***Sepulang dari Rumah Sakit, Jaka menyambut keluarganya di ruang tamu. Ada Eyang Salma, Bibi Naomi dan Erina, Bibi Husniah beserta suami dan putrinya. Semua keluarga berkumpul menyambut kepulangan Fatima setelah beberapa hari menginap di Rumah Sakit."Akhirnya kamu pulang juga, Fat," seloroh Bibi Husniah. "Bibi pusing banget ditanya-tanya tetangga. Bingung mau jawab apa," imbuhnya. Pak Handoko melayangkan tatapan sengit pada adik Bu Sarah. Merasa diperhatikan, Bibi Husniah seketika menutup bibirnya rapat-rapat. "Bikin malu," desis Erina lirih. Delia yang tidak sengaja mendengar seketika menoleh dan menatap Erina tajam. "Masuklah ke kamar, istirahat!" pinta Pak Handoko. "Ajak Mbakmu ke kamarnya, Delia!"Delia mengangguk patuh. "Tolong jangan terima tamu yang hanya datang-datang bawa keributan. Aku tidak suka!" ujar Delia menyindir. "Lihat, bahkan di tangan mereka tidak ada buah tangan apapun. Mereka hanya membawa buah bibir. Tidak tau malu!"”Delia ...." "Sekali lagi Ibu meminta
***"Bu, bagaimana bisa pihak kepolisian datang kemari? Maksud-- maksudku, bagaimana mereka bisa tahu kalau Erina ada disini? Ini jelas jebakan. Erina dijebak, Bu!" Bibi Naomi histeris melihat putri semata wayangnya tertangkap basah membawa barang haram. "Pasti ada dalang di balik ini semua. Ada orang jahat yang mau merusak nama baik keluargaku. Ya kan, Bu?"Suara tangis Bibi Naomi terdengar pilu. Beberapa tetangga seperti Bulek Nina berdiri di halaman rumah melihat keributan yang sempat terjadi. Mobil kepolisian mengundang rasa ingin tahu para tetangga. Siapakah gerangan yang sedang diincar oleh para pria berseragam abu-abu?"Aku tahu seperti apa Erina, dia tidak mungkin mengkonsumsi barang-barang seperti itu, Bu. Lakukan sesuatu!" seru Bibi Naomi panik. "Haikal, apa kamu tuli, hah?" bentak Eyang Salma. "Jangan hanya diam saja, bertindaklah!"Haikal menghela napas panjang. "Kenapa harus saya, Eyang?" tanya Haikal malas. "Bukankah Erina masih memiliki Ayah? Om Dani lebih berhak mengu
***Alih-alih marah, Haikal justru menarik ujung bibirnya sinis. Lucu. Disaat Erina ditimpa musibah, kenapa justru dirinya yang disalahkan. Bukankah aneh? Cacat logika!"Sebenarnya apa yang Eyang harapkan dari saya?" Haikal bertanya dengan ekspresi yang teramat tenang. "Berharap agar saya bisa dijadikan kacung di keluarga ini ... atau berharap saya bisa menjadi mengepul uang untuk anak cucu Eyang yang lain, begitu?"Wajah Eyang Salma memanas. Wanita tua yang separuh usianya telah termakan zaman itu terlihat marah. Matanya melotot seakan-akan Haikal adalah anak kecil yang tengah berbuat salah. "Saya memang suami Delia, tapi bukan berarti semua masalah anak cucu Eyang harus ditimpa di atas bahu saya. Maaf, saya tidak sebodoh itu.""Makin lama Eyang semakin membuatku tidak bisa menahan emosi," timpal Delia. "Dan Ibu ... jangan pernah menyangkut pautkan suamiku pada urusan seperti ini. Mas Haikal tidak seharusnya menjadi garda terdepan atas semua yang terjadi pada Erina. Jangan memaksa s
***"Delia ... Haikal, buka pintunya!" Pintu kamar Delia diketuk berulang kali oleh Bu Sarah, namun sang empunya tidak jua menampakkan batang hidung. Menyahut pun tidak. Bu Sarah menghela napas panjang, mengira jika anak dan menantunya sudah tertidur lelap. "Sepertinya Delia dan Haikal sudah tidur, Nao." "Bangunkan, Mbak! Ini genting," seru Bibi Naomi. Delia dan Haikal mencuri dengar percakapan di depan kamarnya karena Bu Sarah seolah sengaja mengaktifkan tombol loud speaker di hapenya. "Kamarnya dikunci, Nao," ujar Bu Sarah lagi."Gedor!" pekik Bibi Naomi. "Kalau perlu dobrak kamarnya!"Delia mendelik. Benar-benar tidak habis pikir dengan jalan pikiran para Bibinya. Namun tiba-tiba ...."Lancang sekali kau!""Bapak," gumam Delia lirih."Seumur hidup aku tidak pernah mendobrak pintu kamar putriku. Dan kamu ... lancang sekali, Naomi!"Suara Pak Handoko terdengar mengerikan. Lirih, namun tegas. Delia bisa membayangkan jika wajah Bapaknya saat ini pasti menegang menahan marah. "Jan
