***"Del, Delia? Halo ...."Delia memutus sambungan telepon ketika terdengar petir menyambar. Di luar hujan semakin deras dan Fatima meminta Haikal menjemputnya sementara di rumah ini hanya ada satu mobil yang kini bahkan sedang dipakai mereka menuju ke klinik. "Apa dia pikir suamiku punya pintu kemana saha?" gerutu Delia geram. "Ck, menyebalkan!"Delia meletakkan ponselnya di atas meja rias. Dari balik gorden kamar terlihat jelas kilat petir juga suara hujan yang semakin menyamarkan pendengaran. Sementara di atas ranjang, Haikal sudah tertidur pulas setelah menunaikan salat Isya dilanjut mengaji sampai-sampai tertidur pun masih mengenakan baju kokoh dan sarung bercorak abu. Delia menghela napas berat. Makin hari keluarganya menjadi semakin ... entah. Sejenak ia memejamkan mata dan berujung meneteskan cairan bening dari kedua matanya yang terpejam. Seberapapun kuatnya ia mencoba abai, namun tetap saja bayangan wajah Bu Sarah dan Fatima berkelebatan di depan mata. Sekilas ia melirik
***"Datang-datang lalu marah pada suamiku, kau pikir dirimu siapa, Mbak?" Delia mencengkeram dagu Fatima kuat. "Kamu dan Ibu pulang dalam keadaan basah kuyup, lalu kemana suamimu, hah?""Enak sekali menyalahkan orang lain sementara suamimu entah dimana berada. Berhenti jadi wanita bodoh, Mbak Fatima!" pekik Delia lantang. "Pantas saja suamimu tidak juga jera setelah bermain api, ternyata semua kuncinya ada padamu. Kau ... bodoh, Mbak, sangat bodoh!"Fatima menatap Delia dengan mata bergetar. Dadanya naik turun sementara bibirnya mengatup rapat. Sedikitpun ia tidak berani menyangkal semua perkataan yang keluar dari mulut adiknya itu. "Del, ini hanya masalah sepele, jangan dibesar-besarkan ....""Sepele?" Ulang Delia seraya menoleh ke arah dimana Bu Sarah berada. "Jadi Ibu menganggap bahwa sikap Mbak Fatima ini adalah hal yang wajar? Ibu menganggap aku dan suamiku adalah sesuatu yang remeh sehingga bisa dibentak dan dihardik sedemikian kasar oleh Mbak Fatima, begitu?""Sepertinya keba
***"Aku kirimkan nomor Mbak Fatima segera agar kalian bisa mengobrol bebas, Mbak. Assalamu'alaikum!"Delia mematikan sambungan telepon tanpa perduli bagaimana air muka Fatima dan Faisal saat ini. Fatima menatap Delia dengan kesal sementara Faisal membuang tatapannya pada piring di depannya yang sudah kosong. "Ketika kamu hancur, saat itulah kamu akan menyadari betapa bodohnya kamu, Fatima." Setalah mengatakan hal yang menyakitkan bagi Fatima, Jaka bangkit dan melenggang begitu saja meninggalkan meja makan padahal nasi di piringnya belum tersentuh sama sekali. "Saya dan Delia harus berangkat sekarang juga, Pak, makin siang jalanan bisa semakin macet." Haikal membawa piring kotor bekas miliknya juga Sang Istri ke wastafel. "Letakkan saja di situ, Le, biar Ibu yang membersihkannya," kata Bu Sarah basa-basi. Haikal mengangguk namun tangannya tetap bergerak mencuci piring bekas ia makan bersama Delia. "Harusnya kamu tinggal disini saja, Del, Ibu