***"Jadi bagaimana, masih mau jalan-jalan?" tanya Haikal setelah dirasa napas Delia mulai beraturan. "Bapak dan Emak sudah menunggu."Delia menghela napas panjang. Wajahnya yang sembab mendongak menatap Haikal yang juga sedang menatapnya. Ada perasaan bersalah, namun tetap saja Delia tidak bisa mengenyahkan rasa cemburu karena pesan yang Ranti kirimkan tadi. Sekalipun Delia percaya jika suaminya adalah pria setia, namun tetap saja hati wanita memang ditakdirkan serumit itu. "Mau Mas antar?" tawar Haikal penuh harap. "Nanti urusan di kebun biar Kang Dirman yang memantau. Bagaimana?"Ingin sekali kepala Delia menggeleng, namun ketika teringat wajah Ranti, perempuan itu mendadak mengangguk cepat. "Mau," sahutnya. "Tapi beneran Kang Dirman tidak keberatan, Mas? Tadi dia sudah bersiap bahkan mobil juga sudah dipanasin mesinnya.""Ya tidak apa-apa, pekerjaan Kang Dirman memang memantau di sawah dan kebun milik Bapak. Kamu tenang saja." Haikal mengusap pucuk kepala Delia yang tertutup jil
***Ranti pulang dengan perasaan dongkol. Dadanya naik turun, napasnya tersengal karena mendengar kabar kehamilan Delia untuk yang kedua kalinya. Kemarin Kang Dirman sudah merusak suasana hatinya dan sekarang ... para tetangga justru mensyukuri kehamilan Delia seolah-olah istri Haikal itu adalah putri dari orang ternama di kampungnya. "Lagipula siapa Delia, dia cuma wanita kota yang kebetulan dinikahi Kang Haikal. Dia jalang!" Dada Ranti terasa sesak, "Tidak tau malu! Bisa-bisanya dia pamer kehamilan, apa dia pikir hidupnya seberuntung itu, huh!"Mata Ranti memanas. Cairan bening menggenang di pelupuk matanya mengingat wajah Haikal yang sejak kemarin menghantui pikirannya. Kebahagiaan yang ia rasakan ternyata tidak berlangsung lama, Delia menghancurkan rasa senang yang sempat bersarang di hatinya. Sesampainya di depan rumah, Ranti membuang tas belanjanya begitu saja. Langkah kakinya menghentak kesal sementara tidak sedikitpun bibirnya menyunggingkan senyuman. "Loh, katanya belanja,
***Lepas salat Magrib Delia dan Haikal belum juga beranjak dari tempatnya. Pasangan suami istri yang sebentar lagi menyandang status Ibu dan Ayah itu sama-sama menengadahkan tangan. Berdoa, berharap agar pernikahan yang belum genap memasuki tahun itu pertama itu kian dikuatkan. Berdoa, meminta agar calon penerus keluarga lahir dengan selamat dan tidak ada satu pun kekurangan. Setetes air mata mengalir di pipi Delia mengingat betapa cepat Tuhan mengabulkan doa-doa yang ia panjatkan. Bahu Delia semakin berguncang ketika tangan Haikal mengusap perutnya yang semakin berisi. Mata Delia masih terpejam sementara tangan Haikal tidak juga terlepas dari perut Sang Istri. "Apa yang kamu minta sampai berurai tangis?" tanya Haikal lirih. Delia mengakhiri doanya sembari mengusap kedua tangan pada wajah. Matanya sembab, hidungnya berair, perlahan ia membuka mata dan melihat wajah Haikal berada tepat di depan wajahnya. "Kamu." Delia mengecup kening Haikal sekilas setelah mengucap satu kata. "D
***"Allahuakbar!" seru Bapak terkejut."Nduk ... Delia!" Emak memekik kaget melihat nampan yang berisi beberapa gelas kopi dan teh yang Delia bawa sudah berserakan di lantai. "Jangan melangkah, Dek!"Haikal yang sejak tadi berpura-pura mendengarkan permintaan Ustad Jefri yang tidak masuk akal seketika berlari mendekati Delia. Delia yang berdiri di antara ruang tamu dan ruang keluarga menatap Ranti serta keluarganya dengan perasaan yang hancur. Bagaimana bisa seorang Ustad yang disegani di Kampung ini menghalalkan segala cara demi ambisi putrinya? Kaki yang berdarah tidak membuat Delia kesakitan. Namun senyum sinis yang Ranti layangkan membuat hatinya seketika panas, berdenyut nyeri, sesak. Andai saja bisa ia bersikap bar-bar, maka saat ini juga ia abaikan pecahan beling di bawah kakinya dan berlari mendekati Ranti lalu melayangkan tamparan yang tidak akan bisa Ranti lupakan. "Mak, sapu!" ujar Haikal tegas. Emak yang berada di belakang Delia segera berlari mengambil sapu lantai d
