***Kang Dirman tertawa sambil menepuk-nepuk pundak Farhan. Melihat respon yang Kang Dirman berikan, dada Farhan bergemuruh, napasnya memburu serta sorot matanya menatap calon suami Annisa itu dengan nyalang. "Kau boleh tidak percaya, tapi yang jelas aku dan Annisa sudah pernah berbagi peluh," ucap Farhan lagi. Kini wajahnya berubah semakin tegang. "Kau ... hanya akan mendapatkan sisa. Sisa dariku," imbuh Farhan. Beberapa detik kemudian senyum sinis tersinggung di bibir Farhan."Le, cepat masuk!" pinta Pak Hamid dari ambang pintu.Kang Dirman mengangguk patuh. "Nggih, Pak," sahut Kang Dirman. "Kau pikir aku percaya dengan semua perkataanmu?" seloroh Kang Dirman begitu tenang. "Aku dan Annisa memang baru saling mengenal, tapi asal kamu tahu ... Annisaku, bukanlah perempuan murahan seperti yang kau katakan.""Perawan atau tidaknya Annisa, itu akan menjadi urusanku kelak," ucap Kang Dirman lagi. "Jadi pergilah dari sini, percuma kau berusaha merecoki acara kami karena sampai kapanpun a
***"I-- ini ada apa, Pak Polisi? Kenapa ... kenapa suami saya ditangkap?"Seorang perempuan yang sedang berbadan dua menangis di depan rumah karena suaminya diringkus oleh dua orang polisi."Suami anda telah melakukan aksi tabrak lari, ada dugaan kuat jika semua itu dilakukan karena perintah dari seseorang."Perempuan muda bertubuh mungil itu hampir saja tersungkur di atas lantai teras. Kakinya tiba-tiba lemas sementara bibirnya tidak mampu bertanya apakah kabar yang ia dengar itu benar adanya atau hanya kesalahpahaman semata. "Ta-- tabrak lari?" Ulangnya terbata. "Tapi ... tapi suami saya seharian ada di rumah, Pak. Dia ... dia bahkan tidak berangkat kerja hari ini karena demam. Anda pasti salah paham, Pak Polisi, tidak mungkin suamiku ....""Mohon kerjasamanya, Bu, kalaupun nanti suami Ibu terbukti tidak bersalah, sudah pasti akan kami lepaskan. Untuk saat ini, pelaku akan dimintai keterangan di kantor polisi."Perempuan itu menggeleng lemah. "Mas, ucapkan sesuatu. Katakan kalau a
***"Kau juga disini, Meng?" Udin berbicara pada pria berwajah sangar di depannya. Komeng. Salah satu rekan yang menerima tawaran Ranti untuk mencelakai Delia. "Mudah sekali Polisi menemukan kita, ya kan, Meng?"Wajah Komeng berubah garang. Matanya mendelik seakan berbicara, "Diam kau, Bodoh!"Udin terkekeh melihat perubahan wajah Komeng. "Sekalipun aku harus masuk penjara, setidaknya istri dan calon bayiku sudah memiliki uang untuk biaya persalinan. Beruntung aku mengurangi laju kendaraan ketika menabrak perempuan hamil itu, Meng, kalau tidak ... aku mungkin akan terus dihantui rasa bersalah."Rahang Komeng mengeras. Hingga beberapa detik setelah pria berwajah mengerikan itu memilih bungkam, kini perlahan bibirnya terbuka dan berdesis, "Jangan bicara omong kosong di depan Polisi, Bodoh! Terserah jika kau ingin mendekam di penjara tapi jangan buka suara tentang persekongkolan kita dengan Bos. Awas saja kau, Din! Jangan macam-macam denganku!"Udin tersenyum sendu. Teringat beberapa min
***"Ranti?" Ulang Haikal memastikan. "Ranti putri Ustad Jefri dari Kampung Bulu?"Udin mengangguk ragu sementara Komeng tiba-tiba saja melayangkan pukulan keras di rahang rekan kerjanya itu. "Omong kosong!" hardik Komeng kesal. "Mas Udin!" pekik Imas. Perempuan yang sedang hamil besar itu berlari mendekati suaminya.Melihat sikap Komeng yang mulai tidak terkendali, dua orang polisi seketika meringkus kedua tangan pria berwajah sangat itu menggunakan borgol. "Bodoh! Kau bodoh, Udin! Omong kosong apa yang sedang kau katakan, hah?" teriak Komeng hingga urat-urat di lehernya mencuat membiru. "Aku tidak menabrak seseorang. Kau membual. Bohong!" "TENANG!" bentak Polisi muda di belakang Komeng. "Bagaimana aku bisa tenang, Pak, dia bohong! Aku tidak tau menahu tentang siapa itu Ranti, aku tidak tahu! Aku tidak menabrak siapapun!"Udin mengusap sudut bibirnya yang berdarah. Tidak ada kemarahan di wajahnya sekalipun pukulan Komen mengakibatkan rasa perih di ujung mulutnya. Imas menangis
