***"Bu-- bukan, Pak. Saya ....""Tolong, Le," sela Pak Hamid. "Tolong jangan kau beri iming-iming menjijikkan untuk putriku. Kami memang orang miskin, tapi jangan kau beli harga dirinya dengan dalih kesembuhan ...."Sudut mata Pak Hamid basah. Kang Dirman berulang kali menghela napas panjang melihat betapa pria tua di depannya teramat mencintai Annisa. "Terlalu banyak kepedihan yang Annisa rasakan. Dia anak yang baik, saya tidak tega melihatnya bertaruh banyak hal demi melihat bapaknya sehat. Annisa yang malang."Pak Hamid mengusap kepala Annisa yang tertidur di sampingnya. "Jangan paksa dia menjadi istri keduamu, Bapak akan melunasi semua hutang untuk pengobatan ....""Saya belum menikah, Pak."Pak Hamid menghentikan ucapannya. Pria tua itu memicing menatap Kang Dirman tidak percaya. Kemudian, kepalanya geleng-geleng sambil berkata, "Benarkah?"Kang Dirman mengangguk mantap. "Saya pria lajang, belum beristri.""Tapi ... kamu terlihat berumur. Apa kamu duda?"Annisa tidak tahan. Per
***Bapak menatapku lama setelah kepergian Mas Dirman. Mata tuanya terlihat basah setelah menyaksikan seorang pria yang tiba-tiba mengakui perasaannya terhadapku di depannya. "Kamu mencintainya, Nduk? Mencintai pria bernama Dirman itu?"Aku bergeming. Apakah Bapak akan percaya jika aku telah jatuh hati pada Mas Dirman? Apa Bapak akan mempercayai semua yang aku katakan bahwa sikap Mas Dirman mampu membuatku luluh hanya dalam hitungan hari?"Bapak tidak suka dengan Mas Dirman?" Aku balik bertanya. Ragu. Apakah aku harus jujur di depan Bapak sementara pria tua di depanku itu terlihat bimbang. Tapi aku salah. Bapak perlahan menggeleng dan menyahut, "Bapak suka. Sikapnya sangat jauh berbeda dengan para pria yang pernah mendekatimu. Hanya saja ... apa kamu yakin keluarganya akan menerimamu?"Aku meneguk ludah dengan susah payah. Perasaan hangat yang sempat kurasakan karena pengakuan Mas Dirman beberapa menit yang lalu kini melebur menjadi rasa takut yang luar biasa. Bapak benar, apakah ke
***"Ya kan, Nak Dirman ... Fatima, cantik kan?"Kang Dirman mengulas senyum tipis. Ragu, namun akhirnya ia mengangguk samar hanya untuk menghormati pertanyaan Bu Sarah yang sebenarnya tidak ada kaitannya dengan dirinya. "Perasaan seorang Ibu tidak pernah salah," seloroh Bu Sarah senang. "Kamu memang sangat cantik, Fatima. Wajahnya yang bundar itu cocok sekali memakai jilbab."Fatima tersipu. Di depan banyak orang Bu Sarah menyanjungnya untuk yang kesekian kalinya. "Sama seperti Delia, kamu juga akan menjadi perempuan yang beruntung jika mau menikah dengan Nak Dirman. Pria dari Kampung itu tidak melulu norak, Fat, buktinya Haikal ....""A-- apa maksud Ibu?" tanya Fatima kikuk. Sekilas ia melirik Kang Dirman yang tengah menunduk menyembunyikan rahangnya yang mengeras. "Menikah dengan siapa?"Bu Sarah tertawa sumbang. Wanita paruh baya itu menepuk-nepuk pundak Kang Dirman seraya berkata, "Ibu sudah membicarakan ini dengan Haikal dan Delia, Le. Kamu ... mau menikah dengan Fatima, Nak D
***"Masya Allah, Menantu Emak!"Emak yang baru pulang dari Pengajian seketika berlari saat melihat mobil Haikal terparkir di halaman. "Delia ... Haikal ...."Haikal dan Kang Dirman sama-sama berdiri. Terkejut mendengar teriakan Emak dari depan rumah. "Ya Allah," ucap Emak sambil mengatur napasnya yang memburu. "Kenapa lari-lari, Mak? Ada apa?" Haikal merengkuh bahu Emak. Panik, juga khawatir melihat Emak datang dengan napas ngos-ngosan. "Dikejar siapa?"Emak menggeleng. Wanita tua itu tersenyum malu sambil berkata, "Emak cuma ... kangen sama Delia. Mana dia?"Tangan Haikal ditepis kasar oleh Emak. Tanpa perduli perubahan muka putranya, Emak melenggang begitu saja meninggalkan Kang Dirman dan Haikal di ruang tamu. "Nduk, kamu dimana?" Emak memanggil menantunya yang sedang berada di dapur. Haikal bergeming. Bibirnya sedikit terbuka melihat sikap Emak yang semakin hari semakin lupa bahwa anak kandungnya adalah Haikal, bukan Delia. "Anak pungut," cibir Kang Dirman lirih. Hingga