pasti akan sangat kesepian."Delia ti
***"Masya Allah, Neng, kapan datang?" tanya Yu Jamilah sedikit terkejut. "Sehat-sehat kan?" Yu Jamilah mengusap perut Delia yang masih rata. "Alhamdulillah sehat, Bulek. Doakan semoga kami selalu sehat ya," sahut Delia seraha tersenyum sumringah. Yu Jamilah mengusap sudut matanya yang berair. Teringat beberapa waktu yang lalu saat Ranti menuduh Delia mandul meskipun tidak diucapkan secara langsung, dan kini ternyata menantu Emak Karti itu justru tengah berbadan dua. Berkat pertolongan Tuhan akhirnya di rahim Delia hidup calon bayi penerus keluarga Pak Gani. Di tempat pedagang sayur Yu Jamilah terus menggandeng lengan Delia. Khawatir jika tetangga sekaligus istri dari sepupu jauhnya itu tersandung atau paling parah terjatuh. Tentu saja itu hanya pikiran buruk yang Yu Jamilah miliki karena pada kenyataannya Delia tengah sibuk memilih sayur dan ikan segar untuk di olah pagi ini. "Neng Delia ini mau belanja, Mila, lepaskan tanganmu!" tegur ibu-ibu yang kebetulan sedang berada di temp
***"Mana anakmu, Mak?"Pak Gani yang baru pulang dari sawah seketika mendekati Emak yang nampak sibuk membersihkan halaman rumahnya. "Lah, bukannya Haikal sama Bapak?""Bukan Haikal," jawab Pak Gani seraya mendaratkan bokongnya pada kursi tua di teras rumah. "Delia. Sudah makan dia?""Oalah," seloroh Emak, "Tadi minta beli bakso di gang depan, Jamila sudah tak suruh belikan. Aman!" Emak mengacungkan dua jempolnya ke hadapan Pak Gani. Pak Gani manggut-manggut. "Receh sekali ngidamnya," ujar pria tua itu sambil menerawang pintu dapur Delia yang masih tertutup. "Padahal dulu kamu kalau ngidam gak tanggung-tanggung ya, Mak."Emak terkekeh. Sapu yang telah berjasa membersihkan dedaunan di halaman rumah kini sudah bersandar di ujung teras. "Alhamdulillah kalau ngidamnya gampang, gak kebayang kalau malam-malam dia minta yang aneh-aneh. Kasihan kalau gak dapat." Ema menimpali sembari turut duduk di samping Bapa
***"Sudah bakar-bakarnya?"Semua orang yang ada di depan rumah Emak menoleh ke sumber suara. Haikal sedang berdiri sambil melingkarkan sarung ke lehernya. "Sudah malam, ayo masuk, Dek!"Wajah Delia yang semula sumringah berubah sedih. "Mas, aku mau tidur sama Emak."Yu Jamila menutup mulutnya yang hampir menyemburkan tawa. Begitu pula dengan suaminya dan Kang Dirman, mereka melengos menyembunyikan bibir yang sedang tersenyum."Kok sama Emak?" tanya Haikal berusaha meredam rasa geram. "Gak enak lah sama Bapak, Dek, ayo pulang!"Pak Gani bangkit. Pria tua itu menepuk-nepuk bahu Haikal dan berkata. "Biarkan saja, Le, lagipula Delia tidur sama Emak juga tidak setiap hari kan? Ijinkan saja. Kasihan, bawaan bayi."Haikal mengusap wajahnya kasar. "Itu beneran ada ngidam model begitu, Pak?"Delia yang sedang mengunyah singkong seketika menghentikan gerakan mulutnya. Matanya berkaca-kaca, dadanya sesak. Ia menatap Haikal dengan keadaan siap menangis."Apa maksud Mas Haikal?" Delia menimpali.
