***"Jadi berapa banyak yang harus saya bayar agar Ibu mau melepaskan Delia?"Wajah Bu Sarah berubah ketus. "Apa maksud kamu?" tanya Bu Sarah tanpa senyuman. Matanya menatap Haikal yang sedang berdiri sambil merengkuh bahu Delia cukup erat. "Kau mau memisahkan Ibu dan anak dengan uang, begitu?" Bu Sarah terkekeh sinis. "Sampai aku mati, Delia tetap anakku, Haikal, dan kamu ... harus membahagiakan dia serta kami selaku kedua orang tua Delia. Paham?""Lama-lama kamu makin melantur, Bu!" hardik Pak Handoko mulai naik pitam. "Bawa istrimu masuk ke dalam kamar, Le!" Haikal mengangguk meskipun hatinya tengah bergemuruh melihat Bu Sarah yang kembali memasang wajah tidak bersahabat. "E-- eh, tunggu! Ini ... bagaimana denganku, Haikal, kamu mau kasih pinjaman kan?""Tidak. Kenapa tidak Mas jual saja apa yang bisa dijual?" jawab Haikal datar. "Jika Mas Jaka punya muka, harusnya malu mendatangi saya dan Delia mengingat betapa pedas ucapan Mas Jaka pada kami kala itu.""Zalim kamu, Haikal! Aku
***"K-- kau gila, Jak? Le-- lepaskan pisau itu!" teriak Faisal ketakutan. "Kau mau dipenjara karena membunuhku, hah?""Ha ... ha ... jika itu adalah harga yang pantas, maka akan aku lakukan. Setidaknya kamu lenyap dari muka bumi ini, Brengsek."Faisal bergerak mundur dengan posisi masih terduduk lemas. Sementara Meisya, wanita itu tiba-tiba bersimpuh di bawah kaki Jaka dengan air mata yang berderai. "Mas ... ini salahku. Semua salahku, tolong ... tolong jangan seperti ini, Mas. Jangan ....!"Dada Jaka naik turun. Napasnya memburu melihat istri yang selama ini dia cintai ternyata terang-terangan membela pria lain. "Salahmu? Kau mencintainya, Mei?" Jaka tertawa sumbang. "Kau rela bersimpuh di kakiku hanya demi dia, hah?" Jaka tertawa, juga menangis. Air matanya berjatuhan melihat bahu Meisya yang terbuka bebas. "M-- Mas, ak-- aku ... aku bisa jelaskan ini ....""Menjelaskan bagaimana bisa kamu dan dia berbuat mesum tengah malam, begitu?" Jaka menarik ujung bibirnya sinis. "Khilaf? K
***"Pergi dari sini, kembalilah pada kedua orang tuamu!" usir Jaka tanpa mengeraskan suara sedikitpun. Hatinya hancur, emosinya yang meledak-ledak kini berubah menjadi sebuah sesak yang luar biasa di dalam dada. Melihat Meisya menangisi pria lain adalah luka yang teramat dalam bagi Jaka. "Aku tidak bisa mengantarmu, Mei, bagaimana jika di tengah jalan aku khilaf dan membunuhmu?"Meisya meneguk ludahnya kasar. Perempuan yang selalu terlihat cantik di mata Jaka itu kini menangis sesenggukan. "Ini tidak adil, Mas!" pekik Meisya. "Kami melakukan kesalahan ini berdua, aku mendapat talak sementara ... seharusnya Mas Faisal juga menalak Fatima."Fatima terkekeh getir. "Kamu berharap bisa hidup bersama suamiku, begitu?" tanya Fatima menyeringai. "Jangan mimpi, Mbak!"Meisya geleng-geleng sambil terus menatap Faisal lekat. "Brengsek kau, Mas!""Ha ... ha ... kau baru menyadarinya, Mei? Mana ada pria baik-baik yang tega memakan istri temannya sendiri. Ah, bukan ... dia bahkan iparmu, Meisya.
