***"Allahuakbar!" seru Bapak terkejut."Nduk ... Delia!" Emak memekik kaget melihat nampan yang berisi beberapa gelas kopi dan teh yang Delia bawa sudah berserakan di lantai. "Jangan melangkah, Dek!"Haikal yang sejak tadi berpura-pura mendengarkan permintaan Ustad Jefri yang tidak masuk akal seketika berlari mendekati Delia. Delia yang berdiri di antara ruang tamu dan ruang keluarga menatap Ranti serta keluarganya dengan perasaan yang hancur. Bagaimana bisa seorang Ustad yang disegani di Kampung ini menghalalkan segala cara demi ambisi putrinya? Kaki yang berdarah tidak membuat Delia kesakitan. Namun senyum sinis yang Ranti layangkan membuat hatinya seketika panas, berdenyut nyeri, sesak. Andai saja bisa ia bersikap bar-bar, maka saat ini juga ia abaikan pecahan beling di bawah kakinya dan berlari mendekati Ranti lalu melayangkan tamparan yang tidak akan bisa Ranti lupakan. "Mak, sapu!" ujar Haikal tegas. Emak yang berada di belakang Delia segera berlari mengambil sapu lantai d
***"Jangan bodoh, Ranti! Buang pisau itu!" teriak Umi Laila panik. "Nak, dengarkan Umi ...." Umi Laila menghela napas panjang. "Haikal bukan jodoh kamu, jangan bersikap konyol, buang pisau itu sekarang juga!""Tidak, Umi," sahut Ranti di sela-sela tangisnya. "Kang Haikal adalah jodohku, Delia yang sudah menjadi orang ketiga di antara kami. Jalang itu ... dia merebut Kang Haikal dariku!" Ranti menunjuk Delia dengan wajah sengit. "Jalang! Semua perempuan kota adalah jalang!" teriaknya lantang. Beberapa tetangga yang mendengar keributan di rumah Haikal segera berlari mendekat. Yu Jamila bahkan hampir meringsek namun pemandangan di depan matanya membuat saudara dekat Emak Karti itu menjerit panik. "Allahuakbar, Neng Ranti!" Emak menggeleng memberi isyarat agar Yu Jamila kembali keluar dan bisa mengkondisikan keadaan di depan rumah putranya. Semakin banyak tetangga yang berkerumun, semakin keras pula tangis Ranti agar mendapatkan simpati. "N-- Neng, aduh ... aduh, itu keluar darah," u
***"Bah, cukup!""Diam, Umi!" Dada Ustad Jefri naik turun. "Abah ingin tahu seberapa besar nyalinya untuk mengakhiri hidup."Mata Ranti yang basah seketika bergetar. "Ini ambisi, Nduk. Kamu tidak benar-benar menginginkan Haikal ....""Aku sungguh menginginkan Kang Haikal, Bah." Ranti menyahut lemah. "Aku hanya mau menikah jika pria itu adalah Kang Haikal. Kenapa Abah tidak mengerti, dia yang sudah menjadi duri pada perasaan kami. Aku tahu ... sejak dulu Kang Haikal menaruh hati padaku.""Kau salah," sela Haikal ketus. "Bukankah sudah kukatakan jika semua yang kulakukan hanyalah sebatas rasa santunku pada Ustad Jefri? Jika aku memperlakukan kamu dengan baik itu karena kamu adalah putrinya. Hanya itu."Rahang Ranti mengeras. "Aku tidak pernah mencintai kamu, Ranti. Sejak dulu, bahkan hingga kini hanya Delia yang menempati hatiku. Kamu ... aku bahkan tidak pernah melirikmu selain sebatas keturunan Ustad Jefri yang harus aku hormati," imbuh Haikal panjang lebar."Tidak perduli apa yang a
***"Astaghfirullah ...." Delia melepaskan genggaman tangan Haikal setelah menghela napas panjang. Di salah satu sofa ia terduduk dengan wajah sendu. "Astaghfirullah," ucapnya lagi. Emak yang melihat kesedihan di wajah Delia seketika mendekat. Diusapnya kepala Sang Menantu yang tertutup kerudung. "Sabar ya, Nduk."Delia mendongak. Matanya berkaca-kaca melihat Emak yang juga tengah menatapnya teduh. Perlahan, kepala perempuan hamil itu mengangguk lemah. Lagipula apa yang bisa ia lakukan selain sabar? Sekasar apapun ia menghardik Ranti, putri Ustad Jefri itu akan terus mencari pembelaan atas perasaannya yang tidak benar. "Percaya pada suamimu, Delia, Emak membesarkan dia agar menjadi pria yang bertanggung jawab serta setia. Lihatlah Bapak, seperti itulah Haikal akan tumbuh." Mata Delia beralih menatap Pak Gani yang sedang berdiri di samping Haikal. Bapak ... selama ini Delia sudah menganggap Bapak seperti orang tuanya sendiri. Delia adalah saksi betapa Pak Gani adalah mertua yang