***"Panen juga, Le?"Haikal turun dari motor dan buru-buru mendekati Ustad Jefri untuk segera mencium punggung tangan pria tua yang merupakan gurunya itu."Nggih, Ustad. Kebetulan Bapak sedang ada urusan jadi saya yang memantau disini.""Walah, tumben sekali Pak Gani melepas tanggung jawab sawahnya," kelakar Ustad Jefri. "Ada urusan penting, Le?""Pak Gani baik-baik saja kan, Haikal?"Haikal mengangguk seraya tersenyum tipis. "Alhamdulillah, kami sekeluarga sehat, Pak Ustad. Hanya saja ... itu ...."Haikal menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ragu, apakah ia harus membeberkan keinginan Delia yang mengajak kedua orang tuanya jalan-jalan atau mencari alasan lain di hadapan Ustad Jefri. "Assalamualaikum, Kang ...."Suara Ranti membuat Haikal menoleh kemudian mengangguk sungkan. "Waalaikumsalam, Neng.""Kalau tahu ada Kang Haikal tadi Ranti bawa sarapan agak banyak, Bah. Abah kenapa tidak bilang kalau Kang Haikal bakal bantu-bantu disini?""Eh, tidak perlu, Neng. Saya juga sedang mema
***"Panggil Haikal, Man!" Kang Dirman yang sedang memanasi mesin mobil menoleh ke arah Emak. "Sekarang juga, bawa dia pulang!" pintanya lagi. Suara Emak yang terdengar tegas menandakan jika ada sesuatu yang sedang tidak baik-baik saja."Ada apa, Mak?" tanya Pak Gani keheranan. "Delia mendadak sakit?"Mata Emak yang berkaca-kaca semakin membuat Bapak kebingungan. "Kenapa?""Kalau sampai anakmu terbukti bersalah, Emak tidak akan pernah memaafkan Haikal, Pak.""Bersalah, apa maksudnya?""Anakmu, Pak ... dia sedang berduaan dengan Neng Ranti di gubuk tengah sawah. Belum lagi, bisa-bisanya dia sarapan berdua sama Neng Ranti. Dimana otak anak itu?" Emak menggerutu kesal. Dadanya yang penuh dengan emosi terlihat naik turun. "Siapa yang bilang?" tanya Bapak lagi. "Emak yakin Haikal melakukan itu?"Emak mengusap wajah tuanya dengan kasar. "Neng Ranti. Dia sendiri yang mengirim pesan pada Delia."Kang Dirman yang mencuri dengar pembicaraan Emak dan Bapak lantas teringat akan sesuatu. Bukank
ENDING***"Itu bukannya mantan pacar kamu, Sayang?"Hafsah mengikuti arah telunjuk Biru. Benar saja, di meja makan yang terletak di sudut, Azka duduk berhadapan dengan Safina. "Iya. Lagi kencan kali, Mas, sama seperti kita," sahut Hafsah tak acuh."Mau gabung?" tawar Biru dan dibalas gelengan kepala oleh Hafsah. "Tidak perlu memaksakan diri, Mas Biru.""Ya gapapa, Sayang, kita harus menjalin hubungan yang baik dengan mantan. Yuk!"Biru menggandeng tangan Hafsah dan berjalan mendekati meja yang hanya diisi oleh Azka dan Safina. "Hai ...."Azka dan Safina cukup terkejut melihat Hafsah datang bersama seorang lelaki. "Mbak Hafsah," ucap Safina sumringah. "Kapan datang ke Surabaya, kok gak kabar-kabar sih?"Respon Safina yang welcome membuat rasa takut yang sempat Hafsah rasakan memudar perlahan."Tadi niatnya gak mau ganggu acara kencan kamu sama Mas Azka, eh Mas Biru malah ngajakin gabung," ujar Hafsah jujur. "Eh, btw ini Mas Biru. Suamiku."Safina dan Azka saling pandang, "Kok Mbak
***Dua bulan berlalu setelah pesta pernikahan yang digelar secara mewah, hari ini Biru dan Hafsah sedang menikmati liburan di Kota Surabaya. Bukan luar negeri yang Hafsah mau, melainkan kota dimana banyak tercipta kenangan indah bersama Ranti dan kedua orang tuanya. Sengaja Biru menyetir mobil sendiri karena tidak mau liburannya yang ditunggu sejak dua bulan yang lalu diganggu oleh orang lain. Perjalanan yang melelahkan terasa menyenangkan karena sepanjang jalan keduanya tidak henti-hentinya melempar candaan. Hafsah membuka snack yang ada di kursi belakang. Sambil terus bercerita tentang masa kecilnya, sesekali tangan Hafsah menyuapi Biru dengan makanan