***"Cukup!" Pak Hamid meninggikan suara tanpa peduli siapa pria yang sedang berhadapan dengannya sore ini. "Suamimu yang berpaling, tapi kenapa justru Annisa yang kau salahkan, hah?"Wajah Hana memerah. Sesekali perempuan itu melirik ke arah Pak Abdi berharap orang tuanya itu membuka suara dan membela dirinya di depan banyak orang. "Annisa bahkan sudah menolak lamaran suamimu, tapi kenapa kamu masih saja belum puas mencaci maki putriku, Hana?" tanya Pak Hamid dengan suara bergetar. "Dulu Annisa merelakan Farhan untuk menikahimu tanpa peduli seberapa sakit yang dia rasakan. Annisa kalah, tapi juga tidak marah. Dia berdoa agar hubungan rumah tanggamu dan Farhan dilimpahi kebahagiaan. Dan sekarang ... saat suamimu mulai goyah, kenapa justru Annisa yang kau serang?""Semua yang terjadi adalah salah Farhan, dia yang tidak bisa menjaga hati untuk istrinya. Salahkan dia, caci maki saja dia, tapi jangan putriku," imbuh Pak Hamid lirih. "Kami memang orang miskin, tapi kami cukup tau adab dan
***Kang Dirman tertawa sambil menepuk-nepuk pundak Farhan. Melihat respon yang Kang Dirman berikan, dada Farhan bergemuruh, napasnya memburu serta sorot matanya menatap calon suami Annisa itu dengan nyalang. "Kau boleh tidak percaya, tapi yang jelas aku dan Annisa sudah pernah berbagi peluh," ucap Farhan lagi. Kini wajahnya berubah semakin tegang. "Kau ... hanya akan mendapatkan sisa. Sisa dariku," imbuh Farhan. Beberapa detik kemudian senyum sinis tersinggung di bibir Farhan."Le, cepat masuk!" pinta Pak Hamid dari ambang pintu.Kang Dirman mengangguk patuh. "Nggih, Pak," sahut Kang Dirman. "Kau pikir aku percaya dengan semua perkataanmu?" seloroh Kang Dirman begitu tenang. "Aku dan Annisa memang baru saling mengenal, tapi asal kamu tahu ... Annisaku, bukanlah perempuan murahan seperti yang kau katakan.""Perawan atau tidaknya Annisa, itu akan menjadi urusanku kelak," ucap Kang Dirman lagi. "Jadi pergilah dari sini, percuma kau berusaha merecoki acara kami karena sampai kapanpun a
***"I-- ini ada apa, Pak Polisi? Kenapa ... kenapa suami saya ditangkap?"Seorang perempuan yang sedang berbadan dua menangis di depan rumah karena suaminya diringkus oleh dua orang polisi."Suami anda telah melakukan aksi tabrak lari, ada dugaan kuat jika semua itu dilakukan karena perintah dari seseorang."Perempuan muda bertubuh mungil itu hampir saja tersungkur di atas lantai teras. Kakinya tiba-tiba lemas sementara bibirnya tidak mampu bertanya apakah kabar yang ia dengar itu benar adanya atau hanya kesalahpahaman semata. "Ta-- tabrak lari?" Ulangnya terbata. "Tapi ... tapi suami saya seharian ada di rumah, Pak. Dia ... dia bahkan tidak berangkat kerja hari ini karena demam. Anda pasti salah paham, Pak Polisi, tidak mungkin suamiku ....""Mohon kerjasamanya, Bu, kalaupun nanti suami Ibu terbukti tidak bersalah, sudah pasti akan kami lepaskan. Untuk saat ini, pelaku akan dimintai keterangan di kantor polisi."Perempuan itu menggeleng lemah. "Mas, ucapkan sesuatu. Katakan kalau a
***"Kau juga disini, Meng?" Udin berbicara pada pria berwajah sangar di depannya. Komeng. Salah satu rekan yang menerima tawaran Ranti untuk mencelakai Delia. "Mudah sekali Polisi menemukan kita, ya kan, Meng?"Wajah Komeng berubah garang. Matanya mendelik seakan berbicara, "Diam kau, Bodoh!"Udin terkekeh melihat perubahan wajah Komeng. "Sekalipun aku harus masuk penjara, setidaknya istri