***"Setelah uangmu aku kembalikan, lepaskan aku, Haikal!" ujar Haris ketus. "Ck, beruntung uang itu belum aku sentuh sama sekali. Kampret!"Haikal menoleh dan melayangkan tatapan sengit ke arah Haris. "Kau salah sudah bermain-main denganku, Haris," sahut Haikal seraya menarik ujung bibirnya sinis. "Berurusan dengan kepolisian bukan hal yang baru bagiku, asal kamu tahu itu!"Haris tidak menyangkal, bibirnya tertutup rapat apalagi ketika berulang kali matanya bersirobok dengan mata Erina yang berkilat marah. Sesekali ia melirik jam di kantor kepolisian yang bergerak lambat. Lama sekali ia menunggu kedatangan seseorang yang baru saja diperintahkan datang dengan membawa uang milik Haikal. Haris mulai dengan terlebih ketika Om Dani sejak tadi menatapnya seperti singa ingin memakan mangsa. "Saya mau dia dipenjara, Pak Polisi!" Ucapan Om Dani membuat Haris menghela napas kasar. "Dia sudah menipu saya dan keluarga saya. Bahkan pesta pernikahan hampir digelar tapi dia kabur membawa uang ...
***"Hamil? Delia hamil, Haikal?"Haikal mengangguk tegas. Andai saja Delia tidak memaksanya datang ke kantor polisi, Haikal tentu saja saat ini sedang menemani Sang Istri yang tengah terbaring lemas di ranjang Puskesmas. Kehamilan pada trimester pertama membuat tubuh Delia lemas dan mudah mual. "Kenapa kamu tidak bilang, Delia benar-benar hamil?""Kami juga baru tahu tadi pagi, Bibi. Kondisinya sangat lemah, tolong untuk tidak membebani Delia dengan hal-hal yang sebenarnya bukan menjadi urusan kami.""Haikal, Erina ini saudara Delia loh, apa maksudnya membebani hal-hal yang bukan urusan kalian? Kasus Erina ini kamu juga harus turun tangan. Bagaimanapun Haris harus dipenjara!" seru Om Dani bersungut-sungut. "Meskipun uangmu sudah kembali, harusnya kamu tuntut dia karena sudah membohongi Erina. Kamu dengar sendiri kan kalau pria brengsek itu sudah menodai anakku?"Haikal menghela napas panjang. "Om, urusan itu bisa dibicarakan secara kekeluargaan. Mohon maaf, kalaupun nanti Erina hami
***"Keterlaluan!" Pak Handoko berdesis sembari mengeratkan cekalan tangannya pada pergelangan tangan Bu Sarah. "Jangan membuat Bapak malu di depan menantu sendiri, Bu. Ayo pulang!""Pak, aku hanya meminta hak ....""Hak apa yang kamu maksud?" sela Pak Handoko lirih namun tegas. "Haikal tidak memiliki kewajiban apapun atas kita, Bu. Kalaupun dia selalu ngasih uang setiap bulan itu karena kebaikan hatinya yang berusaha membantu perekonomian kita. Jangan Ibu anggap kebaikan Haikal sebagai bentuk tanggung jawab pada mertuanya. Itu salah!""Tapi kebutuhan kita meningkat sejak ada Fatima dan Faisal, Pak. Lalu kita harus bagaimana?"Pak Handoko mengusap wajahnya kasar. "Faisal adalah pilihan kamu, jadi jangan membebankan hal ini pada Haikal!"Pak Handoko menarik tangan Bu Sarah dengan kasar sementara Haikal menatap kepergian kedua mertuanya dengan perasaan yang tidak bisa digambarkan. "Ibu benar-benar membuatku malu," ucap Delia ketika matanya bersirobok dengan kedua mata Haikal. "Bisa-bis
***"Jadi berapa banyak yang harus saya bayar agar Ibu mau melepaskan Delia?"Wajah Bu Sarah berubah ketus. "Apa maksud kamu?" tanya Bu Sarah tanpa senyuman. Matanya menatap Haikal yang sedang berdiri sambil merengkuh bahu Delia cukup erat. "Kau mau memisahkan Ibu dan anak dengan uang, begitu?" Bu Sarah terkekeh sinis. "Sampai aku mati, Delia tetap anakku, Haikal, dan kamu ... harus membahagiakan dia serta kami selaku kedua orang tua Delia. Paham?""Lama-lama kamu makin melantur, Bu!" hardik Pak Handoko mulai naik pitam. "Bawa istrimu masuk ke dalam kamar, Le!" Haikal mengangguk meskipun hatinya tengah bergemuruh melihat Bu Sarah yang kembali memasang wajah tidak bersahabat. "E-- eh, tunggu! Ini ... bagaimana denganku, Haikal, kamu mau kasih pinjaman kan?""Tidak. Kenapa tidak Mas jual saja apa yang bisa dijual?" jawab Haikal datar. "Jika Mas Jaka punya muka, harusnya malu mendatangi saya dan Delia mengingat betapa pedas ucapan Mas Jaka pada kami kala itu.""Zalim kamu, Haikal! Aku