***"Delia hamil, Le? Be-- beneran hamil?" Emak Karti bertanya dengan suara bergetar. "Menantu Emak mau jadi Ibu, Emak tidak bermimpi kan?"Pak Gani menepuk-nepuk lengan Emak seraya tersenyum haru. Pun dengan Yu Jamilah, wanita yang juga termasuk kerabat Pak Gani itu mengusap sudut matanya yang berair. "Pak, kamu mau jadi Mbah Kung," bisik Emak sambil menahan tangis. "Masya Allah ...." Emak Karti menyembunyikan wajahnya dalam pelukan Pak Gani. Melihat kedua orang tuanya yang menangis bahagia, Haikal mengusap wajahnya kasar guna mengusir rasa panas pada kedua matanya. "Assalamualaikum, Emak ...."Emak lekas menunjukkan wajahnya yang basah dan menatap Delia dalam layar ponselnya. "Waalaikumsalam, Cah Ayu. Jaga kesehatan ya, Nduk, titip cucu Emak. Kalian harus sama-sama sehat."Delia mengangguk patuh. "Insya Allah," jawabnya singkat. "Ya sudah, ya sudah ... kalian lanjutkan dulu periksa kehamilannya, nanti telepon Emak lagi, ya?""Siap, Mak," sahut Delia sembari tersenyum.Haikal mela
***"Sudah periksa kandungan?" tanya Bulek Nina antusias. Delia mengangguk seraya tersenyum. "Baru saja pulang," jawabnya jujur. "Usianya sudah delapan minggu, aku juga baru tahu ini beberapa hari yang lalu, Bulek.""MasyaAllah, Allahuakbar." Bulek Nina memeluk Delia erat-erat. Ada perasaan bahagia yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Sekalipun Delia adalah orang lain, namun Bulek Nina sudah menganggap anak tetangganya itu seperti anak sendiri. "Sebentar lagi kamu akan jadi Ibu, Nduk."Delia mengangguk sementara kedua matanya sudah berkaca-kaca. Respon yang Bulek Nina berikan mampu membuat hati Delia terharu. "Andai Ibu sebahagia ini," gumamnya sendu, "Tapi ssyang, yang ada di pikiran Ibu hanya uang, uang dan uang.""Semua orang tua pasti merasa bahagia ketika akan menjadi Nenek, Delia. Jangan berpikir buruk tentang Ibumu, Nduk. Tidak baik!"Delia mengedikkan bahu, "Entahlah, Bulek. Rasanya aku teramat kecewa."Delia yang semula murung seketika berbinar melihat hidangan sed
***"Del, Delia? Halo ...."Delia memutus sambungan telepon ketika terdengar petir menyambar. Di luar hujan semakin deras dan Fatima meminta Haikal menjemputnya sementara di rumah ini hanya ada satu mobil yang kini bahkan sedang dipakai mereka menuju ke klinik. "Apa dia pikir suamiku punya pintu kemana saha?" gerutu Delia geram. "Ck, menyebalkan!"Delia meletakkan ponselnya di atas meja rias. Dari balik gorden kamar terlihat jelas kilat petir juga suara hujan yang semakin menyamarkan pendengaran. Sementara di atas ranjang, Haikal sudah tertidur pulas setelah menunaikan salat Isya dilanjut mengaji sampai-sampai tertidur pun masih mengenakan baju kokoh dan sarung bercorak abu. Delia menghela napas berat. Makin hari keluarganya menjadi semakin ... entah. Sejenak ia memejamkan mata dan berujung meneteskan cairan bening dari kedua matanya yang terpejam. Seberapapun kuatnya ia mencoba abai, namun tetap saja bayangan wajah Bu Sarah dan Fatima berkelebatan di depan mata. Sekilas ia melirik
***"Datang-datang lalu marah pada suamiku, kau pikir dirimu siapa, Mbak?" Delia mencengkeram dagu Fatima kuat. "Kamu dan Ibu pulang dalam keadaan basah kuyup, lalu kemana suamimu, hah?""Enak sekali menyalahkan orang lain sementara suamimu entah dimana berada. Berhenti jadi wanita bodoh, Mbak Fatima!" pekik Delia lantang. "Pantas saja suamimu tidak juga jera setelah bermain api, ternyata semua kuncinya ada padamu. Kau ... bodoh, Mbak, sangat bodoh!"Fatima menatap Delia dengan mata bergetar. Dadanya naik turun sementara bibirnya mengatup rapat. Sedikitpun ia tidak berani menyangkal semua perkataan yang keluar dari mulut adiknya itu. "Del, ini hanya masalah sepele, jangan dibesar-besarkan ....""Sepele?" Ulang Delia seraya menoleh ke arah dimana Bu Sarah berada. "Jadi Ibu menganggap bahwa sikap Mbak Fatima ini adalah hal yang wajar? Ibu menganggap aku dan suamiku adalah sesuatu yang remeh sehingga bisa dibentak dan dihardik sedemikian kasar oleh Mbak Fatima, begitu?""Sepertinya keba
***"Aku kirimkan nomor Mbak Fatima segera agar kalian bisa mengobrol bebas, Mbak. Assalamu'alaikum!"Delia mematikan sambungan telepon tanpa perduli bagaimana air muka Fatima dan Faisal saat ini. Fatima menatap Delia dengan kesal sementara Faisal membuang tatapannya pada piring di depannya yang sudah kosong. "Ketika kamu hancur, saat itulah kamu akan menyadari betapa bodohnya kamu, Fatima." Setalah mengatakan hal yang menyakitkan bagi Fatima, Jaka bangkit dan melenggang begitu saja meninggalkan meja makan padahal nasi di piringnya belum tersentuh sama sekali. "Saya dan Delia harus berangkat sekarang juga, Pak, makin siang jalanan bisa semakin macet." Haikal membawa piring kotor bekas miliknya juga Sang Istri ke wastafel. "Letakkan saja di situ, Le, biar Ibu yang membersihkannya," kata Bu Sarah basa-basi. Haikal mengangguk namun tangannya tetap bergerak mencuci piring bekas ia makan bersama Delia. "Harusnya kamu tinggal disini saja, Del, Ibu pasti akan sangat kesepian."Delia ti