***"Bahkan anakmu turut berjuang di dalam sana, Haikal. Aku ... bagaimana bisa aku meninggalkan kalian, meninggalkan kamu berlarut-larut dalam kesedihan seorang diri sini?" Suara Kang Dirman yang serak membuat Haikal sedikit merasa bersalah. Tadi malam ia kalap, Haikal hampir melayangkan tinju ke rahang sahabatnya ketika Dokter mengatakan jika kondisi Delia dan Bulek Jamila tidak baik-baik saja. "Aku memang bodoh! Maafkan aku sudah lalai menjaga ....""Kang," panggil Haikal menyela. "Aku minta maaf."Kang Dirman menggeleng. Pria berusia matang itu menunduk menyembunyikan wajahnya yang tak kalah berantakan dari wajah Haikal. "Bahkan jika aku harus mengucapkan kata maaf setiap hari, aku rasa itu belum cukup, Haikal. Allah masih berbaik hati menyelamatkan istri dan calon bayimu, bagaimana jika ...."Kang Dirman membuang muka, tak kuasa mengatakan sesuatu yang jauh lebih buruk daripada saat ini. Delia memang masih lemah akibat pendarahan yang terjadi karena benturan yang cukup keras s
***"Baru jam 12.00 siang, setidaknya sekitar jam 16.00 sore kita harus sudah sampai di Surabaya." Pak Gani berbicara dengan Kang Dirman. "Sebaiknya kita bergegas, Dirman, ayo!"Kang Dirman mengangguk patuh. Sebelum ia berlalu, pria bertubuh tinggi itu mendekati Haikal dan merengkuh bahu teman baiknya itu cukup lama. "Aku berjanji akan menebus semua ini, Haikal. Penabrak Delia dan Bulek Jamila pasti tertangkap."Haikal mengangguk dan buru-buru melepaskan tangan Kang Dirman dari bahunya. "Aku khawatir kamu sebentar lagi akan memelukku, Kang."Kang Dirman terkekeh. "Sebentar saja, Haikal. Aku ingin memeluk ....""Nggilani!" hardik Haikal seraya bersembunyi di balik tubuh Emak. "Pergi, Kang! Jangan aneh-aneh, kalau tidak ... aku hajar kamu!" ancam Haikal bercanda. Emak mengangguk di depan Kang Dirman seolah memberi isyarat, ‘Berangkatlah sekarang.’"Terima kasih, Teman. Terima kasih banyak ...."Haikal melayangkan dua jempolnya ke arah Kang Dirman. Setelah Pak Gani dan Kang Dirman perg
***"Itu dari calon suamimu, Mbak Annisa?"Annisa menggenggam ponselnya dengan perasaan lega. Setetes air mata buru-buru ia usap menggunakan ujung jilbab. "Iya, Mbak. Ada sedikit masalah di sana, jadi ...."Pak Hamid menepuk bahu putrinya sambil mengangguk samar, "Tidak apa-apa, Nduk. Ayo, bersiap! Mata kamu bengkak, wudhu dulu sana!"Annisa tiba-tiba memeluk Pak Hamid erat. Bibirnya ia gigit kuat-kuat agar tidak ada lagi suara isak tangis. Pada akhirnya, Kang Dirman akan datang setelah bergelut dengan rasa bersalah dan ketakutan yang luar biasa. "Apa keputusanku sudah benar, Pak?" tanya Annisa berbisik. "Aku yakin sekali jika Mas Dirman berkata jujur, Pak. Disana sedang ada masalah, dan ... itu bukan sesuatu yang remeh.""Bapak percaya pada pilihan kamu, Annisa. Bergegaslah, lalu undang ulang beberapa tetangga agar turut menyaksikan acara kamu, Nduk."Annisa mengangguk patuh. "Terima kasih, Pak.""Bapak yang seharusnya berterima kasih padamu, Nduk."Annisa mengecup pipi Pak Hamid s
***"Cukup!" Pak Hamid meninggikan suara tanpa peduli siapa pria yang sedang berhadapan dengannya sore ini. "Suamimu yang berpaling, tapi kenapa justru Annisa yang kau salahkan, hah?"Wajah Hana memerah. Sesekali perempuan itu melirik ke arah Pak Abdi berharap orang tuanya itu membuka suara dan membela dirinya di depan banyak orang. "Annisa bahkan sudah menolak lamaran suamimu, tapi kenapa kamu masih saja belum puas mencaci maki putriku, Hana?" tanya Pak Hamid dengan suara bergetar. "Dulu Annisa merelakan Farhan untuk menikahimu tanpa peduli seberapa sakit yang dia rasakan. Annisa kalah, tapi juga tidak marah. Dia berdoa agar hubungan rumah tanggamu dan Farhan dilimpahi kebahagiaan. Dan sekarang ... saat suamimu mulai goyah, kenapa justru Annisa yang kau serang?""Semua yang terjadi adalah salah Farhan, dia yang tidak bisa menjaga hati untuk istrinya. Salahkan dia, caci maki saja dia, tapi jangan putriku," imbuh Pak Hamid lirih. "Kami memang orang miskin, tapi kami cukup tau adab dan