***"Wali pasien Pak Hamid?"Suara suster mengagetkan Kang Dirman dan Annisa. "Sa-- saya, Sus."Perempuan manis itu berdiri kikuk ketika menyadari tingkahnya barusan. Refleks. Namun ada perasaan sungkan dan tidak enak hati mengingat dirinya dan Kang Dirman bukanlah dua orang yang sudah lama saling mengenal. "Ma-- maaf ya, Mas. Aku~ tidak sengaja," ucap Annisa lirih. Kang Dirman mengangguk lemah kemudian menunjuk Suster di depannya dengan gerakan dagu. Annisa paham akan isyarat yang Kang Dirman berikan. Pria itu seolah berkata, "Ada suster di depanmu. Dengarkan apa yang akan dia sampaikan.""Kami sudah menghubungi Dokter Anwar, Bu. Operasi akan dilakukan pukul 08.00 WIB, jadi tolong ditanda tangani surat persetujuan dan melunasi biaya yang sempat menunggak." "Ba-- baik, Suster. Terima kasih.""Sama-sama, Bu. Untuk beberapa jam ke depan, pasien belum bisa dikunjungi mengingat kondisinya yang saat ini tengah kritis. Ibu tenang saja, di dalam ada Suster yang bertugas memantau kondisi
***"Kemana Kang Dirman , Del?"Delia yang tengah menuang nasi ke atas piring milik Haikal seketika menoleh. "Lagi keluar, Pak.""Kemana?" Bu Sarah ikut menimpali.Haikal dan Delia saling tatap. Tidak mungkin keduanya mengatakan jika Kang Dirman sedang menemui perempuan yang baru dikenalnya saat di Rumah Sakit. "Haikal, ibu sebenarnya ingin bicara ini dari kemarin."Haikal menoleh. "Ada apa, Bu?"Bu Sarah melirik kamar Fatima yang masih tertutup rapat. Delia sudah mengetuk pintu kamar kakak keduanya namun Fatima mengatakan akan agar semua orang sarapan lebih dulu. Lelah. Itu alasan yang Fatima berikan. "Menurutmu bagaimana pria bernama Dirman itu? Baik?""Baik," jawab Haikal singkat. "Amanah," imbuhnya. "Ya. Ibu juga percaya kalau dia pria yang baik dan amanah. Itu sebabnya dia menjadi kepercayaan Bapakmu, benar kan?"Haikal mengangguk membenarkan. "Kang Dirman bekerja dengan Bapak sudah sangat lama, Bu. Bahkan saat saya masih menduduki bangku SMA, Kang Dirman sudah ikut bekerja d
***"Bu-- bukan, Pak. Saya ....""Tolong, Le," sela Pak Hamid. "Tolong jangan kau beri iming-iming menjijikkan untuk putriku. Kami memang orang miskin, tapi jangan kau beli harga dirinya dengan dalih kesembuhan ...."Sudut mata Pak Hamid basah. Kang Dirman berulang kali menghela napas panjang melihat betapa pria tua di depannya teramat mencintai Annisa. "Terlalu banyak kepedihan yang Annisa rasakan. Dia anak yang baik, saya tidak tega melihatnya bertaruh banyak hal demi melihat bapaknya sehat. Annisa yang malang."Pak Hamid mengusap kepala Annisa yang tertidur di sampingnya. "Jangan paksa dia menjadi istri keduamu, Bapak akan melunasi semua hutang untuk pengobatan ....""Saya belum menikah, Pak."Pak Hamid menghentikan ucapannya. Pria tua itu memicing menatap Kang Dirman tidak percaya. Kemudian, kepalanya geleng-geleng sambil berkata, "Benarkah?"Kang Dirman mengangguk mantap. "Saya pria lajang, belum beristri.""Tapi ... kamu terlihat berumur. Apa kamu duda?"Annisa tidak tahan. Per
***Bapak menatapku lama setelah kepergian Mas Dirman. Mata tuanya terlihat basah setelah menyaksikan seorang pria yang tiba-tiba mengakui perasaannya terhadapku di depannya. "Kamu mencintainya, Nduk? Mencintai pria bernama Dirman itu?"Aku bergeming. Apakah Bapak akan percaya jika aku telah jatuh hati pada Mas Dirman? Apa Bapak akan mempercayai semua yang aku katakan bahwa sikap Mas Dirman mampu membuatku luluh hanya dalam hitungan hari?"Bapak tidak suka dengan Mas Dirman?" Aku balik bertanya. Ragu. Apakah aku harus jujur di depan Bapak sementara pria tua di depanku itu terlihat bimbang. Tapi aku salah. Bapak perlahan menggeleng dan menyahut, "Bapak suka. Sikapnya sangat jauh berbeda dengan para pria yang pernah mendekatimu. Hanya saja ... apa kamu yakin keluarganya akan menerimamu?"Aku meneguk ludah dengan susah payah. Perasaan hangat yang sempat kurasakan karena pengakuan Mas Dirman beberapa menit yang lalu kini melebur menjadi rasa takut yang luar biasa. Bapak benar, apakah ke