ringan yang ada di tangan. "Mau cari makan dulu gak, Sayang?" Biru bertanya tanpa menoleh. "Nanti sampai hotel biar bisa langsung tidur. Capek sekali, Yang," keluh Biru. "Boleh," jawab Hafsah antusias. "Ini bentar lagi juga nyampe Hotel, Mas. Cari makan yang dekat-dekat sini saja ya."Biru mengangguk patuh. Matanya menatap satu pe
***"Jadi dia berhasil menggoda kamu, Mas?"Nisya berada jajaran para staf yang hendak memberi selamat. Di belakangnya, Anina justru tersenyum sinis seraya menatap Hafsah yang hari ini terlihat sangat menawan. Gaunnya mewah, perhiasan yang ia kenakan pun tidak berlebihan namun memberi kesan mahal. "Kamu keluar sendiri, atau aku meminta security menyeret tubuhmu keluar dari gedung ini?"Nisya tertawa sumbang. Di atas pelaminan, beberapa staf berdiri agak jauh sementara tepat di depan Biru dan Hafsah, Nisya bersungut-sungut marah karena tidak terima dengan pernikahan diantara keduanya. "Kamu bilang sulit mencari penggantiku, Mas," tutur Nisya sembari tersenyum sinis. "Tapi ternyata tidak lama setelah kamu memutuskan hubungan kita, pernikahan ini malah digelar."Rahang Biru mengeras. "Aku tidak akan melepaskan kamu jika acara pernikahan ini sampai ricuh, Nisya!"Nisya bertepuk tangan, "Wow. Secinta itukah kamu pada wanita ini? Apa yang sudah dia berikan sebelum kalian menikah? Keperawa
***"Apa?" tanya Biru tanpa berniat menjauhkan bibirnya dari bibir Hafsah. "Mas, ih!" Hafsah mendorong tubuh Biru dengan kesal. "Aku mau mandi, gerah!""Sayang!" Panggil Biru membuat langkah kaki Hafsah terhenti. "Apa?" tanya Hafsah ketus. "Bareng," ucap Biru merengek manja. Hafsah mencebik sebelum akhirnya berlari memasuki kamar mandi sampai-sampai lupa membawa baju ganti. Biru yang menyadari itu seketika tersenyum licik. Bisa dipastikan setelah ini Hafsah keluar hanya mengenakan bathrobe dan membayangkan hal itu saja sudah membuat kepalanya pusing. "Mas!" teriak Hafsah dari dalam kamar mandi. Biru berdiri di depan pintu, kemudian menyahut, "Kenapa, Sayang?""Mas, aku lupa bawa baju ganti ....""Aku tidur dulu ya, lelah sekali," sela Biru berdusta. "Ah, begitu ya. Ya sudah, nanti aku ambil sendiri, Mas tidur saja yang lelap."Biru tidak menjawab, pria itu justru menyandarkan tubuhnya di atas ranjang sambil memeriksa laporan kerja dari laptop yang sengaja ia bawa. Pintu kamar m
***Biru menuntun bahu Hafsah dan membawanya lebih dekat pada gundukan tanah yang masih basah. "Hapus air matamu jika tidak ingin Bunda sedih di dalam sana, Haf."Wajah Biru menegang, namun ketika Hafsah menggamit jemarinya, CEO muda itu perlahan menghela napas panjang. "Dia Mas Azka, Mas," ucap Hafsah memperkenalkan. Biru hanya mengangguk seraya tersenyum, kemudian kembali menuntun Hafsah mendekati makam yang baru saja memiliki penghuni itu. Para pelayat beberapa di antaranya memilih pulang setelah jenazah Ranti dikebumikan, namun beberapa yang lain masih berada di sana, sedikit banyak membantu merapikan makam yang baru saja ditabur bunga beraroma wangi. "Aku pamit ya, Haf. Semoga Bunda khusnul khatimah.""Aamiin, terima kasih banyak, Mas," sahut Azka. Azka mengangguk ragu, kemudian berkata, "Mari, Mas!"Biru tidak menjawab namun kepalanya mengangguk di depan Azka. "Semoga semua amal ibadah Bunda diterima Allah," ucap Hafsah nyaris tidak bersuara. "Doakan yang baik-baik untuk a
***"Bunda ...." Hafsah berteriak histeris sementara Biru segera menekan tombol yang ada di samping ranjang Ranti. "Bangun, Bun!" Hafsah mengguncang tubuh Ranti berharap wanita yang sudah ia anggap sebagai Ibu kedua itu mau membuka mata. "Tidak, Bun. Ini gak lucu!" teriak Hafsah. Biru menarik tubuh Hafsah dan memberi kesempatan para