***"Sudah periksa kandungan?" tanya Bulek Nina antusias. Delia mengangguk seraya tersenyum. "Baru saja pulang," jawabnya jujur. "Usianya sudah delapan minggu, aku juga baru tahu ini beberapa hari yang lalu, Bulek.""MasyaAllah, Allahuakbar." Bulek Nina memeluk Delia erat-erat. Ada perasaan bahagia yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Sekalipun Delia adalah orang lain, namun Bulek Nina sudah menganggap anak tetangganya itu seperti anak sendiri. "Sebentar lagi kamu akan jadi Ibu, Nduk."Delia mengangguk sementara kedua matanya sudah berkaca-kaca. Respon yang Bulek Nina berikan mampu membuat hati Delia terharu. "Andai Ibu sebahagia ini," gumamnya sendu, "Tapi ssyang, yang ada di pikiran Ibu hanya uang, uang dan uang.""Semua orang tua pasti merasa bahagia ketika akan menjadi Nenek, Delia. Jangan berpikir buruk tentang Ibumu, Nduk. Tidak baik!"Delia mengedikkan bahu, "Entahlah, Bulek. Rasanya aku teramat kecewa."Delia yang semula murung seketika berbinar melihat hidangan sed
***"Del, Delia? Halo ...."Delia memutus sambungan telepon ketika terdengar petir menyambar. Di luar hujan semakin deras dan Fatima meminta Haikal menjemputnya sementara di rumah ini hanya ada satu mobil yang kini bahkan sedang dipakai mereka menuju ke klinik. "Apa dia pikir suamiku punya pintu kemana saha?" gerutu Delia geram. "Ck, menyebalkan!"Delia meletakkan ponselnya di atas meja rias. Dari balik gorden kamar terlihat jelas kilat petir juga suara hujan yang semakin menyamarkan pendengaran. Sementara di atas ranjang, Haikal sudah tertidur pulas setelah menunaikan salat Isya dilanjut mengaji sampai-sampai tertidur pun masih mengenakan baju kokoh dan sarung bercorak abu. Delia menghela napas berat. Makin hari keluarganya menjadi semakin ... entah. Sejenak ia memejamkan mata dan berujung meneteskan cairan bening dari kedua matanya yang terpejam. Seberapapun kuatnya ia mencoba abai, namun tetap saja bayangan wajah Bu Sarah dan Fatima berkelebatan di depan mata. Sekilas ia melirik
***"Datang-datang lalu marah pada suamiku, kau pikir dirimu siapa, Mbak?" Delia mencengkeram dagu Fatima kuat. "Kamu dan Ibu pulang dalam keadaan basah kuyup, lalu kemana suamimu, hah?""Enak sekali menyalahkan orang lain sementara suamimu entah dimana berada. Berhenti jadi wanita bodoh, Mbak Fatima!" pekik Delia lantang. "Pantas saja suamimu tidak juga jera setelah bermain api, ternyata semua kuncinya ada padamu. Kau ... bodoh, Mbak, sangat bodoh!"Fatima menatap Delia dengan mata bergetar. Dadanya naik turun sementara bibirnya mengatup rapat. Sedikitpun ia tidak berani menyangkal semua perkataan yang keluar dari mulut adiknya itu. "Del, ini hanya masalah sepele, jangan dibesar-besarkan ....""Sepele?" Ulang Delia seraya menoleh ke arah dimana Bu Sarah berada. "Jadi Ibu menganggap bahwa sikap Mbak Fatima ini adalah hal yang wajar? Ibu menganggap aku dan suamiku adalah sesuatu yang remeh sehingga bisa dibentak dan dihardik sedemikian kasar oleh Mbak Fatima, begitu?""Sepertinya keba
***"Aku kirimkan nomor Mbak Fatima segera agar kalian bisa mengobrol bebas, Mbak. Assalamu'alaikum!"Delia mematikan sambungan telepon tanpa perduli bagaimana air muka Fatima dan Faisal saat ini. Fatima menatap Delia dengan kesal sementara Faisal membuang tatapannya pada piring di depannya yang sudah kosong. "Ketika kamu hancur, saat itulah kamu akan menyadari betapa bodohnya kamu, Fatima." Setalah mengatakan hal yang menyakitkan bagi Fatima, Jaka bangkit dan melenggang begitu saja meninggalkan meja makan padahal nasi di piringnya belum tersentuh sama sekali. "Saya dan Delia harus berangkat sekarang juga, Pak, makin siang jalanan bisa semakin macet." Haikal membawa piring kotor bekas miliknya juga Sang Istri ke wastafel. "Letakkan saja di situ, Le, biar Ibu yang membersihkannya," kata Bu Sarah basa-basi. Haikal mengangguk namun tangannya tetap bergerak mencuci piring bekas ia makan bersama Delia. "Harusnya kamu tinggal disini saja, Del, Ibu