***"Minta maaflah pada Annisa, Hana."Suara ini. Hampir dua tahun aku mencoba mengenyahkan semua tentangnya. Menghapus lembar demi lembar kenangan yang terkumpul menjadi buku bersejarah dalam hidupku.Suara ini. Aku mulai membenci suara ini sejak pemiliknya memporak-porandakan perasaanku. "Ayolah, Mas ... aku hanya salah mengira."Aku terkekeh sembari menghentikan langkah. Perempuan berambut pirang itu terlihat membuang muka. Mungkin tidak terima Mas Farhan memintanya meminta maaf padaku. Beberapa tetangga mencoba mendekat, namun aku buru-buru memungut botol kosong yang isinya sudah aku tumpahkan di halaman rumah. Botol beling yang menguarkan aroma bensin seketika membuat dadaku berdenyut nyeri. Bagaimana jika isi di dalamnya tadi berhasil membabat habis satu-satunya harta yang aku dan Bapak punya?Ah, aku hampir meneteskan air mata di depan Hana. Perempuan yang mati-matian ingin melihatku hancur. "Minta maaflah, Hana," ucap Mas Farhan lagi. "Sikapmu kali ini sudah melampaui ba
***"Assalamualaikum ...."Delia yang sedang menyapu halaman rumah dibuat terkejut dengan kedatangan ...."Boleh aku masuk, Delia?"Istri Haikal itu bergeming. Alih-alih mengangguk, Delia justru menggeleng tegas. "Mau apa?" tanya Delia tanpa basa-basi. Ustad Jefri dan Umi Laila saling pandang. Sejak kejadian Ranti yang hendak bunuh diri di rumah Haikal, sejak saat itu pula para warga kehilangan rasa hormatnya pada salah satu Ustad kondang di Kampung mereka. Bahkan tidak segan-segan ada yang terang-terangan menyindir kelakuan Ranti yang dianggap sangat memalukan. "Kami hanya ingin berbicara sebentar, Delia," ucap Umi Laila memelas. "Jangan berpikir buruk dulu, Ranti kesini ....""Aku ingin meminta maaf."Delia menarik ujung bibirnya sinis. "Secepat itu kamu insyaf, Mbak?"Wajah Ranti memerah, namun kemudian terlihat kembali tenang sambil tersenyum. "Aku menyadari jika sikapku sangat keterlaluan. Aku sudah membuat malu Abah dan Umi. Maafkan aku karena sempat mengusik rumah tanggamu de
***"Buru-buru sekali, Mbak Delia, biasanya juga ngobrol dulu," ujar Mbok Nah pada Delia. "Iya nih, Mbok. Mau antar Emak Asih belanja ke pasar buat hantaran lamaran.""Loh, Dirman mau lamaran?"Delia mengangguk. "Nggih, Mbok.""Alhamdulillah ....""Masya Allah, dapat orang mana?""Laku juga akhirnya tuh bujang lapuk," kelakar Ibu-ibu yang lain. Delia hanya tersenyum menanggapi respon para tetangganya. Tadi malam Kang Dirman menemuinya dan meminta ijin pada Haikal agar Delia diperbolehkan menemani Emak Asih berbelanja untuk acara besok. "Calon Dirman orang mana, Mbak Delia?""Surabaya, Mbok," jawab Delia. "Wah, mantap itu. Haikal dapat orang kota, sekarang Dirman juga dapat orang sana. Setia kawan sekali mereka."Delia lagi-lagi tersenyum. Setelah membayar semua belanjanya, Delia pamit pulang lebih dulu karena harus menyiapkan sarapan untuk suami dan mertuanya.Setelah Delia pergi, seorang perempuan muda buru-buru membayar total belanjanya dan berlari menuju sebuah rumah besar berp
***"Gak ada balasan, Mbak."Annisa mondar-mandir di ruang tamu dengan perasaan cemas karena Kang Dirman dan keluarga belum juga datang. "Mungkin masih di jalan, Mbak Nis. Sabar dulu," sahut Mbak Aminah mencoba menenangkan. "Jangan panik, pihak laki-laki sudah bilang kan kalau hari ini mau datang?"Annisa mengangguk ragu. Kemarin ia belum sempat berkirim kabar karena sibuk menyiapkan berbagai olahan kue basah dan kering untuk acara hari ini. Meskipun ada campur tangan tetangga, namun tetap saja Annisa ikut andil dan turun tangan.Pak Hamid menatap putrinya dengan pandangan sendu. Sesekali matanya melirik ke arah jam dinding yang sudah bertengger di angka 11.00 WIB. "Jarak dari Madiun ke Surabaya juga lumayan jauh, Annisa, jangan panik," sahut Mak Risna, Ibunda Mbak Aminah. "Tapi teleponnya tidak dijawab sama sekali, Mak. Aku takut ....""Jangan berpikiran buruk, Nduk. Sini, duduklah di samping Bapak!"Pak Hamid menepuk satu kursi kosong di sebelahnya. Bibir pria tua itu terlihat me