dan calon bayiku sudah memiliki uang untuk biaya persalinan. Beruntung aku mengurangi laju kendaraan ketika menabrak perempuan hamil itu, Meng, kalau tidak ... aku mungkin akan terus dihantui rasa bersalah."Rahang Komeng mengeras. Hingga beberapa detik setelah pria berwajah mengerikan itu memilih bungkam, kini perlahan bibirnya terbuka dan berdesis, "Jangan bicara omong kosong di depan Polisi, Bodoh! Terserah jika kau ingin mendekam di penjara tapi jangan buka suara tentang persekongkolan kita dengan Bos. Awas saja kau, Din! Jangan macam-macam denganku!"Udin tersenyum sendu. Teringat beberapa min
***"Ranti?" Ulang Haikal memastikan. "Ranti putri Ustad Jefri dari Kampung Bulu?"Udin mengangguk ragu sementara Komeng tiba-tiba saja melayangkan pukulan keras di rahang rekan kerjanya itu. "Omong kosong!" hardik Komeng kesal. "Mas Udin!" pekik Imas. Perempuan yang sedang hamil besar itu berlari mendekati suaminya.Melihat sikap Komeng yang mulai tidak terkendali, dua orang polisi seketika meringkus kedua tangan pria berwajah sangat itu menggunakan borgol. "Bodoh! Kau bodoh, Udin! Omong kosong apa yang sedang kau katakan, hah?" teriak Komeng hingga urat-urat di lehernya mencuat membiru. "Aku tidak menabrak seseorang. Kau membual. Bohong!" "TENANG!" bentak Polisi muda di belakang Komeng. "Bagaimana aku bisa tenang, Pak, dia bohong! Aku tidak tau menahu tentang siapa itu Ranti, aku tidak tahu! Aku tidak menabrak siapapun!"Udin mengusap sudut bibirnya yang berdarah. Tidak ada kemarahan di wajahnya sekalipun pukulan Komen mengakibatkan rasa perih di ujung mulutnya. Imas menangis
***"Kami pamit dulu, Pak Penghulu, terima kasih sudah menjembatani perasaan antara saya dan Annisa. Doakan agar pernikahan kami berdua sakinah, dipenuhi keberkahan dan hanya maut yang bisa memisahkan," ucap Kang Dirman pada pria paruh baya di depannya.Pak Penghulu manggut-manggut seraya menyahut, "Amin, semoga doa-doa baik kita semua diijabah Allah. Jaga Annisa, Le.""Selalu, Pak. Saya akan selalu menjaganya," jawab Kang Dirman mantap. Kang Dirman mencium punggung tangan Pak Penghulu, disusul dengan Pak Gani yang berjabat tangan lalu pelukan singkat antara Pak Hamid dan pria yang sudah menikahkan putrinya dengan Kang Dirman. "Jaga kesehatanmu, Kang Hamid, jangan banyak pikiran, sekarang putrimu sudah memiliki suami," kata Pak Penghulu pada Pak Hamid. "Insya Allah pernikahan Annisa dipenuhi kebahagiaan.""Amin. Terima kasih banyak, Kang. Maaf kalau sore-sore kami mengganggu waktu istirahatmu."Pak Penghulu menepuk-nepuk bahu Pak Hamid lembut. Keduanya sama-sama memanggil dengan seb
***"Kampung kamu masih sangat asri ya, Mas, " celetuk Annisa ketika Kang Firman membawanya jalan-jalan pagi. "Banyak sekali sawah-sawah. Kamu bekerja di sawah yang mana, Mas?"Kang Dirman menggandeng tangan Annisa sambil terus menyusuri jalanan setapak yang menghubungkan antara satu sawah dengan sawah yang lain. "Sawah Pak Gani itu banyak, Sayang," tutur Kang Dirman lembut. "Bukan hanya satu, tapi puluhan. Belum lagi kebun dan ladangnya," imbuh Kang Dirman. "Masya Allah, berarti Pak Gani adalah juragan?"Kang Dirman mengangguk menanggapi pertanyaan Annisa. Kebetulan pagi ini tidak ada pekerja yang turun ke sawah sehingga sepanjang bentangan sawah terkesan sepi, namun burung-burung yang saling berkejaran membuat suasana pagi yang dingin semakin terasa syahdu. Annisa menghirup udara