***Kang Dirman segera mengemudikan mobil menuju Rumah Sakit yang Haikal sebutkan. Sebelum berangkat ke Surabaya, Pak Handoko sudah memberi tahu lebih dulu dimana Fatima dirawat sehingga Delia tidak perlu bertanya-tanya lagi dimana kakaknya dirawat saat ini. "Rumah Sakit Unair," kata Kang Dirman mengeja nama Rumah Sakit yang tertulis besar di atas bangunan berlantai tinggi. "Gila, besar sekali Rumah Sakitnya." Kang Dirman geleng-geleng. Apalagi ketika mobil yang ia kemudikan mulai memasuki halaman parkir. "Ini nanti yakin kita gak bakalan nyasar, Neng?"Delia tersenyum tipis. "Insya Allah tidak, Kang. Aman!"Haikal membuka pintu mobil dan mempersilahkan istrinya keluar. Kepalanya mendadak pening melihat bangunan besar di depannya, belum lagi kawasan parkir yang begitu luas. Pria berkemeja hitam itu memijit pelipisnya perlahan."Mas juga pusing?" cibir Delia menahan tawa. Haikal mengangguk lemah. "Ini Rumah Sakit besar sekali, Dek," gerutunya. "Namanya juga Rumah Sakit," sahut Delia
***"Kantinnya dimana ini, Kang?"Haikal dan Kang Dirman sudah berada di lantai satu. "Kamu nanyea, kamu bertanyea-tanyea?"Haikal menoleh sembari mengangkat tinjunya di udara. "Hajar juga nih!" kata Haikal geram. Kang Dirman tertawa lebar. Rasanya lama sekali ia dan Haikal tidak bersenda gurau. Apalagi setelah Haikal menikah, hampir tidak pernah pria yang sudah ia anggap seperti adik sendiri itu datang ke rumahnya untuk sekedar menghabiskan segelas kopi sambil bercerita random. "Daripada kita keliling Rumah Sakit seperti orang tawaf, mending beli makan di luar saja. Ayo!""Kang, serius?" tanya Haikal mengernyit."Dua rius," jawab Kang Dirman."Di depan cuma ada jalan raya. Kita mau beli makan dimana, keburu kelaparan Bapak dan Ibuku, Kang," gerutu Haikal. Kang Dirman memicingkan mata menatap pelataran tempat parkir. Haikal benar. Di depan bahkan tidak ada penjual pinggir jalan. "Permisi, Bu ... kantin sebelah mana, nggih?"Perempuan berkerudung maroon menoleh. "Di belakang UDG,
***"Bisakah saya tebus obatnya sebagian, Mbak? Insya Allah besok pagi saya tebus sisanya," ucap perempuan berkerudung maroon pada petugas apotek di Rumah Sakit. "Mohon maaf, Kakak, obatnya tidak bisa ditebus terpisah.""Saya mohon, Mbak ... saya berjanji besok saya lunasi semua biaya obatnya. Saya ... saya hanya ada uang 300 ribu, tolonglah, Mbak ....""Maaf ya, Kak. Silahkan minggir, antrean selanjutnya sudah menunggu."Perempuan cantik bertubuh tinggi semampai itu mundur sambil menggigit bibir bawahnya gusar. Air mata yang menggenang bersiap tumpah. Namun ia sadar, menangis di depan banyak orang hanya akan membuatnya malu. Di sebuah taman dekat kamar mandi umum, perempuan itu duduk sambil menutup wajah menggunakan kerudungnya yang lebar. Bahunya bergetar. Siapapun yang melihat pasti tahu jika perempuan itu sedang menangis. "Maafkan saya ...." Kang Dirman mendekat ketika menyadari bahwa perempuan yang ada di kursi taman itu adalah perempuan yang tadi berada di ruangan Fatima.
