***"Mendadak sekali, Le, apa ada masalah?" tanya Emak. Ruang makan menjadi tempat paling nyaman untuk berbincang. Meskipun bagi sebagian orang tidak pantas makan sambil berbincang-bincang namun berbeda dengan keluarga Haikal, mereka akan bercerita panjang lebar ketika ada sudah duduk berhadapan di meja makan. Pak Gani melirik Delia yang nampak sendu. Benar. Tidak biasanya menantu kesayangannya itu terlihat tidak bersemangat seperti pagi ini. "Bawa dua karung beras di gudang, Haikal. Kebetulan kemarin Bapak minta Kang Dirman giling tiga karung. Bawalah dua, berikan pada mertuamu.""Iya, Pak.""Bawa juga pisang kepok di kebun yang sudah masak pohon. Bapak lihat ada sekitar tiga tandan.""Nggih," jawab Haikal singkat. "Mau dibawakan singkong juga? Mumpung ada Kang Dirman di kebun, biar dia cabutkan beberapa batang buat mertuamu.""Kami hanya sebentar, Pak." Delia menimpali. "Lama atau sebentar, orang tua pasti merasa senang ketika anak dan menantunya datang membawa oleh-oleh, Nduk,"
***Fatima bersiap melayangkan tamparan di pipi Meisya namun ia urungkan ketika ruang tamu rumah Bibi Naomi kembali riuh karena mendapati Erina yang tiba-tiba pingsan."Erina!" seru Bibi Naomi lantang. "Ya Ampun, Anakku!" "Rin, bangun!" Bu Sarah menepuk-nepuk pipi Erina dengan lembut. "Lah kok malah pingsan to, Rin, gimana bisa selesai urusannya kalau pingsannya gantian begini." Bibi Husniah menggerutu. "Lagian Haris bukan TNI beneran, kalaupun dia kabur yang dibawa pergi juga bukan uang Erina dan Naomi, tapi uang Haikal."Bibi Naomi melayangkan tatapan tajam pada kakak keduanya itu. Dadanya naik turun. Emosinya sudah siap meledak karena ucapan Bibi Husniah yang terlampau pedas. Menyadari air muka Bibi Naomi yang berubah garang, Eyang Salma menepuk lengan Bibi Husniah sambil berkata, "Diam, Hus!"Bibi Husniah mencebik, meskipun begitu ia tetap mematuhi teguran Eyang Salma dan mulai menutup mulutnya rapat-rapat. "Bangun, Erin! Bangun!" Bibi Naomi menangis histeris. "Haris keparat!
***"Bagaimana ini, Mas?" Delia menatap Haikal ragu. "Apa tidak lebih baik kita lapor polisi saja?"Haikal memandang wajah Delia sejenak kemudian menyahut, "Tentu saja, Dek. Haris sudah merusak nama baik para abdi negara."Mendengar kata polisi, kedua mata Bibi Naomi seketika terbuka lebar. "Polisi?" Ulangnya. Erina dan Bu Sarah terkejut bukan main. Baru saja tubuh Bibi Naomi dibaringkan di atas sofa tiba-tiba saja matanya terbuka lebar. "Kalian mau melaporkan Haris ke polisi, iya?" tanya Bibi Naomi panik. "Kenapa kalian tega sekali sih? Kalau Haris dilaporkan maka Erina juga pasti ikut terseret. Tidak! Tidak boleh! Kalian tidak boleh bawa-bawa polisi dalam masalah ini!" Bibi Naomi berbicara lantang seolah-olah pening di kepalanya sudah musnah. Delia membuang muka. Ingin rasanya ia menyalahkan Haikal atas masalah ini namun ia sadar, Haikal pasti sudah punya rencana tersendiri untuk menyelesaikan urusan yang berhubungan dengan Haris. "Erina hanya akan dimintai kesaksian, Bibi." Haik
***"Laku?"Delia dan Haikal saling pandang, lalu keduanya mengangguk bersamaan."Bagus, itu artinya uang kamu sudah kembali, Haikal. Jangan lupa pinjami aku sepuluh juta," sahut Jaka senang. "Tidak lama, Haikal, aku janji hanya sampai bulan depan uang kamu sudah aku kembalikan.""Nih, jual sendiri kalau laku!" Delia melempar kotak perhiasan tepat di pangkuan Jaka. Meisya mengernyit. Wanita cantik yang duduk di samping Jaka itu segera memungut kotak beludru berwarna merah dan membukanya seketika."Kok masih utuh?" tanya Meisya. "Katanya laku?""Laku, cuma satu. Mbak mau tahu berapa harganya?"Meisya dan Jaka mengangguk. "Sepuluh juta?" tebak Jaka asal. "Bisa lah kalian ambil dulu itu, pinjami Mas, Delia.""Tiga ratus ribu! Satu cincin Erina seharga tiga ratus lima puluh ribu. Mau Mas Jaka pinjam?"Jaka melongo. Matanya menatap nanar pada kotak perhiasan yang ada di tangan istrinya. "Ja-- jadi semua ini imitasi?""Menurut Mas?" sahut Delia malas."Bahkan cincin berlian ini juga?" timp
