***"Hamil? Delia hamil, Haikal?"Haikal mengangguk tegas. Andai saja Delia tidak memaksanya datang ke kantor polisi, Haikal tentu saja saat ini sedang menemani Sang Istri yang tengah terbaring lemas di ranjang Puskesmas. Kehamilan pada trimester pertama membuat tubuh Delia lemas dan mudah mual. "Kenapa kamu tidak bilang, Delia benar-benar hamil?""Kami juga baru tahu tadi pagi, Bibi. Kondisinya sangat lemah, tolong untuk tidak membebani Delia dengan hal-hal yang sebenarnya bukan menjadi urusan kami.""Haikal, Erina ini saudara Delia loh, apa maksudnya membebani hal-hal yang bukan urusan kalian? Kasus Erina ini kamu juga harus turun tangan. Bagaimanapun Haris harus dipenjara!" seru Om Dani bersungut-sungut. "Meskipun uangmu sudah kembali, harusnya kamu tuntut dia karena sudah membohongi Erina. Kamu dengar sendiri kan kalau pria brengsek itu sudah menodai anakku?"Haikal menghela napas panjang. "Om, urusan itu bisa dibicarakan secara kekeluargaan. Mohon maaf, kalaupun nanti Erina hami
***"Keterlaluan!" Pak Handoko berdesis sembari mengeratkan cekalan tangannya pada pergelangan tangan Bu Sarah. "Jangan membuat Bapak malu di depan menantu sendiri, Bu. Ayo pulang!""Pak, aku hanya meminta hak ....""Hak apa yang kamu maksud?" sela Pak Handoko lirih namun tegas. "Haikal tidak memiliki kewajiban apapun atas kita, Bu. Kalaupun dia selalu ngasih uang setiap bulan itu karena kebaikan hatinya yang berusaha membantu perekonomian kita. Jangan Ibu anggap kebaikan Haikal sebagai bentuk tanggung jawab pada mertuanya. Itu salah!""Tapi kebutuhan kita meningkat sejak ada Fatima dan Faisal, Pak. Lalu kita harus bagaimana?"Pak Handoko mengusap wajahnya kasar. "Faisal adalah pilihan kamu, jadi jangan membebankan hal ini pada Haikal!"Pak Handoko menarik tangan Bu Sarah dengan kasar sementara Haikal menatap kepergian kedua mertuanya dengan perasaan yang tidak bisa digambarkan. "Ibu benar-benar membuatku malu," ucap Delia ketika matanya bersirobok dengan kedua mata Haikal. "Bisa-bis
***"Jadi berapa banyak yang harus saya bayar agar Ibu mau melepaskan Delia?"Wajah Bu Sarah berubah ketus. "Apa maksud kamu?" tanya Bu Sarah tanpa senyuman. Matanya menatap Haikal yang sedang berdiri sambil merengkuh bahu Delia cukup erat. "Kau mau memisahkan Ibu dan anak dengan uang, begitu?" Bu Sarah terkekeh sinis. "Sampai aku mati, Delia tetap anakku, Haikal, dan kamu ... harus membahagiakan dia serta kami selaku kedua orang tua Delia. Paham?""Lama-lama kamu makin melantur, Bu!" hardik Pak Handoko mulai naik pitam. "Bawa istrimu masuk ke dalam kamar, Le!" Haikal mengangguk meskipun hatinya tengah bergemuruh melihat Bu Sarah yang kembali memasang wajah tidak bersahabat. "E-- eh, tunggu! Ini ... bagaimana denganku, Haikal, kamu mau kasih pinjaman kan?""Tidak. Kenapa tidak Mas jual saja apa yang bisa dijual?" jawab Haikal datar. "Jika Mas Jaka punya muka, harusnya malu mendatangi saya dan Delia mengingat betapa pedas ucapan Mas Jaka pada kami kala itu.""Zalim kamu, Haikal! Aku
***"K-- kau gila, Jak? Le-- lepaskan pisau itu!" teriak Faisal ketakutan. "Kau mau dipenjara karena membunuhku, hah?""Ha ... ha ... jika itu adalah harga yang pantas, maka akan aku lakukan. Setidaknya kamu lenyap dari muka bumi ini, Brengsek."Faisal bergerak mundur dengan posisi masih terduduk lemas. Sementara Meisya, wanita itu tiba-tiba bersimpuh di bawah kaki Jaka dengan air mata yang