***"Bahkan anakmu turut berjuang di dalam sana, Haikal. Aku ... bagaimana bisa aku meninggalkan kalian, meninggalkan kamu berlarut-larut dalam kesedihan seorang diri sini?" Suara Kang Dirman yang serak membuat Haikal sedikit merasa bersalah. Tadi malam ia kalap, Haikal hampir melayangkan tinju ke rahang sahabatnya ketika Dokter mengatakan jika kondisi Delia dan Bulek Jamila tidak baik-baik saja. "Aku memang bodoh! Maafkan aku sudah lalai menjaga ....""Kang," panggil Haikal menyela. "Aku minta maaf."Kang Dirman menggeleng. Pria berusia matang itu menunduk menyembunyikan wajahnya yang tak kalah berantakan dari wajah Haikal. "Bahkan jika aku harus mengucapkan kata maaf setiap hari, aku rasa itu belum cukup, Haikal. Allah masih berbaik hati menyelamatkan istri dan calon bayimu, bagaimana jika ...."Kang Dirman membuang muka, tak kuasa mengatakan sesuatu yang jauh lebih buruk daripada saat ini. Delia memang masih lemah akibat pendarahan yang terjadi karena benturan yang cukup keras s
***"Baru jam 12.00 siang, setidaknya sekitar jam 16.00 sore kita harus sudah sampai di Surabaya." Pak Gani berbicara dengan Kang Dirman. "Sebaiknya kita bergegas, Dirman, ayo!"Kang Dirman mengangguk patuh. Sebelum ia berlalu, pria bertubuh tinggi itu mendekati Haikal dan merengkuh bahu teman baiknya itu cukup lama. "Aku berjanji akan menebus semua ini, Haikal. Penabrak Delia dan Bulek Jamila pasti tertangkap."Haikal mengangguk dan buru-buru melepaskan tangan Kang Dirman dari bahunya. "Aku khawatir kamu sebentar lagi akan memelukku, Kang."Kang Dirman terkekeh. "Sebentar saja, Haikal. Aku ingin memeluk ....""Nggilani!" hardik Haikal seraya bersembunyi di balik tubuh Emak. "Pergi, Kang! Jangan aneh-aneh, kalau tidak ... aku hajar kamu!" ancam Haikal bercanda. Emak mengangguk di depan Kang Dirman seolah memberi isyarat, ‘Berangkatlah sekarang.’"Terima kasih, Teman. Terima kasih banyak ...."Haikal melayangkan dua jempolnya ke arah Kang Dirman. Setelah Pak Gani dan Kang Dirman perg
***"Itu dari calon suamimu, Mbak Annisa?"Annisa menggenggam ponselnya dengan perasaan lega. Setetes air mata buru-buru ia usap menggunakan ujung jilbab. "Iya, Mbak. Ada sedikit masalah di sana, jadi ...."Pak Hamid menepuk bahu putrinya sambil mengangguk samar, "Tidak apa-apa, Nduk. Ayo, bersiap! Mata kamu bengkak, wudhu dulu sana!"Annisa tiba-tiba memeluk Pak Hamid erat. Bibirnya ia gigit kuat-kuat agar tidak ada lagi suara isak tangis. Pada akhirnya, Kang Dirman akan datang setelah bergelut dengan rasa bersalah dan ketakutan yang luar biasa. "Apa keputusanku sudah benar, Pak?" tanya Annisa berbisik. "Aku yakin sekali jika Mas Dirman berkata jujur, Pak. Disana sedang ada masalah, dan ... itu bukan sesuatu yang remeh.""Bapak percaya pada pilihan kamu, Annisa. Bergegaslah, lalu undang ulang beberapa tetangga agar turut menyaksikan acara kamu, Nduk."Annisa mengangguk patuh. "Terima kasih, Pak.""Bapak yang seharusnya berterima kasih padamu, Nduk."Annisa mengecup pipi Pak Hamid s
***"Cukup!" Pak Hamid meninggikan suara tanpa peduli siapa pria yang sedang berhadapan dengannya sore ini. "Suamimu yang berpaling, tapi kenapa justru Annisa yang kau salahkan, hah?"Wajah Hana memerah. Sesekali perempuan itu melirik ke arah Pak Abdi berharap orang tuanya itu membuka suara dan membela dirinya di depan banyak orang. "Annisa bahkan sudah menolak lamaran suamimu, tapi kenapa kamu masih saja belum puas mencaci maki putriku, Hana?" tanya Pak Hamid dengan suara bergetar. "Dulu Annisa merelakan Farhan untuk menikahimu tanpa peduli seberapa sakit yang dia rasakan. Annisa kalah, tapi juga tidak marah. Dia berdoa agar hubungan rumah tanggamu dan Farhan dilimpahi kebahagiaan. Dan sekarang ... saat suamimu mulai goyah, kenapa justru Annisa yang kau serang?""Semua yang terjadi adalah salah Farhan, dia yang tidak bisa menjaga hati untuk istrinya. Salahkan dia, caci maki saja dia, tapi jangan putriku," imbuh Pak Hamid lirih. "Kami memang orang miskin, tapi kami cukup tau adab dan