***"Jangan keterlaluan, Bu!" tegur Pak Handoko tegas. "Yang Haris bawa kabur bukan sekedar seratus dua ratus ribu, tapi lima puluh juta!"Bu Sarah menggenggam lengan Haikal erat-erat. Matanya yang sayu menatap Haikal penuh harap. "Percaya sama Ibu, Haikal, hanya ini cara satu-satunya agar semua orang memandangmu lebih ...."Haikal melepas genggaman tangan Bu Sarah dengan perlahan. Senyum samar tidak lepas dari bibirnya yang tipis. Rasa kecewa yang teramat dalam menguasai hati Haikal saat ini, apalagi melihat Bu Sarah yang memelas agar Haikal merelakan uang sebegitu banyak hanya demi agar orang lain bisa memandangnya lebih. Miris sekali. "Sejak awal saya tidak haus akan penilaian orang lain, Bu," tutur Haikal lirih. Bagaimanapun, ia berusaha agar ucapannya tidak menyakiti hati Bu Sarah. Sang mertua. "Tidak perduli seberapa buruk orang-orang memandang saya, tujuan utama saya adalah membahagiakan Delia serta kedua orang tua kami.""Itu artinya kamu rela membahagiakan Ibu, benar kan, H
***Brak ...!!!Brak ...!!!Dua kali Haikal mendobrak pintu menggunakan kaki hingga akhirnya pintu kamar mandi terbuka dari luar.Mendengar keributan di dalam kamar putrinya, Pak Handoko buru-buru berlari kecil dan bertanya, "Le, ada apa?"Pak Handoko menempelkan telinganya di depan daun pintu. "Haikal, Delia?"Bu Sarah yang penasaran pun turut mendekat. Wanita itu paruh baya itu justru membuka handle pintu dan ...."Astaghfirullah, Delia ... kenapa, ada apa ini, Haikal?" Wajah Bu Sarah terlihat panik, begitupun dengan Pak Handoko. Sepasang suami istri itu sontak mengikuti langkah kaki Haikal yang lebar sembari menggendong sang istri dengan posisi ala bridal. "Delia tiba-tiba muntah-muntah, Pak," jawab Haikal gelisah. "Dia bilang tubuhnya lemas, lalu pingsan.""Astaghfirullah, Delia," pekik Pak Handoko tak kalah panik. "Biar Bapak yang menyetir mobil, Le. Ayo!"Haikal mengangguk dengan langkah kaki yang enggan berhenti. Tujuannya saat ini adalah mobil yang terparkir di halaman rumah.
***"Setelah uangmu aku kembalikan, lepaskan aku, Haikal!" ujar Haris ketus. "Ck, beruntung uang itu belum aku sentuh sama sekali. Kampret!"Haikal menoleh dan melayangkan tatapan sengit ke arah Haris. "Kau salah sudah bermain-main denganku, Haris," sahut Haikal seraya menarik ujung bibirnya sinis. "Berurusan dengan kepolisian bukan hal yang baru bagiku, asal kamu tahu itu!"Haris tidak menyangkal, bibirnya tertutup rapat apalagi ketika berulang kali matanya bersirobok dengan mata Erina yang berkilat marah. Sesekali ia melirik jam di kantor kepolisian yang bergerak lambat. Lama sekali ia menunggu kedatangan seseorang yang baru saja diperintahkan datang dengan membawa uang milik Haikal. Haris mulai dengan terlebih ketika Om Dani sejak tadi menatapnya seperti singa ingin memakan mangsa. "Saya mau dia dipenjara, Pak Polisi!" Ucapan Om Dani membuat Haris menghela napas kasar. "Dia sudah menipu saya dan keluarga saya. Bahkan pesta pernikahan hampir digelar tapi dia kabur membawa uang ...
***"Hamil? Delia hamil, Haikal?"Haikal mengangguk tegas. Andai saja Delia tidak memaksanya datang ke kantor polisi, Haikal tentu saja saat ini sedang menemani Sang Istri yang tengah terbaring lemas di ranjang Puskesmas. Kehamilan pada trimester pertama membuat tubuh Delia lemas dan mudah mual. "Kenapa kamu tidak bilang, Delia benar-benar hamil?""Kami juga baru tahu tadi pagi, Bibi. Kondisinya sangat lemah, tolong untuk tidak membebani Delia dengan hal-hal yang sebenarnya bukan menjadi urusan kami.""Haikal, Erina ini saudara Delia loh, apa maksudnya membebani hal-hal yang bukan urusan kalian? Kasus Erina ini kamu juga harus turun tangan. Bagaimanapun Haris harus dipenjara!" seru Om Dani bersungut-sungut. "Meskipun uangmu sudah kembali, harusnya kamu tuntut dia karena sudah membohongi Erina. Kamu dengar sendiri kan kalau pria brengsek itu sudah menodai anakku?"Haikal menghela napas panjang. "Om, urusan itu bisa dibicarakan secara kekeluargaan. Mohon maaf, kalaupun nanti Erina hami