***"Kami pamit dulu, Pak Penghulu, terima kasih sudah menjembatani perasaan antara saya dan Annisa. Doakan agar pernikahan kami berdua sakinah, dipenuhi keberkahan dan hanya maut yang bisa memisahkan," ucap Kang Dirman pada pria paruh baya di depannya.Pak Penghulu manggut-manggut seraya menyahut, "Amin, semoga doa-doa baik kita semua diijabah Allah. Jaga Annisa, Le.""Selalu, Pak. Saya akan selalu menjaganya," jawab Kang Dirman mantap. Kang Dirman mencium punggung tangan Pak Penghulu, disusul dengan Pak Gani yang berjabat tangan lalu pelukan singkat antara Pak Hamid dan pria yang sudah menikahkan putrinya dengan Kang Dirman. "Jaga kesehatanmu, Kang Hamid, jangan banyak pikiran, sekarang putrimu sudah memiliki suami," kata Pak Penghulu pada Pak Hamid. "Insya Allah pernikahan Annisa dipenuhi kebahagiaan.""Amin. Terima kasih banyak, Kang. Maaf kalau sore-sore kami mengganggu waktu istirahatmu."Pak Penghulu menepuk-nepuk bahu Pak Hamid lembut. Keduanya sama-sama memanggil dengan seb
***"Kampung kamu masih sangat asri ya, Mas, " celetuk Annisa ketika Kang Firman membawanya jalan-jalan pagi. "Banyak sekali sawah-sawah. Kamu bekerja di sawah yang mana, Mas?"Kang Dirman menggandeng tangan Annisa sambil terus menyusuri jalanan setapak yang menghubungkan antara satu sawah dengan sawah yang lain. "Sawah Pak Gani itu banyak, Sayang," tutur Kang Dirman lembut. "Bukan hanya satu, tapi puluhan. Belum lagi kebun dan ladangnya," imbuh Kang Dirman. "Masya Allah, berarti Pak Gani adalah juragan?"Kang Dirman mengangguk menanggapi pertanyaan Annisa. Kebetulan pagi ini tidak ada pekerja yang turun ke sawah sehingga sepanjang bentangan sawah terkesan sepi, namun burung-burung yang saling berkejaran membuat suasana pagi yang dingin semakin terasa syahdu. Annisa menghirup udara kuat-kuat kemudian menghembuskannya perlahan. Udara di Kampung terasa segar, sangat berbeda dengan udara di Kota Surabaya yang terkesan panas dan pengap. Kedua mata Annisa terpejam ketika Kang Dirman me
***"Bagaimana kabar Mbak Fatima, Pak?" Pak Handoko yang sedang mengupas buah seketika menghentikan gerakan tangannya. Matanya perlahan menatap Delia yang masih terbaring di atas ranjang ruang inap karena Dokter menyarankan untuk istirahat total selama beberapa ke depan."Kenapa gak diajak juga kesini, kasihan dia sendirian di rumah," ujar Delia lagi. "Ada Masmu,” jawab Pak Handoko jujur. "Lagipula perutnya sudah semakin besar, kasihan kalau ikut perjalanan jauh, Nduk."Delia manggut-manggut paham. Kondisi setiap kehamilan memang berbeda. Sama seperti kandungannya saat ini yang beruntung bisa bertahan meskipun sempat jatuh karena tertabrak motor. "Mbakmu mudah lelah, Del, beruntung kamu punya suami sehingga tidak perlu memusingkan biaya kontrol ke Dokter Kandungan, kalau Fatima, boro-boro buat kontrol, buat makan sehari-hari saja mengandalkan Ibu dan Bapak," sahut Bu Sarah pedas. "Kalau tidak ada Haikal, entah jadi apa keluarga kita. Jaka pun sebulan hanya ngasih Ibu sejuta, mana c
***"Kenapa belum keluar, Nis?" Kang Dirman bertanya pada Annisa yang masih sibuk mondar-mandir di dalam kamar padahal jam di dinding sudah menunjukkan pukul 07.00 WIB. "Ayo, Emak pasti lagi nungguin kita, sarapan dulu, yuk!"Annisa menggigit bibir bawahnya seraya menggeleng. "Tadi Emak masak sendiri, Mas," ujar Annisa lirih. "Aku kesiangan, bahkan salat subuh saja mepet banget tadi, astaghfirullah ...."Kang Dirman terkekeh kemudian merengkuh bahu istrinya ke dalam dekapan. Pria berkaos navy itu mengusap-usap lengan istrinya seraya berkata, "Memang kenapa kalau Emak masak sendiri, hm? Emak pasti maklum sama kita ....""Itulah yang sedang aku pikirkan, Mas," sela Annisa. Bibirnya yang tipis mengerucut cemberut. "Kemarin malam, aku sok-sokan godain Emak, bilang bakal bikinin cucu secepatnya, eh ... sekarang kenapa aku ... aduh, aku malu. Emak pasti ketawa kalau ketemu aku nanti."Kang Dirman mengulum bibir agar tidak menertawakan kekalutan Annisa kali ini. Melihat suaminya sedang menah