sudah menepis tangan Neng Ranti. Ayo, Nduk ... sudah selesai?"Delia hampir menangis melihat kedatangan Emak yang serupa penyelamat baginya. Berhadapan dengan Ranti adalah satu dari beberapa alasan mengapa ha
***"Ha-- Haris menghilang?" Bibi Naomi memekik kaget. "Ba-- bagaimana mungkin, Rin, hilang kemana? Siapa yang bilang, hah?"Erina meraup udara sebanyak mungkin. "Ma, sudah empat hari ini Mas Haris tidak bisa aku hubungi," papar Erina sedih. "Teleponnya tidak aktif, pesanku tidak dibalas. Aku ... harus bagaimana, Ma?"Bibi Naomi terduduk dengan kaki lemas. Sementara Om Dani memohon maaf pada pekerja Poetyque WO karena kondisi istri dan anaknya sedang tidak baik-baik saja. "Kalau begitu untuk tanggal dan waktu yang sempat di booking Mbak Erina kami mohon ijin untuk membatalkan ya, Pak?"Om Dani mengangguk lemah. Namun tiba-tiba ...."Tidak bisa begitu," seru Bibi Naomi. "Mbak, saya minta waktu dua hari lagi, menantu saya mungkin sedang ada masalah. Dua hari lagi kami konfirmasi ulang terkait booking ....""Maaf, Bu. Kami hanya akan melayani calon pengantin yang benar-benar memakai jasa kami.""Maksud kamu anak saya tidak bisa booking WO punya kalian, begitu?" Bibi Naomi berkacak pingg
***"Mendadak sekali, Le, apa ada masalah?" tanya Emak. Ruang makan menjadi tempat paling nyaman untuk berbincang. Meskipun bagi sebagian orang tidak pantas makan sambil berbincang-bincang namun berbeda dengan keluarga Haikal, mereka akan bercerita panjang lebar ketika ada sudah duduk berhadapan di meja makan. Pak Gani melirik Delia yang nampak sendu. Benar. Tidak biasanya menantu kesayangannya itu terlihat tidak bersemangat seperti pagi ini. "Bawa dua karung beras di gudang, Haikal. Kebetulan kemarin Bapak minta Kang Dirman giling tiga karung. Bawalah dua, berikan pada mertuamu.""Iya, Pak.""Bawa juga pisang kepok di kebun yang sudah masak pohon. Bapak lihat ada sekitar tiga tandan.""Nggih," jawab Haikal singkat. "Mau dibawakan singkong juga? Mumpung ada Kang Dirman di kebun, biar dia cabutkan beberapa batang buat mertuamu.""Kami hanya sebentar, Pak." Delia menimpali. "Lama atau sebentar, orang tua pasti merasa senang ketika anak dan menantunya datang membawa oleh-oleh, Nduk,"
***Fatima bersiap melayangkan tamparan di pipi Meisya namun ia urungkan ketika ruang tamu rumah Bibi Naomi kembali riuh karena mendapati Erina yang tiba-tiba pingsan."Erina!" seru Bibi Naomi lantang. "Ya Ampun, Anakku!" "Rin, bangun!" Bu Sarah menepuk-nepuk pipi Erina dengan lembut. "Lah kok malah pingsan to, Rin, gimana bisa selesai urusannya kalau pingsannya gantian begini." Bibi Husniah menggerutu. "Lagian Haris bukan TNI beneran, kalaupun dia kabur yang dibawa pergi juga bukan uang Erina dan Naomi, tapi uang Haikal."Bibi Naomi melayangkan tatapan tajam pada kakak keduanya itu. Dadanya naik turun. Emosinya sudah siap meledak karena ucapan Bibi Husniah yang terlampau pedas. Menyadari air muka Bibi Naomi yang berubah garang, Eyang Salma menepuk lengan Bibi Husniah sambil berkata, "Diam, Hus!"Bibi Husniah mencebik, meskipun begitu ia tetap mematuhi teguran Eyang Salma dan mulai menutup mulutnya rapat-rapat. "Bangun, Erin! Bangun!" Bibi Naomi menangis histeris. "Haris keparat!