***Kang Dirman tertawa sambil menepuk-nepuk pundak Farhan. Melihat respon yang Kang Dirman berikan, dada Farhan bergemuruh, napasnya memburu serta sorot matanya menatap calon suami Annisa itu dengan nyalang. "Kau boleh tidak percaya, tapi yang jelas aku dan Annisa sudah pernah berbagi peluh," ucap Farhan lagi. Kini wajahnya berubah semakin tegang. "Kau ... hanya akan mendapatkan sisa. Sisa dariku," imbuh Farhan. Beberapa detik kemudian senyum sinis tersinggung di bibir Farhan."Le, cepat masuk!" pinta Pak Hamid dari ambang pintu.Kang Dirman mengangguk patuh. "Nggih, Pak," sahut Kang Dirman. "Kau pikir aku percaya dengan semua perkataanmu?" seloroh Kang Dirman begitu tenang. "Aku dan Annisa memang baru saling mengenal, tapi asal kamu tahu ... Annisaku, bukanlah perempuan murahan seperti yang kau katakan.""Perawan atau tidaknya Annisa, itu akan menjadi urusanku kelak," ucap Kang Dirman lagi. "Jadi pergilah dari sini, percuma kau berusaha merecoki acara kami karena sampai kapanpun a
***"I-- ini ada apa, Pak Polisi? Kenapa ... kenapa suami saya ditangkap?"Seorang perempuan yang sedang berbadan dua menangis di depan rumah karena suaminya diringkus oleh dua orang polisi."Suami anda telah melakukan aksi tabrak lari, ada dugaan kuat jika semua itu dilakukan karena perintah dari seseorang."Perempuan muda bertubuh mungil itu hampir saja tersungkur di atas lantai teras. Kakinya tiba-tiba lemas sementara bibirnya tidak mampu bertanya apakah kabar yang ia dengar itu benar adanya atau hanya kesalahpahaman semata. "Ta-- tabrak lari?" Ulangnya terbata. "Tapi ... tapi suami saya seharian ada di rumah, Pak. Dia ... dia bahkan tidak berangkat kerja hari ini karena demam. Anda pasti salah paham, Pak Polisi, tidak mungkin suamiku ....""Mohon kerjasamanya, Bu, kalaupun nanti suami Ibu terbukti tidak bersalah, sudah pasti akan kami lepaskan. Untuk saat ini, pelaku akan dimintai keterangan di kantor polisi."Perempuan itu menggeleng lemah. "Mas, ucapkan sesuatu. Katakan kalau a
***"Kau juga disini, Meng?" Udin berbicara pada pria berwajah sangar di depannya. Komeng. Salah satu rekan yang menerima tawaran Ranti untuk mencelakai Delia. "Mudah sekali Polisi menemukan kita, ya kan, Meng?"Wajah Komeng berubah garang. Matanya mendelik seakan berbicara, "Diam kau, Bodoh!"Udin terkekeh melihat perubahan wajah Komeng. "Sekalipun aku harus masuk penjara, setidaknya istri dan calon bayiku sudah memiliki uang untuk biaya persalinan. Beruntung aku mengurangi laju kendaraan ketika menabrak perempuan hamil itu, Meng, kalau tidak ... aku mungkin akan terus dihantui rasa bersalah."Rahang Komeng mengeras. Hingga beberapa detik setelah pria berwajah mengerikan itu memilih bungkam, kini perlahan bibirnya terbuka dan berdesis, "Jangan bicara omong kosong di depan Polisi, Bodoh! Terserah jika kau ingin mendekam di penjara tapi jangan buka suara tentang persekongkolan kita dengan Bos. Awas saja kau, Din! Jangan macam-macam denganku!"Udin tersenyum sendu. Teringat beberapa min
***"Ranti?" Ulang Haikal memastikan. "Ranti putri Ustad Jefri dari Kampung Bulu?"Udin mengangguk ragu sementara Komeng tiba-tiba saja melayangkan pukulan keras di rahang rekan kerjanya itu. "Omong kosong!" hardik Komeng kesal. "Mas Udin!" pekik Imas. Perempuan yang sedang hamil besar itu berlari mendekati suaminya.Melihat sikap Komeng yang mulai tidak terkendali, dua orang polisi seketika meringkus kedua tangan pria berwajah sangat itu menggunakan borgol. "Bodoh! Kau bodoh, Udin! Omong kosong apa yang sedang kau katakan, hah?" teriak Komeng hingga urat-urat di lehernya mencuat membiru. "Aku tidak menabrak seseorang. Kau membual. Bohong!" "TENANG!" bentak Polisi muda di belakang Komeng. "Bagaimana aku bisa tenang, Pak, dia bohong! Aku tidak tau menahu tentang siapa itu Ranti, aku tidak tahu! Aku tidak menabrak siapapun!"Udin mengusap sudut bibirnya yang berdarah. Tidak ada kemarahan di wajahnya sekalipun pukulan Komen mengakibatkan rasa perih di ujung mulutnya. Imas menangis