***"Jangan bodoh, Ranti! Buang pisau itu!" teriak Umi Laila panik. "Nak, dengarkan Umi ...." Umi Laila menghela napas panjang. "Haikal bukan jodoh kamu, jangan bersikap konyol, buang pisau itu sekarang juga!""Tidak, Umi," sahut Ranti di sela-sela tangisnya. "Kang Haikal adalah jodohku, Delia yang sudah menjadi orang ketiga di antara kami. Jalang itu ... dia merebut Kang Haikal dariku!" Ranti menunjuk Delia dengan wajah sengit. "Jalang! Semua perempuan kota adalah jalang!" teriaknya lantang. Beberapa tetangga yang mendengar keributan di rumah Haikal segera berlari mendekat. Yu Jamila bahkan hampir meringsek namun pemandangan di depan matanya membuat saudara dekat Emak Karti itu menjerit panik. "Allahuakbar, Neng Ranti!" Emak menggeleng memberi isyarat agar Yu Jamila kembali keluar dan bisa mengkondisikan keadaan di depan rumah putranya. Semakin banyak tetangga yang berkerumun, semakin keras pula tangis Ranti agar mendapatkan simpati. "N-- Neng, aduh ... aduh, itu keluar darah," u
***"Bah, cukup!""Diam, Umi!" Dada Ustad Jefri naik turun. "Abah ingin tahu seberapa besar nyalinya untuk mengakhiri hidup."Mata Ranti yang basah seketika bergetar. "Ini ambisi, Nduk. Kamu tidak benar-benar menginginkan Haikal ....""Aku sungguh menginginkan Kang Haikal, Bah." Ranti menyahut lemah. "Aku hanya mau menikah jika pria itu adalah Kang Haikal. Kenapa Abah tidak mengerti, dia yang sudah menjadi duri pada perasaan kami. Aku tahu ... sejak dulu Kang Haikal menaruh hati padaku.""Kau salah," sela Haikal ketus. "Bukankah sudah kukatakan jika semua yang kulakukan hanyalah sebatas rasa santunku pada Ustad Jefri? Jika aku memperlakukan kamu dengan baik itu karena kamu adalah putrinya. Hanya itu."Rahang Ranti mengeras. "Aku tidak pernah mencintai kamu, Ranti. Sejak dulu, bahkan hingga kini hanya Delia yang menempati hatiku. Kamu ... aku bahkan tidak pernah melirikmu selain sebatas keturunan Ustad Jefri yang harus aku hormati," imbuh Haikal panjang lebar."Tidak perduli apa yang a
***"Astaghfirullah ...." Delia melepaskan genggaman tangan Haikal setelah menghela napas panjang. Di salah satu sofa ia terduduk dengan wajah sendu. "Astaghfirullah," ucapnya lagi. Emak yang melihat kesedihan di wajah Delia seketika mendekat. Diusapnya kepala Sang Menantu yang tertutup kerudung. "Sabar ya, Nduk."Delia mendongak. Matanya berkaca-kaca melihat Emak yang juga tengah menatapnya teduh. Perlahan, kepala perempuan hamil itu mengangguk lemah. Lagipula apa yang bisa ia lakukan selain sabar? Sekasar apapun ia menghardik Ranti, putri Ustad Jefri itu akan terus mencari pembelaan atas perasaannya yang tidak benar. "Percaya pada suamimu, Delia, Emak membesarkan dia agar menjadi pria yang bertanggung jawab serta setia. Lihatlah Bapak, seperti itulah Haikal akan tumbuh." Mata Delia beralih menatap Pak Gani yang sedang berdiri di samping Haikal. Bapak ... selama ini Delia sudah menganggap Bapak seperti orang tuanya sendiri. Delia adalah saksi betapa Pak Gani adalah mertua yang sa
***"Bicara apa sama Kang Dirman, Mas?"Haikal yang baru saja mendaratkan bokongnya di atas ranjang seketika menoleh ke arah dimana Delia berada. Di depan meja rias, istrinya itu terlihat sedang memoles cream malam sebelum tidur. "Sejak dulu Bapak ingin sekali Mas punya bisnis, Dek," jawab Haikal jujur. "Sebentar lagi aku akan menjadi Ayah, aku ingin anak kita mendapatkan segala sesuatu yang terbaik nantinya. Maka dari itu aku meminta bantuan Kang Dirman agar mencarikan tempat yang berpeluang besar dalam bisnis Cafe. Kalau hanya mengandalkan pendapatan sawah dan ladang milik Bapak, Mas merasa kurang percaya diri ....""Karena hanya seorang petani?" sela Delia. Haikal yang berwajah sendu lantas menunduk. "Kita tidak bisa mengubah cara pandang orang lain, Delia. Di mata semua orang, petani adalah pekerjaan yang rendah," sahut Haikal lirih. "Mendengar kamu dicaci maki keluarga saat aku lamar kala itu, sungguh ... Mas sangat terluka.""Lagipula bisnis Cafe bisa kita wariskan pada anak-a