berderai. "Mas ... ini salahku. Semua salahku, tolong ... tolong jangan seperti ini, Mas. Jangan ....!"Dada Jaka naik turun. Napasnya memburu melihat istri yang selama ini dia cintai ternyata terang-terangan membela pria lain. "Salahmu? Kau mencintainya, Mei?" Jaka tertawa sumbang. "Kau rela bersimpuh di kakiku hanya demi dia, hah?" Jaka tertawa, juga menangis. Air matanya berjatuhan melihat bahu Meisya yang terbuka bebas. "M-- Mas, ak-- aku ... aku bisa jelaskan ini ....""Menjelaskan bagaimana bisa kamu dan dia berbuat mesum tengah malam, begitu?" Jaka menarik ujung bibirnya sinis. "Khilaf? K
***"Pergi dari sini, kembalilah pada kedua orang tuamu!" usir Jaka tanpa mengeraskan suara sedikitpun. Hatinya hancur, emosinya yang meledak-ledak kini berubah menjadi sebuah sesak yang luar biasa di dalam dada. Melihat Meisya menangisi pria lain adalah luka yang teramat dalam bagi Jaka. "Aku tidak bisa mengantarmu, Mei, bagaimana jika di tengah jalan aku khilaf dan membunuhmu?"Meisya meneguk ludahnya kasar. Perempuan yang selalu terlihat cantik di mata Jaka itu kini menangis sesenggukan. "Ini tidak adil, Mas!" pekik Meisya. "Kami melakukan kesalahan ini berdua, aku mendapat talak sementara ... seharusnya Mas Faisal juga menalak Fatima."Fatima terkekeh getir. "Kamu berharap bisa hidup bersama suamiku, begitu?" tanya Fatima menyeringai. "Jangan mimpi, Mbak!"Meisya geleng-geleng sambil terus menatap Faisal lekat. "Brengsek kau, Mas!""Ha ... ha ... kau baru menyadarinya, Mei? Mana ada pria baik-baik yang tega memakan istri temannya sendiri. Ah, bukan ... dia bahkan iparmu, Meisya.
***"Delia hamil, Le? Be-- beneran hamil?" Emak Karti bertanya dengan suara bergetar. "Menantu Emak mau jadi Ibu, Emak tidak bermimpi kan?"Pak Gani menepuk-nepuk lengan Emak seraya tersenyum haru. Pun dengan Yu Jamilah, wanita yang juga termasuk kerabat Pak Gani itu mengusap sudut matanya yang berair. "Pak, kamu mau jadi Mbah Kung," bisik Emak sambil menahan tangis. "Masya Allah ...." Emak Karti menyembunyikan wajahnya dalam pelukan Pak Gani. Melihat kedua orang tuanya yang menangis bahagia, Haikal mengusap wajahnya kasar guna mengusir rasa panas pada kedua matanya. "Assalamualaikum, Emak ...."Emak lekas menunjukkan wajahnya yang basah dan menatap Delia dalam layar ponselnya. "Waalaikumsalam, Cah Ayu. Jaga kesehatan ya, Nduk, titip cucu Emak. Kalian harus sama-sama sehat."Delia mengangguk patuh. "Insya Allah," jawabnya singkat. "Ya sudah, ya sudah ... kalian lanjutkan dulu periksa kehamilannya, nanti telepon Emak lagi, ya?""Siap, Mak," sahut Delia sembari tersenyum.Haikal mela
***"Sudah periksa kandungan?" tanya Bulek Nina antusias. Delia mengangguk seraya tersenyum. "Baru saja pulang," jawabnya jujur. "Usianya sudah delapan minggu, aku juga baru tahu ini beberapa hari yang lalu, Bulek.""MasyaAllah, Allahuakbar." Bulek Nina memeluk Delia erat-erat. Ada perasaan bahagia yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Sekalipun Delia adalah orang lain, namun Bulek Nina sudah menganggap anak tetangganya itu seperti anak sendiri. "Sebentar lagi kamu akan jadi Ibu, Nduk."Delia mengangguk sementara kedua matanya sudah berkaca-kaca. Respon yang Bulek Nina berikan mampu membuat hati Delia terharu. "Andai Ibu sebahagia ini," gumamnya sendu, "Tapi ssyang, yang ada di pikiran Ibu hanya uang, uang dan uang.""Semua orang tua pasti merasa bahagia ketika akan menjadi