sep
***"Minta maaflah pada Annisa, Hana."Suara ini. Hampir dua tahun aku mencoba mengenyahkan semua tentangnya. Menghapus lembar demi lembar kenangan yang terkumpul menjadi buku bersejarah dalam hidupku.Suara ini. Aku mulai membenci suara ini sejak pemiliknya memporak-porandakan perasaanku. "Ayolah, Mas ... aku hanya salah mengira."Aku terkekeh sembari menghentikan langkah. Perempuan berambut pirang itu terlihat membuang muka. Mungkin tidak terima Mas Farhan memintanya meminta maaf padaku. Beberapa tetangga mencoba mendekat, namun aku buru-buru memungut botol kosong yang isinya sudah aku tumpahkan di halaman rumah. Botol beling yang menguarkan aroma bensin seketika membuat dadaku berdenyut nyeri. Bagaimana jika isi di dalamnya tadi berhasil membabat habis satu-satunya harta yang aku dan Bapak punya?Ah, aku hampir meneteskan air mata di depan Hana. Perempuan yang mati-matian ingin melihatku hancur. "Minta maaflah, Hana," ucap Mas Farhan lagi. "Sikapmu kali ini sudah melampaui ba
***"Assalamualaikum ...."Delia yang sedang menyapu halaman rumah dibuat terkejut dengan kedatangan ...."Boleh aku masuk, Delia?"Istri Haikal itu bergeming. Alih-alih mengangguk, Delia justru menggeleng tegas. "Mau apa?" tanya Delia tanpa basa-basi. Ustad Jefri dan Umi Laila saling pandang. Sejak kejadian Ranti yang hendak bunuh diri di rumah Haikal, sejak saat itu pula para warga kehilangan rasa hormatnya pada salah satu Ustad kondang di Kampung mereka. Bahkan tidak segan-segan ada yang terang-terangan menyindir kelakuan Ranti yang dianggap sangat memalukan. "Kami hanya ingin berbicara sebentar, Delia," ucap Umi Laila memelas. "Jangan berpikir buruk dulu, Ranti kesini ....""Aku ingin meminta maaf."Delia menarik ujung bibirnya sinis. "Secepat itu kamu insyaf, Mbak?"Wajah Ranti memerah, namun kemudian terlihat kembali tenang sambil tersenyum. "Aku menyadari jika sikapku sangat keterlaluan. Aku sudah membuat malu Abah dan Umi. Maafkan aku karena sempat mengusik rumah tanggamu de
***"Buru-buru sekali, Mbak Delia, biasanya juga ngobrol dulu," ujar Mbok Nah pada Delia. "Iya nih, Mbok. Mau antar Emak Asih belanja ke pasar buat hantaran lamaran.""Loh, Dirman mau lamaran?"Delia mengangguk. "Nggih, Mbok.""Alhamdulillah ....""Masya Allah, dapat orang mana?""Laku juga akhirnya tuh bujang lapuk," kelakar Ibu-ibu yang lain. Delia hanya tersenyum menanggapi respon para tetangganya. Tadi malam Kang Dirman menemuinya dan meminta ijin pada Haikal agar Delia diperbolehkan menemani Emak Asih berbelanja untuk acara besok. "Calon Dirman orang mana, Mbak Delia?""Surabaya, Mbok," jawab Delia. "Wah, mantap itu. Haikal dapat orang kota, sekarang Dirman juga dapat orang sana. Setia kawan sekali mereka."Delia lagi-lagi tersenyum. Setelah membayar semua belanjanya, Delia pamit pulang lebih dulu karena harus menyiapkan sarapan untuk suami dan mertuanya.Setelah Delia pergi, seorang perempuan muda buru-buru membayar total belanjanya dan berlari menuju sebuah rumah besar berp
***"Gak ada balasan, Mbak."Annisa mondar-mandir di ruang tamu dengan perasaan cemas karena Kang Dirman dan keluarga belum juga datang. "Mungkin masih di jalan, Mbak Nis. Sabar dulu," sahut Mbak Aminah mencoba menenangkan. "Jangan panik, pihak laki-laki sudah bilang kan kalau hari ini mau datang?"Annisa mengangguk ragu. Kemarin ia belum sempat berkirim kabar karena sibuk menyiapkan berbagai olahan kue basah dan kering untuk acara hari ini. Meskipun ada campur tangan tetangga, namun tetap saja Annisa ikut andil dan turun tangan.Pak Hamid menatap putrinya dengan pandangan sendu. Sesekali matanya melirik ke arah jam dinding yang sudah bertengger di angka 11.00 WIB. "Jarak dari Madiun ke Surabaya juga lumayan jauh, Annisa, jangan panik," sahut Mak Risna, Ibunda Mbak Aminah. "Tapi teleponnya tidak dijawab sama sekali, Mak. Aku takut ....""Jangan berpikiran buruk, Nduk. Sini, duduklah di samping Bapak!"Pak Hamid menepuk satu kursi kosong di sebelahnya. Bibir pria tua itu terlihat me