***"Astaghfirullah ...." Delia melepaskan genggaman tangan Haikal setelah menghela napas panjang. Di salah satu sofa ia terduduk dengan wajah sendu. "Astaghfirullah," ucapnya lagi. Emak yang melihat kesedihan di wajah Delia seketika mendekat. Diusapnya kepala Sang Menantu yang tertutup kerudung. "Sabar ya, Nduk."Delia mendongak. Matanya berkaca-kaca melihat Emak yang juga tengah menatapnya teduh. Perlahan, kepala perempuan hamil itu mengangguk lemah. Lagipula apa yang bisa ia lakukan selain sabar? Sekasar apapun ia menghardik Ranti, putri Ustad Jefri itu akan terus mencari pembelaan atas perasaannya yang tidak benar. "Percaya pada suamimu, Delia, Emak membesarkan dia agar menjadi pria yang bertanggung jawab serta setia. Lihatlah Bapak, seperti itulah Haikal akan tumbuh." Mata Delia beralih menatap Pak Gani yang sedang berdiri di samping Haikal. Bapak ... selama ini Delia sudah menganggap Bapak seperti orang tuanya sendiri. Delia adalah saksi betapa Pak Gani adalah mertua yang sa
***"Bicara apa sama Kang Dirman, Mas?"Haikal yang baru saja mendaratkan bokongnya di atas ranjang seketika menoleh ke arah dimana Delia berada. Di depan meja rias, istrinya itu terlihat sedang memoles cream malam sebelum tidur. "Sejak dulu Bapak ingin sekali Mas punya bisnis, Dek," jawab Haikal jujur. "Sebentar lagi aku akan menjadi Ayah, aku ingin anak kita mendapatkan segala sesuatu yang terbaik nantinya. Maka dari itu aku meminta bantuan Kang Dirman agar mencarikan tempat yang berpeluang besar dalam bisnis Cafe. Kalau hanya mengandalkan pendapatan sawah dan ladang milik Bapak, Mas merasa kurang percaya diri ....""Karena hanya seorang petani?" sela Delia. Haikal yang berwajah sendu lantas menunduk. "Kita tidak bisa mengubah cara pandang orang lain, Delia. Di mata semua orang, petani adalah pekerjaan yang rendah," sahut Haikal lirih. "Mendengar kamu dicaci maki keluarga saat aku lamar kala itu, sungguh ... Mas sangat terluka.""Lagipula bisnis Cafe bisa kita wariskan pada anak-a
***Fatima menangis di atas ranjang dengan posisi meringkuk. Perut yang sudah mulai membesar ia usap lembut. Air mata yang sejak tadi mengalir deras seolah enggan berhenti apalagi ketika Faisal memutuskan tidak pulang malam ini. Entah kemana pria itu pergi yang jelas ... Fatima sudah menghubungi nomor Kamila dan mantan istri suaminya itu mengatakan jika Faisal tidak berada di rumahnya. Bahkan sudah satu minggu terakhir pria itu tidak menengok buah hatinya bersama Kamila. Sejak pindah ke rumah yang seharusnya menjadi milik Kamila seutuhnya, sikap Faisal semakin semena-mena. Pria tidak tau diri itu menganggap jika Fatima adalah beban. Bahkan ia berpendapat bahwa Fatima lah yang harus memenuhi kebutuhan sehari-hari karena untuk tempat tinggal dialah yang sudah memenuhi. Namun, bukankah sandang, pangan dan papan memanglah kewajiban seorang suami?Bahu Fatima berguncang. Tangis yang semula tidak bersuara kini mulai terdengar pilu dan menyayat hati. Masih dengan posisi yang sama wanita it
***Kang Dirman segera mengemudikan mobil menuju Rumah Sakit yang Haikal sebutkan. Sebelum berangkat ke Surabaya, Pak Handoko sudah memberi tahu lebih dulu dimana Fatima dirawat sehingga Delia tidak perlu bertanya-tanya lagi dimana kakaknya dirawat saat ini. "Rumah Sakit Unair," kata Kang Dirman mengeja nama Rumah Sakit yang tertulis besar di atas bangunan berlantai tinggi. "Gila, besar sekali Rumah Sakitnya." Kang Dirman geleng-geleng. Apalagi ketika mobil yang ia kemudikan mulai memasuki halaman parkir. "Ini nanti yakin kita gak bakalan nyasar, Neng?"Delia tersenyum tipis. "Insya Allah tidak, Kang. Aman!"Haikal membuka pintu mobil dan mempersilahkan istrinya keluar. Kepalanya mendadak pening melihat bangunan besar di depannya, belum lagi kawasan parkir yang begitu luas. Pria berkemeja hitam itu memijit pelipisnya perlahan."Mas juga pusing?" cibir Delia menahan tawa. Haikal mengangguk lemah. "Ini Rumah Sakit besar sekali, Dek," gerutunya. "Namanya juga Rumah Sakit," sahut