Nenek, Delia. Jangan berpikir buruk tentang Ibumu, Nduk. Tidak baik!"Delia mengedikkan bahu, "Entahlah, Bulek. Rasanya aku teramat kecewa."Delia yang semula murung seketika berbinar melihat hidangan sed
***"Del, Delia? Halo ...."Delia memutus sambungan telepon ketika terdengar petir menyambar. Di luar hujan semakin deras dan Fatima meminta Haikal menjemputnya sementara di rumah ini hanya ada satu mobil yang kini bahkan sedang dipakai mereka menuju ke klinik. "Apa dia pikir suamiku punya pintu kemana saha?" gerutu Delia geram. "Ck, menyebalkan!"Delia meletakkan ponselnya di atas meja rias. Dari balik gorden kamar terlihat jelas kilat petir juga suara hujan yang semakin menyamarkan pendengaran. Sementara di atas ranjang, Haikal sudah tertidur pulas setelah menunaikan salat Isya dilanjut mengaji sampai-sampai tertidur pun masih mengenakan baju kokoh dan sarung bercorak abu. Delia menghela napas berat. Makin hari keluarganya menjadi semakin ... entah. Sejenak ia memejamkan mata dan berujung meneteskan cairan bening dari kedua matanya yang terpejam. Seberapapun kuatnya ia mencoba abai, namun tetap saja bayangan wajah Bu Sarah dan Fatima berkelebatan di depan mata. Sekilas ia melirik
ENDING***"Itu bukannya mantan pacar kamu, Sayang?"Hafsah mengikuti arah telunjuk Biru. Benar saja, di meja makan yang terletak di sudut, Azka duduk berhadapan dengan Safina. "Iya. Lagi kencan kali, Mas, sama seperti kita," sahut Hafsah tak acuh."Mau gabung?" tawar Biru dan dibalas gelengan kepala oleh Hafsah. "Tidak perlu memaksakan diri, Mas Biru.""Ya gapapa, Sayang, kita harus menjalin hubungan yang baik dengan mantan. Yuk!"Biru menggandeng tangan Hafsah dan berjalan mendekati meja yang hanya diisi oleh Azka dan Safina. "Hai ...."Azka dan Safina cukup terkejut melihat Hafsah datang bersama seorang lelaki. "Mbak Hafsah," ucap Safina sumringah. "Kapan datang ke Surabaya, kok gak kabar-kabar sih?"Respon Safina yang welcome membuat rasa takut yang sempat Hafsah rasakan memudar perlahan."Tadi niatnya gak mau ganggu acara kencan kamu sama Mas Azka, eh Mas Biru malah ngajakin gabung," ujar Hafsah jujur. "Eh, btw ini Mas Biru. Suamiku."Safina dan Azka saling pandang, "Kok Mbak
***Dua bulan berlalu setelah pesta pernikahan yang digelar secara mewah, hari ini Biru dan Hafsah sedang menikmati liburan di Kota Surabaya. Bukan luar negeri yang Hafsah mau, melainkan kota dimana banyak tercipta kenangan indah bersama Ranti dan kedua orang tuanya. Sengaja Biru menyetir mobil sendiri karena tidak mau liburannya yang ditunggu sejak dua bulan yang lalu diganggu oleh orang lain. Perjalanan yang melelahkan terasa menyenangkan karena sepanjang jalan keduanya tidak henti-hentinya melempar candaan. Hafsah membuka snack yang ada di kursi belakang. Sambil terus bercerita tentang masa kecilnya, sesekali tangan Hafsah menyuapi Biru dengan makanan ringan yang ada di tangan. "Mau cari makan dulu gak, Sayang?" Biru bertanya tanpa menoleh. "Nanti sampai hotel biar bisa langsung tidur. Capek sekali, Yang," keluh Biru. "Boleh," jawab Hafsah antusias. "Ini bentar lagi juga nyampe Hotel, Mas. Cari makan yang dekat-dekat sini saja ya."Biru mengangguk patuh. Matanya menatap satu pe
***"Jadi dia berhasil menggoda kamu, Mas?"Nisya berada jajaran para staf yang hendak memberi selamat. Di belakangnya, Anina justru tersenyum sinis seraya menatap Hafsah yang hari ini terlihat