***"Jangan keterlaluan, Bu!" tegur Pak Handoko tegas. "Yang Haris bawa kabur bukan sekedar seratus dua ratus ribu, tapi lima puluh juta!"Bu Sarah menggenggam lengan Haikal erat-erat. Matanya yang sayu menatap Haikal penuh harap. "Percaya sama Ibu, Haikal, hanya ini cara satu-satunya agar semua orang memandangmu lebih ...."Haikal melepas genggaman tangan Bu Sarah dengan perlahan. Senyum samar tidak lepas dari bibirnya yang tipis. Rasa kecewa yang teramat dalam menguasai hati Haikal saat ini, apalagi melihat Bu Sarah yang memelas agar Haikal merelakan uang sebegitu banyak hanya demi agar orang lain bisa memandangnya lebih. Miris sekali. "Sejak awal saya tidak haus akan penilaian orang lain, Bu," tutur Haikal lirih. Bagaimanapun, ia berusaha agar ucapannya tidak menyakiti hati Bu Sarah. Sang mertua. "Tidak perduli seberapa buruk orang-orang memandang saya, tujuan utama saya adalah membahagiakan Delia serta kedua orang tua kami.""Itu artinya kamu rela membahagiakan Ibu, benar kan, H
***Brak ...!!!Brak ...!!!Dua kali Haikal mendobrak pintu menggunakan kaki hingga akhirnya pintu kamar mandi terbuka dari luar.Mendengar keributan di dalam kamar putrinya, Pak Handoko buru-buru berlari kecil dan bertanya, "Le, ada apa?"Pak Handoko menempelkan telinganya di depan daun pintu. "Haikal, Delia?"Bu Sarah yang penasaran pun turut mendekat. Wanita itu paruh baya itu justru membuka handle pintu dan ...."Astaghfirullah, Delia ... kenapa, ada apa ini, Haikal?" Wajah Bu Sarah terlihat panik, begitupun dengan Pak Handoko. Sepasang suami istri itu sontak mengikuti langkah kaki Haikal yang lebar sembari menggendong sang istri dengan posisi ala bridal. "Delia tiba-tiba muntah-muntah, Pak," jawab Haikal gelisah. "Dia bilang tubuhnya lemas, lalu pingsan.""Astaghfirullah, Delia," pekik Pak Handoko tak kalah panik. "Biar Bapak yang menyetir mobil, Le. Ayo!"Haikal mengangguk dengan langkah kaki yang enggan berhenti. Tujuannya saat ini adalah mobil yang terparkir di halaman rumah.
***"Setelah uangmu aku kembalikan, lepaskan aku, Haikal!" ujar Haris ketus. "Ck, beruntung uang itu belum aku sentuh sama sekali. Kampret!"Haikal menoleh dan melayangkan tatapan sengit ke arah Haris. "Kau salah sudah bermain-main denganku, Haris," sahut Haikal seraya menarik ujung bibirnya sinis. "Berurusan dengan kepolisian bukan hal yang baru bagiku, asal kamu tahu itu!"Haris tidak menyangkal, bibirnya tertutup rapat apalagi ketika berulang kali matanya bersirobok dengan mata Erina yang berkilat marah. Sesekali ia melirik jam di kantor kepolisian yang bergerak lambat. Lama sekali ia menunggu kedatangan seseorang yang baru saja diperintahkan datang dengan membawa uang milik Haikal. Haris mulai dengan terlebih ketika Om Dani sejak tadi menatapnya seperti singa ingin memakan mangsa. "Saya mau dia dipenjara, Pak Polisi!" Ucapan Om Dani membuat Haris menghela napas kasar. "Dia sudah menipu saya dan keluarga saya. Bahkan pesta pernikahan hampir digelar tapi dia kabur membawa uang ...