kuat-kuat kemudian menghembuskannya perlahan. Udara di Kampung terasa segar, sangat berbeda dengan udara di Kota Surabaya yang terkesan panas dan pengap. Kedua mata Annisa terpejam ketika Kang Dirman me
***"Bagaimana kabar Mbak Fatima, Pak?" Pak Handoko yang sedang mengupas buah seketika menghentikan gerakan tangannya. Matanya perlahan menatap Delia yang masih terbaring di atas ranjang ruang inap karena Dokter menyarankan untuk istirahat total selama beberapa ke depan."Kenapa gak diajak juga kesini, kasihan dia sendirian di rumah," ujar Delia lagi. "Ada Masmu,” jawab Pak Handoko jujur. "Lagipula perutnya sudah semakin besar, kasihan kalau ikut perjalanan jauh, Nduk."Delia manggut-manggut paham. Kondisi setiap kehamilan memang berbeda. Sama seperti kandungannya saat ini yang beruntung bisa bertahan meskipun sempat jatuh karena tertabrak motor. "Mbakmu mudah lelah, Del, beruntung kamu punya suami sehingga tidak perlu memusingkan biaya kontrol ke Dokter Kandungan, kalau Fatima, boro-boro buat kontrol, buat makan sehari-hari saja mengandalkan Ibu dan Bapak," sahut Bu Sarah pedas. "Kalau tidak ada Haikal, entah jadi apa keluarga kita. Jaka pun sebulan hanya ngasih Ibu sejuta, mana c
ENDING***"Itu bukannya mantan pacar kamu, Sayang?"Hafsah mengikuti arah telunjuk Biru. Benar saja, di meja makan yang terletak di sudut, Azka duduk berhadapan dengan Safina. "Iya. Lagi kencan kali, Mas, sama seperti kita," sahut Hafsah tak acuh."Mau gabung?" tawar Biru dan dibalas gelengan kepala oleh Hafsah. "Tidak perlu memaksakan diri, Mas Biru.""Ya gapapa, Sayang, kita harus menjalin hubungan yang baik dengan mantan. Yuk!"Biru menggandeng tangan Hafsah dan berjalan mendekati meja yang hanya diisi oleh Azka dan Safina. "Hai ...."Azka dan Safina cukup terkejut melihat Hafsah datang bersama seorang lelaki. "Mbak Hafsah," ucap Safina sumringah. "Kapan datang ke Surabaya, kok gak kabar-kabar sih?"Respon Safina yang welcome membuat rasa takut yang sempat Hafsah rasakan memudar perlahan."Tadi niatnya gak mau ganggu acara kencan kamu sama Mas Azka, eh Mas Biru malah ngajakin gabung," ujar Hafsah jujur. "Eh, btw ini Mas Biru. Suamiku."Safina dan Azka saling pandang, "Kok Mbak
***Dua bulan berlalu setelah pesta pernikahan yang digelar secara mewah, hari ini Biru dan Hafsah sedang menikmati liburan di Kota Surabaya. Bukan luar negeri yang Hafsah mau, melainkan kota dimana banyak tercipta kenangan indah bersama Ranti dan kedua orang tuanya. Sengaja Biru menyetir mobil sendiri karena tidak mau liburannya yang ditunggu sejak dua bulan yang lalu diganggu oleh orang lain. Perjalanan yang melelahkan terasa menyenangkan karena sepanjang jalan keduanya tidak henti-hentinya melempar candaan. Hafsah membuka snack yang ada di kursi belakang. Sambil terus bercerita tentang masa kecilnya, sesekali tangan Hafsah menyuapi Biru dengan makanan ringan yang ada di tangan. "Mau cari makan dulu gak, Sayang?" Biru bertanya tanpa menoleh. "Nanti sampai hotel biar bisa langsung tidur. Capek sekali, Yang," keluh Biru. "Boleh," jawab Hafsah antusias. "Ini bentar lagi juga nyampe Hotel, Mas. Cari makan yang dekat-dekat sini saja ya."Biru mengangguk patuh. Matanya menatap satu pe
***"Jadi dia berhasil menggoda kamu, Mas?"Nisya berada jajaran para staf yang hendak memberi selamat. Di belakangnya, Anina justru tersenyum sinis seraya menatap Hafsah yang hari ini terlihat sangat