tenaga medis untuk memeriksa keadaan wanita paruh baya di atas ranjang itu. "Buka mata Bunda. Bunda berjanji mau lihat aku menikah dengan Pak Biru. Bangun, Bunda Ranti. Bangun!" Hafsah berteriak tanpa perduli apakah akan ada yang terganggu dengan suaranya. "Haf, tenang ....""Tidak, Mas. Bunda udah gak napas, aku tidak merasakan hangat napasnya. Bunda ... Bunda bohong padaku! Bunda pembohong!" Suara Hafsah terdengar pilu. "Bunda masih hidup kan, Sus? Aku yang bodoh ini pasti salah mengira ....""Innalilahi wa inna ilaihi raji'un ...."Dua orang suster mengucap kalimat istirja membuat dunia Hafsah yang baru saja berwarna kembali kelabu. Tidak lama, seora
***pov RantiHatiku terenyuh melihat Hafsah datang bersama calon suaminya. Ya, meskipun Hafsah belum mengatakan tentang lamaran yang dia terima, tapi aku yakin Hafsah sudah memantapkan diri untuk memulai kehidupan yang baru dengan pria bernama Biru itu. Aku lega, setidaknya setelah luka yang aku tanam di hatinya, gadis cantik itu pada akhirnya bisa bangkit lagi. Tidak mudah memang melupakan Azka, pesona anak dan Bapak itu memang teramat kuat, bahkan sampai detik ini Hafsah tidak tau jika nama Mas Haikal masih menjadi penghuni di hatiku. Bohong jika aku tidak bahagia dengan kehadiran Hafsah. Gadis cantik yang dulu sering tidur dalam pangkuanku itu ternyata masih menghormati aku sebagai Ibu asuhnya. Meskipun tidak bisa dipungkiri jika aku adalah dalang dari pisahnya dia dengan kedua orang tuanya. Aku bersyukur karena Hafsah tidak lagi mempermasalahkan itu. Aku bahagia. Terharu dengan ketulusan Hafsah padaku.Tolong tunggu sebentar, Bah, aku sudah berjanji akan menemaninya sampai ia m
***Dokter memeriksa keadaan Ranti yang sudah mulai membaik. Tidak ada penyakit serius, hanya saja wanita yang hidup sebatang kara itu diharuskan istirahat total karena tubuhnya yang kehilangan banyak cairan. "Setelah infusnya habis, pasien sudah boleh pulang.""Terima kasih, Dokter."Hafsah menghela napas lega, setidaknya Ranti tidak harus menginap lebih lama di Rumah Sakit. Dokter yang baru saja memeriksa Ranti keluar dari ruangan. Biru meminta ruangan VIP untuk Bunda dari calon istrinya. Hanya sehari semalam, namun Hafsah tahu seberapa besar tarif biaya di Rumah Sakit Unair. Cukup mahal memang. Ranti mengusap pipi Hafsah seperti seorang Ibu yang sudah lama tidak bertemu dengan putrinya. Kini Ranti mengerti bagaimana perasaan Bu Rania ketika Hafsah ia culik, dulu. Tidak salah jika banyak orang mengatakan jika Bu Rania hampir gila, karena sehancur itu memang kehilangan orang yang dicintai. "Dia siapa?" tanya Ranti sambil menunjuk Biru yang masih terlelap di atas sofa. "Mas Biru,
***Biru segera berlari karena teriakan Hafsah dari dalam makam. Bukan hanya itu, pengemudi yang semula dijanjikan akan dibayar sesuai kemauannya pun ikut turun dan melihat seorang wanita paruh baya tergeletak di atas tanah."Mas, Bunda ...." Hafsah menangis histeris. Wajah Ranti sangat pucat, tubuhnya yang semula mengeluarkan keringat dingin kini berubah panas. Dia demam. "Biar aku gendong, tolong buka pintu mobilnya," pintu Biru yang dibalas anggukan kepala oleh Hafsah. Belum sempat Hafsah berlari, pengemudi Gr*b lebih dulu melaksanakan perintah Biru untuk membuka pintu mobil dan bersiap duduk di belakang kemudi. Biru setengah berlari sembari membopong tubuh Ranti yang tidak terasa berat sama sekali. Ranti kehilangan banyak berat badannya, apalagi sejak Hafsah memutuskan pindah ke Jakarta, tubuhnya kian mengurus. Hafsah menangis, namun kali ini tidak bersuara, dia khawatir semakin membuat Biru panik apalagi ketika melihat prianya itu sedikit ngos-ngosan untuk menuju mobil yang te