Delia
***"Kantinnya dimana ini, Kang?"Haikal dan Kang Dirman sudah berada di lantai satu. "Kamu nanyea, kamu bertanyea-tanyea?"Haikal menoleh sembari mengangkat tinjunya di udara. "Hajar juga nih!" kata Haikal geram. Kang Dirman tertawa lebar. Rasanya lama sekali ia dan Haikal tidak bersenda gurau. Apalagi setelah Haikal menikah, hampir tidak pernah pria yang sudah ia anggap seperti adik sendiri itu datang ke rumahnya untuk sekedar menghabiskan segelas kopi sambil bercerita random. "Daripada kita keliling Rumah Sakit seperti orang tawaf, mending beli makan di luar saja. Ayo!""Kang, serius?" tanya Haikal mengernyit."Dua rius," jawab Kang Dirman."Di depan cuma ada jalan raya. Kita mau beli makan dimana, keburu kelaparan Bapak dan Ibuku, Kang," gerutu Haikal. Kang Dirman memicingkan mata menatap pelataran tempat parkir. Haikal benar. Di depan bahkan tidak ada penjual pinggir jalan. "Permisi, Bu ... kantin sebelah mana, nggih?"Perempuan berkerudung maroon menoleh. "Di belakang UDG,
***"Bisakah saya tebus obatnya sebagian, Mbak? Insya Allah besok pagi saya tebus sisanya," ucap perempuan berkerudung maroon pada petugas apotek di Rumah Sakit. "Mohon maaf, Kakak, obatnya tidak bisa ditebus terpisah.""Saya mohon, Mbak ... saya berjanji besok saya lunasi semua biaya obatnya. Saya ... saya hanya ada uang 300 ribu, tolonglah, Mbak ....""Maaf ya, Kak. Silahkan minggir, antrean selanjutnya sudah menunggu."Perempuan cantik bertubuh tinggi semampai itu mundur sambil menggigit bibir bawahnya gusar. Air mata yang menggenang bersiap tumpah. Namun ia sadar, menangis di depan banyak orang hanya akan membuatnya malu. Di sebuah taman dekat kamar mandi umum, perempuan itu duduk sambil menutup wajah menggunakan kerudungnya yang lebar. Bahunya bergetar. Siapapun yang melihat pasti tahu jika perempuan itu sedang menangis. "Maafkan saya ...." Kang Dirman mendekat ketika menyadari bahwa perempuan yang ada di kursi taman itu adalah perempuan yang tadi berada di ruangan Fatima.
***Haikal melirik sekilas ke arah Erina kemudian turun dari ranjang dan bertanya pada Delia, "Kang Dirman mana, Dek?""Ada di depan. Mau pulang dulu?"Haikal tersenyum tanpa mengangguk. Setelah mencium punggung tangan Eyang dan Bibi Naomi, pria itu melenggang begitu saja tanpa memperdulikan Erina yang mulai menggerutu. "Ck, Haikal!" seru Erina manja. Suami Delia itu menghentikan langkah kemudian menoleh. "Gimana, boleh kan kalau aku kerja di Restoran baru kalian. Itung-itung ngasih kerjaan ke saudara sendiri. Pahala loh!""Erina benar, Le. Eyang bangga sekali Delia bisa menikah denganmu," sahut Eyang menuai tawa lirih dari bibir Haikal. "Seburuk apapun sikap kami di masa lalu, harusnya kamu bisa melupakan itu. Benar kan?"Haikal mengangguk dan kembali melanjutkan langkahnya tanpa berniat menjawab pertanyaan Erina dan Eyang Salma. "Huh, gimana sih, ditanya malah diam saja. Sombong!"Delia melirik sinis dan menyahut. "Boleh lah sekali-kali suamiku bersikap sombong, masa cuma kamu doa
***"Ribut lagi, Dek?"Delia menoleh. Haikal dan Kang Dirman masuk tepat setelah Eyang dan Bibi Naomi keluar dari kamar Fatima. "Biasalah, Mas." Delia menjawab malas. "Mana pernah Eyang sama anak-anak kesayangannya datang tapi gak bikin ribut."Haikal berjalan mendekat. "Ya sudah, yang sabar."Delia mengangguk sambil menghela napas panjang. Tanpa sengaja ia melihat Kang Dirman yang melirik ke ranjang sebelah yang tertutup gorden panjang. Tingkah sahabat Haikal itu terlihat aneh. Seperti sedang curi-curi pandang, tapi pada siapa?"Kang ...."Kang Dirman masih terus menatap gorden yang tidak sedikitpun tersibak. "Kang Dirman ...."Pria berusia matang itu tersentak kaget. "E-- eh, Neng. Ya?""Lagi mikirin apa, kenapa lihat gorden sampai segitunya?"Haikal mengulum bibir menahan tawa sementara Kang Dirman nyengir seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal."Anu ... itu ...."Tiba-tiba seorang wanita berkerudung maroon menyembul dari balik gorden. Delia bisa melihat kaki keriput di ata