***"K-- kau gila, Jak? Le-- lepaskan pisau itu!" teriak Faisal ketakutan. "Kau mau dipenjara karena membunuhku, hah?""Ha ... ha ... jika itu adalah harga yang pantas, maka akan aku lakukan. Setidaknya kamu lenyap dari muka bumi ini, Brengsek."Faisal bergerak mundur dengan posisi masih terduduk lemas. Sementara Meisya, wanita itu tiba-tiba bersimpuh di bawah kaki Jaka dengan air mata yang berderai. "Mas ... ini salahku. Semua salahku, tolong ... tolong jangan seperti ini, Mas. Jangan ....!"Dada Jaka naik turun. Napasnya memburu melihat istri yang selama ini dia cintai ternyata terang-terangan membela pria lain. "Salahmu? Kau mencintainya, Mei?" Jaka tertawa sumbang. "Kau rela bersimpuh di kakiku hanya demi dia, hah?" Jaka tertawa, juga menangis. Air matanya berjatuhan melihat bahu Meisya yang terbuka bebas. "M-- Mas, ak-- aku ... aku bisa jelaskan ini ....""Menjelaskan bagaimana bisa kamu dan dia berbuat mesum tengah malam, begitu?" Jaka menarik ujung bibirnya sinis. "Khilaf? K
***"Pergi dari sini, kembalilah pada kedua orang tuamu!" usir Jaka tanpa mengeraskan suara sedikitpun. Hatinya hancur, emosinya yang meledak-ledak kini berubah menjadi sebuah sesak yang luar biasa di dalam dada. Melihat Meisya menangisi pria lain adalah luka yang teramat dalam bagi Jaka. "Aku tidak bisa mengantarmu, Mei, bagaimana jika di tengah jalan aku khilaf dan membunuhmu?"Meisya meneguk ludahnya kasar. Perempuan yang selalu terlihat cantik di mata Jaka itu kini menangis sesenggukan. "Ini tidak adil, Mas!" pekik Meisya. "Kami melakukan kesalahan ini berdua, aku mendapat talak sementara ... seharusnya Mas Faisal juga menalak Fatima."Fatima terkekeh getir. "Kamu berharap bisa hidup bersama suamiku, begitu?" tanya Fatima menyeringai. "Jangan mimpi, Mbak!"Meisya geleng-geleng sambil terus menatap Faisal lekat. "Brengsek kau, Mas!""Ha ... ha ... kau baru menyadarinya, Mei? Mana ada pria baik-baik yang tega memakan istri temannya sendiri. Ah, bukan ... dia bahkan iparmu, Meisya.
***"Delia hamil, Le? Be-- beneran hamil?" Emak Karti bertanya dengan suara bergetar. "Menantu Emak mau jadi Ibu, Emak tidak bermimpi kan?"Pak Gani menepuk-nepuk lengan Emak seraya tersenyum haru. Pun dengan Yu Jamilah, wanita yang juga termasuk kerabat Pak Gani itu mengusap sudut matanya yang berair. "Pak, kamu mau jadi Mbah Kung," bisik Emak sambil menahan tangis. "Masya Allah ...." Emak Karti menyembunyikan wajahnya dalam pelukan Pak Gani. Melihat kedua orang tuanya yang menangis bahagia, Haikal mengusap wajahnya kasar guna mengusir rasa panas pada kedua matanya. "Assalamualaikum, Emak ...."Emak lekas menunjukkan wajahnya yang basah dan menatap Delia dalam layar ponselnya. "Waalaikumsalam, Cah Ayu. Jaga kesehatan ya, Nduk, titip cucu Emak. Kalian harus sama-sama sehat."Delia mengangguk patuh. "Insya Allah," jawabnya singkat. "Ya sudah, ya sudah ... kalian lanjutkan dulu periksa kehamilannya, nanti telepon Emak lagi, ya?""Siap, Mak," sahut Delia sembari tersenyum.Haikal mela
***"Sudah periksa kandungan?" tanya Bulek Nina antusias. Delia mengangguk seraya tersenyum. "Baru saja pulang," jawabnya jujur. "Usianya sudah delapan minggu, aku juga baru tahu ini beberapa hari yang lalu, Bulek.""MasyaAllah, Allahuakbar." Bulek Nina memeluk Delia erat-erat. Ada perasaan bahagia yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Sekalipun Delia adalah orang lain, namun Bulek Nina sudah menganggap anak tetangganya itu seperti anak sendiri. "Sebentar lagi kamu akan jadi Ibu, Nduk."Delia mengangguk sementara kedua matanya sudah berkaca-kaca. Respon yang Bulek Nina berikan mampu membuat hati Delia terharu. "Andai Ibu sebahagia ini," gumamnya sendu, "Tapi ssyang, yang ada di pikiran Ibu hanya uang, uang dan uang.""Semua orang tua pasti merasa bahagia ketika akan menjadi Nenek, Delia. Jangan berpikir buruk tentang Ibumu, Nduk. Tidak baik!"Delia mengedikkan bahu, "Entahlah, Bulek. Rasanya aku teramat kecewa."Delia yang semula murung seketika berbinar melihat hidangan sed