pasti akan sangat kesepian."Delia ti
***"Masya Allah, Neng, kapan datang?" tanya Yu Jamilah sedikit terkejut. "Sehat-sehat kan?" Yu Jamilah mengusap perut Delia yang masih rata. "Alhamdulillah sehat, Bulek. Doakan semoga kami selalu sehat ya," sahut Delia seraha tersenyum sumringah. Yu Jamilah mengusap sudut matanya yang berair. Teringat beberapa waktu yang lalu saat Ranti menuduh Delia mandul meskipun tidak diucapkan secara langsung, dan kini ternyata menantu Emak Karti itu justru tengah berbadan dua. Berkat pertolongan Tuhan akhirnya di rahim Delia hidup calon bayi penerus keluarga Pak Gani. Di tempat pedagang sayur Yu Jamilah terus menggandeng lengan Delia. Khawatir jika tetangga sekaligus istri dari sepupu jauhnya itu tersandung atau paling parah terjatuh. Tentu saja itu hanya pikiran buruk yang Yu Jamilah miliki karena pada kenyataannya Delia tengah sibuk memilih sayur dan ikan segar untuk di olah pagi ini. "Neng Delia ini mau belanja, Mila, lepaskan tanganmu!" tegur ibu-ibu yang kebetulan sedang berada di temp
***"Mana anakmu, Mak?"Pak Gani yang baru pulang dari sawah seketika mendekati Emak yang nampak sibuk membersihkan halaman rumahnya. "Lah, bukannya Haikal sama Bapak?""Bukan Haikal," jawab Pak Gani seraya mendaratkan bokongnya pada kursi tua di teras rumah. "Delia. Sudah makan dia?""Oalah," seloroh Emak, "Tadi minta beli bakso di gang depan, Jamila sudah tak suruh belikan. Aman!" Emak mengacungkan dua jempolnya ke hadapan Pak Gani. Pak Gani manggut-manggut. "Receh sekali ngidamnya," ujar pria tua itu sambil menerawang pintu dapur Delia yang masih tertutup. "Padahal dulu kamu kalau ngidam gak tanggung-tanggung ya, Mak."Emak terkekeh. Sapu yang telah berjasa membersihkan dedaunan di halaman rumah kini sudah bersandar di ujung teras. "Alhamdulillah kalau ngidamnya gampang, gak kebayang kalau malam-malam dia minta yang aneh-aneh. Kasihan kalau gak dapat." Ema menimpali sembari turut duduk di samping Bapa
***"Sudah bakar-bakarnya?"Semua orang yang ada di depan rumah Emak menoleh ke sumber suara. Haikal sedang berdiri sambil melingkarkan sarung ke lehernya. "Sudah malam, ayo masuk, Dek!"Wajah Delia yang semula sumringah berubah sedih. "Mas, aku mau tidur sama Emak."Yu Jamila menutup mulutnya yang hampir menyemburkan tawa. Begitu pula dengan suaminya dan Kang Dirman, mereka melengos menyembunyikan bibir yang sedang tersenyum."Kok sama Emak?" tanya Haikal berusaha meredam rasa geram. "Gak enak lah sama Bapak, Dek, ayo pulang!"Pak Gani bangkit. Pria tua itu menepuk-nepuk bahu Haikal dan berkata. "Biarkan saja, Le, lagipula Delia tidur sama Emak juga tidak setiap hari kan? Ijinkan saja. Kasihan, bawaan bayi."Haikal mengusap wajahnya kasar. "Itu beneran ada ngidam model begitu, Pak?"Delia yang sedang mengunyah singkong seketika menghentikan gerakan mulutnya. Matanya berkaca-kaca, dadanya sesak. Ia menatap Haikal dengan keadaan siap menangis."Apa maksud Mas Haikal?" Delia menimpali.
***"Panen juga, Le?"Haikal turun dari motor dan buru-buru mendekati Ustad Jefri untuk segera mencium punggung tangan pria tua yang merupakan gurunya itu."Nggih, Ustad. Kebetulan Bapak sedang ada urusan jadi saya yang memantau disini.""Walah, tumben sekali Pak Gani melepas tanggung jawab sawahnya," kelakar Ustad Jefri. "Ada urusan penting, Le?""Pak Gani baik-baik saja kan, Haikal?"Haikal mengangguk seraya tersenyum tipis. "Alhamdulillah, kami sekeluarga sehat, Pak Ustad. Hanya saja ... itu ...."Haikal menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ragu, apakah ia harus membeberkan keinginan Delia yang mengajak kedua orang tuanya jalan-jalan atau mencari alasan lain di hadapan Ustad Jefri. "Assalamualaikum, Kang ...."Suara Ranti membuat Haikal menoleh kemudian mengangguk sungkan. "Waalaikumsalam, Neng.""Kalau tahu ada Kang Haikal tadi Ranti bawa sarapan agak banyak, Bah. Abah kenapa tidak bilang kalau Kang Haikal bakal bantu-bantu disini?""Eh, tidak perlu, Neng. Saya juga sedang mema