sa
***"Bicara apa sama Kang Dirman, Mas?"Haikal yang baru saja mendaratkan bokongnya di atas ranjang seketika menoleh ke arah dimana Delia berada. Di depan meja rias, istrinya itu terlihat sedang memoles cream malam sebelum tidur. "Sejak dulu Bapak ingin sekali Mas punya bisnis, Dek," jawab Haikal jujur. "Sebentar lagi aku akan menjadi Ayah, aku ingin anak kita mendapatkan segala sesuatu yang terbaik nantinya. Maka dari itu aku meminta bantuan Kang Dirman agar mencarikan tempat yang berpeluang besar dalam bisnis Cafe. Kalau hanya mengandalkan pendapatan sawah dan ladang milik Bapak, Mas merasa kurang percaya diri ....""Karena hanya seorang petani?" sela Delia. Haikal yang berwajah sendu lantas menunduk. "Kita tidak bisa mengubah cara pandang orang lain, Delia. Di mata semua orang, petani adalah pekerjaan yang rendah," sahut Haikal lirih. "Mendengar kamu dicaci maki keluarga saat aku lamar kala itu, sungguh ... Mas sangat terluka.""Lagipula bisnis Cafe bisa kita wariskan pada anak-a
***Fatima menangis di atas ranjang dengan posisi meringkuk. Perut yang sudah mulai membesar ia usap lembut. Air mata yang sejak tadi mengalir deras seolah enggan berhenti apalagi ketika Faisal memutuskan tidak pulang malam ini. Entah kemana pria itu pergi yang jelas ... Fatima sudah menghubungi nomor Kamila dan mantan istri suaminya itu mengatakan jika Faisal tidak berada di rumahnya. Bahkan sudah satu minggu terakhir pria itu tidak menengok buah hatinya bersama Kamila. Sejak pindah ke rumah yang seharusnya menjadi milik Kamila seutuhnya, sikap Faisal semakin semena-mena. Pria tidak tau diri itu menganggap jika Fatima adalah beban. Bahkan ia berpendapat bahwa Fatima lah yang harus memenuhi kebutuhan sehari-hari karena untuk tempat tinggal dialah yang sudah memenuhi. Namun, bukankah sandang, pangan dan papan memanglah kewajiban seorang suami?Bahu Fatima berguncang. Tangis yang semula tidak bersuara kini mulai terdengar pilu dan menyayat hati. Masih dengan posisi yang sama wanita it
***Kang Dirman segera mengemudikan mobil menuju Rumah Sakit yang Haikal sebutkan. Sebelum berangkat ke Surabaya, Pak Handoko sudah memberi tahu lebih dulu dimana Fatima dirawat sehingga Delia tidak perlu bertanya-tanya lagi dimana kakaknya dirawat saat ini. "Rumah Sakit Unair," kata Kang Dirman mengeja nama Rumah Sakit yang tertulis besar di atas bangunan berlantai tinggi. "Gila, besar sekali Rumah Sakitnya." Kang Dirman geleng-geleng. Apalagi ketika mobil yang ia kemudikan mulai memasuki halaman parkir. "Ini nanti yakin kita gak bakalan nyasar, Neng?"Delia tersenyum tipis. "Insya Allah tidak, Kang. Aman!"Haikal membuka pintu mobil dan mempersilahkan istrinya keluar. Kepalanya mendadak pening melihat bangunan besar di depannya, belum lagi kawasan parkir yang begitu luas. Pria berkemeja hitam itu memijit pelipisnya perlahan."Mas juga pusing?" cibir Delia menahan tawa. Haikal mengangguk lemah. "Ini Rumah Sakit besar sekali, Dek," gerutunya. "Namanya juga Rumah Sakit," sahut Delia
***"Kantinnya dimana ini, Kang?"Haikal dan Kang Dirman sudah berada di lantai satu. "Kamu nanyea, kamu bertanyea-tanyea?"Haikal menoleh sembari mengangkat tinjunya di udara. "Hajar juga nih!" kata Haikal geram. Kang Dirman tertawa lebar. Rasanya lama sekali ia dan Haikal tidak bersenda gurau. Apalagi setelah Haikal menikah, hampir tidak pernah pria yang sudah ia anggap seperti adik sendiri itu datang ke rumahnya untuk sekedar menghabiskan segelas kopi sambil bercerita random. "Daripada kita keliling Rumah Sakit seperti orang tawaf, mending beli makan di luar saja. Ayo!""Kang, serius?" tanya Haikal mengernyit."Dua rius," jawab Kang Dirman."Di depan cuma ada jalan raya. Kita mau beli makan dimana, keburu kelaparan Bapak dan Ibuku, Kang," gerutu Haikal. Kang Dirman memicingkan mata menatap pelataran tempat parkir. Haikal benar. Di depan bahkan tidak ada penjual pinggir jalan. "Permisi, Bu ... kantin sebelah mana, nggih?"Perempuan berkerudung maroon menoleh. "Di belakang UDG,