menawan. Gaunnya mewah, perhiasan yang ia kenakan pun tidak berlebihan namun memberi kesan mahal. "Kamu keluar sendiri, atau aku meminta security menyeret tubuhmu keluar dari gedung ini?"Nisya tertawa sumbang. Di atas pelaminan, beberapa staf berdiri agak jauh sementara tepat di depan Biru dan Hafsah, Nisya bersungut-sungut marah karena tidak terima dengan pernikahan diantara keduanya. "Kamu bilang sulit mencari penggantiku, Mas," tutur Nisya sembari tersenyum sinis. "Tapi ternyata tidak lama setelah kamu memutuskan hubungan kita, pernikahan ini malah digelar."Rahang Biru mengeras. "Aku tidak akan melepaskan kamu jika acara pernikahan ini sampai ricuh, Nisya!"Nisya bertepuk tangan, "Wow. Secinta itukah kamu pada wanita ini? Apa yang sudah dia berikan sebelum kalian menikah? Keperawa
***"Apa?" tanya Biru tanpa berniat menjauhkan bibirnya dari bibir Hafsah. "Mas, ih!" Hafsah mendorong tubuh Biru dengan kesal. "Aku mau mandi, gerah!""Sayang!" Panggil Biru membuat langkah kaki Hafsah terhenti. "Apa?" tanya Hafsah ketus. "Bareng," ucap Biru merengek manja. Hafsah mencebik sebelum akhirnya berlari memasuki kamar mandi sampai-sampai lupa membawa baju ganti. Biru yang menyadari itu seketika tersenyum licik. Bisa dipastikan setelah ini Hafsah keluar hanya mengenakan bathrobe dan membayangkan hal itu saja sudah membuat kepalanya pusing. "Mas!" teriak Hafsah dari dalam kamar mandi. Biru berdiri di depan pintu, kemudian menyahut, "Kenapa, Sayang?""Mas, aku lupa bawa baju ganti ....""Aku tidur dulu ya, lelah sekali," sela Biru berdusta. "Ah, begitu ya. Ya sudah, nanti aku ambil sendiri, Mas tidur saja yang lelap."Biru tidak menjawab, pria itu justru menyandarkan tubuhnya di atas ranjang sambil memeriksa laporan kerja dari laptop yang sengaja ia bawa. Pintu kamar m
***Biru menuntun bahu Hafsah dan membawanya lebih dekat pada gundukan tanah yang masih basah. "Hapus air matamu jika tidak ingin Bunda sedih di dalam sana, Haf."Wajah Biru menegang, namun ketika Hafsah menggamit jemarinya, CEO muda itu perlahan menghela napas panjang. "Dia Mas Azka, Mas," ucap Hafsah memperkenalkan. Biru hanya mengangguk seraya tersenyum, kemudian kembali menuntun Hafsah mendekati makam yang baru saja memiliki penghuni itu. Para pelayat beberapa di antaranya memilih pulang setelah jenazah Ranti dikebumikan, namun beberapa yang lain masih berada di sana, sedikit banyak membantu merapikan makam yang baru saja ditabur bunga beraroma wangi. "Aku pamit ya, Haf. Semoga Bunda khusnul khatimah.""Aamiin, terima kasih banyak, Mas," sahut Azka. Azka mengangguk ragu, kemudian berkata, "Mari, Mas!"Biru tidak menjawab namun kepalanya mengangguk di depan Azka. "Semoga semua amal ibadah Bunda diterima Allah," ucap Hafsah nyaris tidak bersuara. "Doakan yang baik-baik untuk a
***"Bunda ...." Hafsah berteriak histeris sementara Biru segera menekan tombol yang ada di samping ranjang Ranti. "Bangun, Bun!" Hafsah mengguncang tubuh Ranti berharap wanita yang sudah ia anggap sebagai Ibu kedua itu mau membuka mata. "Tidak, Bun. Ini gak lucu!" teriak Hafsah. Biru menarik tubuh Hafsah dan memberi kesempatan para tenaga medis untuk memeriksa keadaan wanita paruh baya di atas ranjang itu. "Buka mata Bunda. Bunda berjanji mau lihat aku menikah dengan Pak Biru. Bangun, Bunda Ranti. Bangun!" Hafsah berteriak tanpa perduli apakah akan ada yang terganggu dengan suaranya. "Haf, tenang ....""Tidak, Mas. Bunda udah gak napas, aku tidak merasakan hangat napasnya. Bunda ... Bunda bohong padaku! Bunda pembohong!" Suara Hafsah terdengar pilu. "Bunda masih hidup kan, Sus? Aku yang bodoh ini pasti salah mengira ....""Innalilahi wa inna ilaihi raji'un ...."Dua orang suster mengucap kalimat istirja membuat dunia Hafsah yang baru saja berwarna kembali kelabu. Tidak lama, seora
***pov RantiHatiku terenyuh melihat Hafsah datang bersama calon suaminya. Ya, meskipun Hafsah belum mengatakan tentang lamaran yang dia terima, tapi aku yakin Hafsah sudah memantapkan diri untuk memulai kehidupan yang baru dengan pria bernama Biru itu. Aku lega, setidaknya setelah luka yang aku tanam di hatinya, gadis cantik itu pada akhirnya bisa bangkit lagi. Tidak mudah memang melupakan Azka, pesona anak dan Bapak itu memang teramat kuat, bahkan sampai detik ini Hafsah tidak tau jika nama Mas Haikal masih menjadi penghuni di hatiku. Bohong jika aku tidak bahagia dengan kehadiran Hafsah. Gadis cantik yang dulu sering tidur dalam pangkuanku itu ternyata masih menghormati aku sebagai Ibu asuhnya. Meskipun tidak bisa dipungkiri jika aku adalah dalang dari pisahnya dia dengan kedua orang tuanya. Aku bersyukur karena Hafsah tidak lagi mempermasalahkan itu. Aku bahagia. Terharu dengan ketulusan Hafsah padaku.Tolong tunggu sebentar, Bah, aku sudah berjanji akan menemaninya sampai ia m
***Dokter memeriksa keadaan Ranti yang sudah mulai membaik. Tidak ada penyakit serius, hanya saja wanita yang hidup sebatang kara itu diharuskan istirahat total karena tubuhnya yang kehilangan banyak cairan. "Setelah infusnya habis, pasien sudah boleh pulang.""Terima kasih, Dokter."Hafsah menghela napas lega, setidaknya Ranti tidak harus menginap lebih lama di Rumah Sakit. Dokter yang baru saja memeriksa Ranti keluar dari ruangan. Biru meminta ruangan VIP untuk Bunda dari calon istrinya. Hanya sehari semalam, namun Hafsah tahu seberapa besar tarif biaya di Rumah Sakit Unair. Cukup mahal memang. Ranti mengusap pipi Hafsah seperti seorang Ibu yang sudah lama tidak bertemu dengan putrinya. Kini Ranti mengerti bagaimana perasaan Bu Rania ketika Hafsah ia culik, dulu. Tidak salah jika banyak orang mengatakan jika Bu Rania hampir gila, karena sehancur itu memang kehilangan orang yang dicintai. "Dia siapa?" tanya Ranti sambil menunjuk Biru yang masih terlelap di atas sofa. "Mas Biru,
***Biru segera berlari karena teriakan Hafsah dari dalam makam. Bukan hanya itu, pengemudi yang semula dijanjikan akan dibayar sesuai kemauannya pun ikut turun dan melihat seorang wanita paruh baya tergeletak di atas tanah."Mas, Bunda ...." Hafsah menangis histeris. Wajah Ranti sangat pucat, tubuhnya yang semula mengeluarkan keringat dingin kini berubah panas. Dia demam. "Biar aku gendong, tolong buka pintu mobilnya," pintu Biru yang dibalas anggukan kepala oleh Hafsah. Belum sempat Hafsah berlari, pengemudi Gr*b lebih dulu melaksanakan perintah Biru untuk membuka pintu mobil dan bersiap duduk di belakang kemudi. Biru setengah berlari sembari membopong tubuh Ranti yang tidak terasa berat sama sekali. Ranti kehilangan banyak berat badannya, apalagi sejak Hafsah memutuskan pindah ke Jakarta, tubuhnya kian mengurus. Hafsah menangis, namun kali ini tidak bersuara, dia khawatir semakin membuat Biru panik apalagi ketika melihat prianya itu sedikit ngos-ngosan untuk menuju mobil yang te