sangat menawan. Gaunnya mewah, perhiasan yang ia kenakan pun tidak berlebihan namun memberi kesan mahal. "Kamu keluar sendiri, atau aku meminta security menyeret tubuhmu keluar dari gedung ini?"Nisya tertawa sumbang. Di atas pelaminan, beberapa staf berdiri agak jauh sementara tepat di depan Biru dan Hafsah, Nisya bersungut-sungut marah karena tidak terima dengan pernikahan diantara keduanya. "Kamu bilang sulit mencari penggantiku, Mas," tutur Nisya sembari tersenyum sinis. "Tapi ternyata tidak lama setelah kamu memutuskan hubungan kita, pernikahan ini malah digelar."Rahang Biru mengeras. "Aku tidak akan melepaskan kamu jika acara pernikahan ini sampai ricuh, Nisya!"Nisya bertepuk tangan, "Wow. Secinta itukah kamu pada wanita ini? Apa yang sudah dia berikan sebelum kalian menikah? Keperawa
***"Apa?" tanya Biru tanpa berniat menjauhkan bibirnya dari bibir Hafsah. "Mas, ih!" Hafsah mendorong tubuh Biru dengan kesal. "Aku mau mandi, gerah!""Sayang!" Panggil Biru membuat langkah kaki Hafsah terhenti. "Apa?" tanya Hafsah ketus. "Bareng," ucap Biru merengek manja. Hafsah mencebik sebelum akhirnya berlari memasuki kamar mandi sampai-sampai lupa membawa baju ganti. Biru yang menyadari itu seketika tersenyum licik. Bisa dipastikan setelah ini Hafsah keluar hanya mengenakan bathrobe dan membayangkan hal itu saja sudah membuat kepalanya pusing. "Mas!" teriak Hafsah dari dalam kamar mandi. Biru berdiri di depan pintu, kemudian menyahut, "Kenapa, Sayang?""Mas, aku lupa bawa baju ganti ....""Aku tidur dulu ya, lelah sekali," sela Biru berdusta. "Ah, begitu ya. Ya sudah, nanti aku ambil sendiri, Mas tidur saja yang lelap."Biru tidak menjawab, pria itu justru menyandarkan tubuhnya di atas ranjang sambil memeriksa laporan kerja dari laptop yang sengaja ia bawa. Pintu kamar m
***Biru menuntun bahu Hafsah dan membawanya lebih dekat pada gundukan tanah yang masih basah. "Hapus air matamu jika tidak ingin Bunda sedih di dalam sana, Haf."Wajah Biru menegang, namun ketika Hafsah menggamit jemarinya, CEO muda itu perlahan menghela napas panjang. "Dia Mas Azka, Mas," ucap Hafsah memperkenalkan. Biru hanya mengangguk seraya tersenyum, kemudian kembali menuntun Hafsah mendekati makam yang baru saja memiliki penghuni itu. Para pelayat beberapa di antaranya memilih pulang setelah jenazah Ranti dikebumikan, namun beberapa yang lain masih berada di sana, sedikit banyak membantu merapikan makam yang baru saja ditabur bunga beraroma wangi. "Aku pamit ya, Haf. Semoga Bunda khusnul khatimah.""Aamiin, terima kasih banyak, Mas," sahut Azka. Azka mengangguk ragu, kemudian berkata, "Mari, Mas!"Biru tidak menjawab namun kepalanya mengangguk di depan Azka. "Semoga semua amal ibadah Bunda diterima Allah," ucap Hafsah nyaris tidak bersuara. "Doakan yang baik-baik untuk a
***"Bunda ...." Hafsah berteriak histeris sementara Biru segera menekan tombol yang ada di samping ranjang Ranti. "Bangun, Bun!" Hafsah mengguncang tubuh Ranti berharap wanita yang sudah ia anggap sebagai Ibu kedua itu mau membuka mata. "Tidak, Bun. Ini gak lucu!" teriak Hafsah. Biru menarik tubuh Hafsah dan memberi kesempatan para tenaga medis untuk memeriksa keadaan wanita paruh baya di atas ranjang itu. "Buka mata Bunda. Bunda berjanji mau lihat aku menikah dengan Pak Biru. Bangun, Bunda Ranti. Bangun!" Hafsah berteriak tanpa perduli apakah akan ada yang terganggu dengan suaranya. "Haf, tenang ....""Tidak, Mas. Bunda udah gak napas, aku tidak merasakan hangat napasnya. Bunda ... Bunda bohong padaku! Bunda pembohong!" Suara Hafsah terdengar pilu. "Bunda masih hidup kan, Sus? Aku yang bodoh ini pasti salah mengira ....""Innalilahi wa inna ilaihi raji'un ...."Dua orang suster mengucap kalimat istirja membuat dunia Hafsah yang baru saja berwarna kembali kelabu. Tidak lama, seora
***pov RantiHatiku terenyuh melihat Hafsah datang bersama calon suaminya. Ya, meskipun Hafsah belum mengatakan tentang lamaran yang dia terima, tapi aku yakin Hafsah sudah memantapkan diri untuk memulai kehidupan yang baru dengan pria bernama Biru itu. Aku lega, setidaknya setelah luka yang aku tanam di hatinya, gadis cantik itu pada akhirnya bisa bangkit lagi. Tidak mudah memang melupakan Azka, pesona anak dan Bapak itu memang teramat kuat, bahkan sampai detik ini Hafsah tidak tau jika nama Mas Haikal masih menjadi penghuni di hatiku. Bohong jika aku tidak bahagia dengan kehadiran Hafsah. Gadis cantik yang dulu sering tidur dalam pangkuanku itu ternyata masih menghormati aku sebagai Ibu asuhnya. Meskipun tidak bisa dipungkiri jika aku adalah dalang dari pisahnya dia dengan kedua orang tuanya. Aku bersyukur karena Hafsah tidak lagi mempermasalahkan itu. Aku bahagia. Terharu dengan ketulusan Hafsah padaku.Tolong tunggu sebentar, Bah, aku sudah berjanji akan menemaninya sampai ia m
***Dokter memeriksa keadaan Ranti yang sudah mulai membaik. Tidak ada penyakit serius, hanya saja wanita yang hidup sebatang kara itu diharuskan istirahat total karena tubuhnya yang kehilangan banyak cairan. "Setelah infusnya habis, pasien sudah boleh pulang.""Terima kasih, Dokter."Hafsah menghela napas lega, setidaknya Ranti tidak harus menginap lebih lama di Rumah Sakit. Dokter yang baru saja memeriksa Ranti keluar dari ruangan. Biru meminta ruangan VIP untuk Bunda dari calon istrinya. Hanya sehari semalam, namun Hafsah tahu seberapa besar tarif biaya di Rumah Sakit Unair. Cukup mahal memang. Ranti mengusap pipi Hafsah seperti seorang Ibu yang sudah lama tidak bertemu dengan putrinya. Kini Ranti mengerti bagaimana perasaan Bu Rania ketika Hafsah ia culik, dulu. Tidak salah jika banyak orang mengatakan jika Bu Rania hampir gila, karena sehancur itu memang kehilangan orang yang dicintai. "Dia siapa?" tanya Ranti sambil menunjuk Biru yang masih terlelap di atas sofa. "Mas Biru,
***Biru segera berlari karena teriakan Hafsah dari dalam makam. Bukan hanya itu, pengemudi yang semula dijanjikan akan dibayar sesuai kemauannya pun ikut turun dan melihat seorang wanita paruh baya tergeletak di atas tanah."Mas, Bunda ...." Hafsah menangis histeris. Wajah Ranti sangat pucat, tubuhnya yang semula mengeluarkan keringat dingin kini berubah panas. Dia demam. "Biar aku gendong, tolong buka pintu mobilnya," pintu Biru yang dibalas anggukan kepala oleh Hafsah. Belum sempat Hafsah berlari, pengemudi Gr*b lebih dulu melaksanakan perintah Biru untuk membuka pintu mobil dan bersiap duduk di belakang kemudi. Biru setengah berlari sembari membopong tubuh Ranti yang tidak terasa berat sama sekali. Ranti kehilangan banyak berat badannya, apalagi sejak Hafsah memutuskan pindah ke Jakarta, tubuhnya kian mengurus. Hafsah menangis, namun kali ini tidak bersuara, dia khawatir semakin membuat Biru panik apalagi ketika melihat prianya itu sedikit ngos-ngosan untuk menuju mobil yang te