***"Hamil? Delia hamil, Haikal?"Haikal mengangguk tegas. Andai saja Delia tidak memaksanya datang ke kantor polisi, Haikal tentu saja saat ini sedang menemani Sang Istri yang tengah terbaring lemas di ranjang Puskesmas. Kehamilan pada trimester pertama membuat tubuh Delia lemas dan mudah mual. "Kenapa kamu tidak bilang, Delia benar-benar hamil?""Kami juga baru tahu tadi pagi, Bibi. Kondisinya sangat lemah, tolong untuk tidak membebani Delia dengan hal-hal yang sebenarnya bukan menjadi urusan kami.""Haikal, Erina ini saudara Delia loh, apa maksudnya membebani hal-hal yang bukan urusan kalian? Kasus Erina ini kamu juga harus turun tangan. Bagaimanapun Haris harus dipenjara!" seru Om Dani bersungut-sungut. "Meskipun uangmu sudah kembali, harusnya kamu tuntut dia karena sudah membohongi Erina. Kamu dengar sendiri kan kalau pria brengsek itu sudah menodai anakku?"Haikal menghela napas panjang. "Om, urusan itu bisa dibicarakan secara kekeluargaan. Mohon maaf, kalaupun nanti Erina hami
***"Keterlaluan!" Pak Handoko berdesis sembari mengeratkan cekalan tangannya pada pergelangan tangan Bu Sarah. "Jangan membuat Bapak malu di depan menantu sendiri, Bu. Ayo pulang!""Pak, aku hanya meminta hak ....""Hak apa yang kamu maksud?" sela Pak Handoko lirih namun tegas. "Haikal tidak memiliki kewajiban apapun atas kita, Bu. Kalaupun dia selalu ngasih uang setiap bulan itu karena kebaikan hatinya yang berusaha membantu perekonomian kita. Jangan Ibu anggap kebaikan Haikal sebagai bentuk tanggung jawab pada mertuanya. Itu salah!""Tapi kebutuhan kita meningkat sejak ada Fatima dan Faisal, Pak. Lalu kita harus bagaimana?"Pak Handoko mengusap wajahnya kasar. "Faisal adalah pilihan kamu, jadi jangan membebankan hal ini pada Haikal!"Pak Handoko menarik tangan Bu Sarah dengan kasar sementara Haikal menatap kepergian kedua mertuanya dengan perasaan yang tidak bisa digambarkan. "Ibu benar-benar membuatku malu," ucap Delia ketika matanya bersirobok dengan kedua mata Haikal. "Bisa-bis
***"Jadi berapa banyak yang harus saya bayar agar Ibu mau melepaskan Delia?"Wajah Bu Sarah berubah ketus. "Apa maksud kamu?" tanya Bu Sarah tanpa senyuman. Matanya menatap Haikal yang sedang berdiri sambil merengkuh bahu Delia cukup erat. "Kau mau memisahkan Ibu dan anak dengan uang, begitu?" Bu Sarah terkekeh sinis. "Sampai aku mati, Delia tetap anakku, Haikal, dan kamu ... harus membahagiakan dia serta kami selaku kedua orang tua Delia. Paham?""Lama-lama kamu makin melantur, Bu!" hardik Pak Handoko mulai naik pitam. "Bawa istrimu masuk ke dalam kamar, Le!" Haikal mengangguk meskipun hatinya tengah bergemuruh melihat Bu Sarah yang kembali memasang wajah tidak bersahabat. "E-- eh, tunggu! Ini ... bagaimana denganku, Haikal, kamu mau kasih pinjaman kan?""Tidak. Kenapa tidak Mas jual saja apa yang bisa dijual?" jawab Haikal datar. "Jika Mas Jaka punya muka, harusnya malu mendatangi saya dan Delia mengingat betapa pedas ucapan Mas Jaka pada kami kala itu.""Zalim kamu, Haikal! Aku
***"K-- kau gila, Jak? Le-- lepaskan pisau itu!" teriak Faisal ketakutan. "Kau mau dipenjara karena membunuhku, hah?""Ha ... ha ... jika itu adalah harga yang pantas, maka akan aku lakukan. Setidaknya kamu lenyap dari muka bumi ini, Brengsek."Faisal bergerak mundur dengan posisi masih terduduk lemas. Sementara Meisya, wanita itu tiba-tiba bersimpuh di bawah kaki Jaka dengan air mata yang berderai. "Mas ... ini salahku. Semua salahku, tolong ... tolong jangan seperti ini, Mas. Jangan ....!"Dada Jaka naik turun. Napasnya memburu melihat istri yang selama ini dia cintai ternyata terang-terangan membela pria lain. "Salahmu? Kau mencintainya, Mei?" Jaka tertawa sumbang. "Kau rela bersimpuh di kakiku hanya demi dia, hah?" Jaka tertawa, juga menangis. Air matanya berjatuhan melihat bahu Meisya yang terbuka bebas. "M-- Mas, ak-- aku ... aku bisa jelaskan ini ....""Menjelaskan bagaimana bisa kamu dan dia berbuat mesum tengah malam, begitu?" Jaka menarik ujung bibirnya sinis. "Khilaf? K
***"Pergi dari sini, kembalilah pada kedua orang tuamu!" usir Jaka tanpa mengeraskan suara sedikitpun. Hatinya hancur, emosinya yang meledak-ledak kini berubah menjadi sebuah sesak yang luar biasa di dalam dada. Melihat Meisya menangisi pria lain adalah luka yang teramat dalam bagi Jaka. "Aku tidak bisa mengantarmu, Mei, bagaimana jika di tengah jalan aku khilaf dan membunuhmu?"Meisya meneguk ludahnya kasar. Perempuan yang selalu terlihat cantik di mata Jaka itu kini menangis sesenggukan. "Ini tidak adil, Mas!" pekik Meisya. "Kami melakukan kesalahan ini berdua, aku mendapat talak sementara ... seharusnya Mas Faisal juga menalak Fatima."Fatima terkekeh getir. "Kamu berharap bisa hidup bersama suamiku, begitu?" tanya Fatima menyeringai. "Jangan mimpi, Mbak!"Meisya geleng-geleng sambil terus menatap Faisal lekat. "Brengsek kau, Mas!""Ha ... ha ... kau baru menyadarinya, Mei? Mana ada pria baik-baik yang tega memakan istri temannya sendiri. Ah, bukan ... dia bahkan iparmu, Meisya.