***Haikal melirik sekilas ke arah Erina kemudian turun dari ranjang dan bertanya pada Delia, "Kang Dirman mana, Dek?""Ada di depan. Mau pulang dulu?"Haikal tersenyum tanpa mengangguk. Setelah mencium punggung tangan Eyang dan Bibi Naomi, pria itu melenggang begitu saja tanpa memperdulikan Erina yang mulai menggerutu. "Ck, Haikal!" seru Erina manja. Suami Delia itu menghentikan langkah kemudian menoleh. "Gimana, boleh kan kalau aku kerja di Restoran baru kalian. Itung-itung ngasih kerjaan ke saudara sendiri. Pahala loh!""Erina benar, Le. Eyang bangga sekali Delia bisa menikah denganmu," sahut Eyang menuai tawa lirih dari bibir Haikal. "Seburuk apapun sikap kami di masa lalu, harusnya kamu bisa melupakan itu. Benar kan?"Haikal mengangguk dan kembali melanjutkan langkahnya tanpa berniat menjawab pertanyaan Erina dan Eyang Salma. "Huh, gimana sih, ditanya malah diam saja. Sombong!"Delia melirik sinis dan menyahut. "Boleh lah sekali-kali suamiku bersikap sombong, masa cuma kamu doa
***"Ribut lagi, Dek?"Delia menoleh. Haikal dan Kang Dirman masuk tepat setelah Eyang dan Bibi Naomi keluar dari kamar Fatima. "Biasalah, Mas." Delia menjawab malas. "Mana pernah Eyang sama anak-anak kesayangannya datang tapi gak bikin ribut."Haikal berjalan mendekat. "Ya sudah, yang sabar."Delia mengangguk sambil menghela napas panjang. Tanpa sengaja ia melihat Kang Dirman yang melirik ke ranjang sebelah yang tertutup gorden panjang. Tingkah sahabat Haikal itu terlihat aneh. Seperti sedang curi-curi pandang, tapi pada siapa?"Kang ...."Kang Dirman masih terus menatap gorden yang tidak sedikitpun tersibak. "Kang Dirman ...."Pria berusia matang itu tersentak kaget. "E-- eh, Neng. Ya?""Lagi mikirin apa, kenapa lihat gorden sampai segitunya?"Haikal mengulum bibir menahan tawa sementara Kang Dirman nyengir seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal."Anu ... itu ...."Tiba-tiba seorang wanita berkerudung maroon menyembul dari balik gorden. Delia bisa melihat kaki keriput di ata
***Sepulang dari Rumah Sakit, Jaka menyambut keluarganya di ruang tamu. Ada Eyang Salma, Bibi Naomi dan Erina, Bibi Husniah beserta suami dan putrinya. Semua keluarga berkumpul menyambut kepulangan Fatima setelah beberapa hari menginap di Rumah Sakit."Akhirnya kamu pulang juga, Fat," seloroh Bibi Husniah. "Bibi pusing banget ditanya-tanya tetangga. Bingung mau jawab apa," imbuhnya. Pak Handoko melayangkan tatapan sengit pada adik Bu Sarah. Merasa diperhatikan, Bibi Husniah seketika menutup bibirnya rapat-rapat. "Bikin malu," desis Erina lirih. Delia yang tidak sengaja mendengar seketika menoleh dan menatap Erina tajam. "Masuklah ke kamar, istirahat!" pinta Pak Handoko. "Ajak Mbakmu ke kamarnya, Delia!"Delia mengangguk patuh. "Tolong jangan terima tamu yang hanya datang-datang bawa keributan. Aku tidak suka!" ujar Delia menyindir. "Lihat, bahkan di tangan mereka tidak ada buah tangan apapun. Mereka hanya membawa buah bibir. Tidak tau malu!"”Delia ...." "Sekali lagi Ibu meminta
***"Bu, bagaimana bisa pihak kepolisian datang kemari? Maksud-- maksudku, bagaimana mereka bisa tahu kalau Erina ada disini? Ini jelas jebakan. Erina dijebak, Bu!" Bibi Naomi histeris melihat putri semata wayangnya tertangkap basah membawa barang haram. "Pasti ada dalang di balik ini semua. Ada orang jahat yang mau merusak nama baik keluargaku. Ya kan, Bu?"Suara tangis Bibi Naomi terdengar pilu. Beberapa tetangga seperti Bulek Nina berdiri di halaman rumah melihat keributan yang sempat terjadi. Mobil kepolisian mengundang rasa ingin tahu para tetangga. Siapakah gerangan yang sedang diincar oleh para pria berseragam abu-abu?"Aku tahu seperti apa Erina, dia tidak mungkin mengkonsumsi barang-barang seperti itu, Bu. Lakukan sesuatu!" seru Bibi Naomi panik. "Haikal, apa kamu tuli, hah?" bentak Eyang Salma. "Jangan hanya diam saja, bertindaklah!"Haikal menghela napas panjang. "Kenapa harus saya, Eyang?" tanya Haikal malas. "Bukankah Erina masih memiliki Ayah? Om Dani lebih berhak mengu
***Alih-alih marah, Haikal justru menarik ujung bibirnya sinis. Lucu. Disaat Erina ditimpa musibah, kenapa justru dirinya yang disalahkan. Bukankah aneh? Cacat logika!"Sebenarnya apa yang Eyang harapkan dari saya?" Haikal bertanya dengan ekspresi yang teramat tenang. "Berharap agar saya bisa dijadikan kacung di keluarga ini ... atau berharap saya bisa menjadi mengepul uang untuk anak cucu Eyang yang lain, begitu?"Wajah Eyang Salma memanas. Wanita tua yang separuh usianya telah termakan zaman itu terlihat marah. Matanya melotot seakan-akan Haikal adalah anak kecil yang tengah berbuat salah. "Saya memang suami Delia, tapi bukan berarti semua masalah anak cucu Eyang harus ditimpa di atas bahu saya. Maaf, saya tidak sebodoh itu.""Makin lama Eyang semakin membuatku tidak bisa menahan emosi," timpal Delia. "Dan Ibu ... jangan pernah menyangkut pautkan suamiku pada urusan seperti ini. Mas Haikal tidak seharusnya menjadi garda terdepan atas semua yang terjadi pada Erina. Jangan memaksa s