***"Pulanglah, Neng Ranti, saya tidak ada urusan apapun dengan kamu," usir Haikal ketus. "Anggap saja malam ini saya sekeluarga tidak pernah melihat kamu di Restoran ini. Insyaallah, kami pandai menyimpan aib orang lain." Ranti menangis. Perempuan berbaju seksi itu mendekati Emak Karti. Tangannya terulur hendak meraih tangan keriput mertua Delia namun dengan sigap Emak menyembunyikan dirinya di balik tubuh Sang Menantu. "Mak ...." Bibir Ranti bergetar. "Sungguh, aku dipaksa melalukan ini. Aku diancam!" "Maaf, Neng, itu bukan urusan kami. Haikal benar, lebih baik kamu pulang karena hari semakin malam."Ranti menggeleng cepat. "Kang, aku tahu kalau Kang Haikal pasti tidak tega melihatku seperti ini. Tolong, Kang ... jangan hanya karena dia Akang menutup mata tidak mau membantuku." Ranti menunjuk wajah Delia, "Bantu aku, antar aku pulang, Kang!"Delia terkekeh sumbang. "Aku istrinya, atas dasar apa kamu meminta agar suamiku tidak menutup mata padamu, coba jelaskan!" "Kamu tidak tahu
***"Jangan menyentuh menantu saya, Neng!" Emak mencekal pergelangan tangan Ranti dan menepisnya kasar. Delia terkejut mendapati Emak Karti yang tiba-tiba sudah berdiri di depannya. "Emak," panggil Delia. "Mak Karti." Yu Jamilah turut memanggil. "Astaghfirullah, ada apa ini sebenarnya. Neng Ranti mau menampar Mbak Delia?" seru ibu-ibu yang lain."Sstt, diam ... diam!" ucap Bu Hajat. Seketika suasana yang ricuh berubah hening. "Mak, ada apa?"Emak mengubah mimik wajahnya. "Tidak ada apa-apa. Emak hanya tidak mau ada orang lain yang menyakiti Delia."Ibu-ibu terlihat saling pandang membuat ruang gerak Ranti menjadi terbatas. "Mak ... Emak salah paham, Emak berpikir saya mau menampar pipi Delia, begitu? Bukan seperti itu, Mak ....""Kalau memang bukan seperti itu, saya minta maaf sudah menepis tangan Neng Ranti. Ayo, Nduk ... sudah selesai?"Delia hampir menangis melihat kedatangan Emak yang serupa penyelamat baginya. Berhadapan dengan Ranti adalah satu dari beberapa alasan mengapa ha
***"Ha-- Haris menghilang?" Bibi Naomi memekik kaget. "Ba-- bagaimana mungkin, Rin, hilang kemana? Siapa yang bilang, hah?"Erina meraup udara sebanyak mungkin. "Ma, sudah empat hari ini Mas Haris tidak bisa aku hubungi," papar Erina sedih. "Teleponnya tidak aktif, pesanku tidak dibalas. Aku ... harus bagaimana, Ma?"Bibi Naomi terduduk dengan kaki lemas. Sementara Om Dani memohon maaf pada pekerja Poetyque WO karena kondisi istri dan anaknya sedang tidak baik-baik saja. "Kalau begitu untuk tanggal dan waktu yang sempat di booking Mbak Erina kami mohon ijin untuk membatalkan ya, Pak?"Om Dani mengangguk lemah. Namun tiba-tiba ...."Tidak bisa begitu," seru Bibi Naomi. "Mbak, saya minta waktu dua hari lagi, menantu saya mungkin sedang ada masalah. Dua hari lagi kami konfirmasi ulang terkait booking ....""Maaf, Bu. Kami hanya akan melayani calon pengantin yang benar-benar memakai jasa kami.""Maksud kamu anak saya tidak bisa booking WO punya kalian, begitu?" Bibi Naomi berkacak pingg
***"Mendadak sekali, Le, apa ada masalah?" tanya Emak. Ruang makan menjadi tempat paling nyaman untuk berbincang. Meskipun bagi sebagian orang tidak pantas makan sambil berbincang-bincang namun berbeda dengan keluarga Haikal, mereka akan bercerita panjang lebar ketika ada sudah duduk berhadapan di meja makan. Pak Gani melirik Delia yang nampak sendu. Benar. Tidak biasanya menantu kesayangannya itu terlihat tidak bersemangat seperti pagi ini. "Bawa dua karung beras di gudang, Haikal. Kebetulan kemarin Bapak minta Kang Dirman giling tiga karung. Bawalah dua, berikan pada mertuamu.""Iya, Pak.""Bawa juga pisang kepok di kebun yang sudah masak pohon. Bapak lihat ada sekitar tiga tandan.""Nggih," jawab Haikal singkat. "Mau dibawakan singkong juga? Mumpung ada Kang Dirman di kebun, biar dia cabutkan beberapa batang buat mertuamu.""Kami hanya sebentar, Pak." Delia menimpali. "Lama atau sebentar, orang tua pasti merasa senang ketika anak dan menantunya datang membawa oleh-oleh, Nduk,"
***Fatima bersiap melayangkan tamparan di pipi Meisya namun ia urungkan ketika ruang tamu rumah Bibi Naomi kembali riuh karena mendapati Erina yang tiba-tiba pingsan."Erina!" seru Bibi Naomi lantang. "Ya Ampun, Anakku!" "Rin, bangun!" Bu Sarah menepuk-nepuk pipi Erina dengan lembut. "Lah kok malah pingsan to, Rin, gimana bisa selesai urusannya kalau pingsannya gantian begini." Bibi Husniah menggerutu. "Lagian Haris bukan TNI beneran, kalaupun dia kabur yang dibawa pergi juga bukan uang Erina dan Naomi, tapi uang Haikal."Bibi Naomi melayangkan tatapan tajam pada kakak keduanya itu. Dadanya naik turun. Emosinya sudah siap meledak karena ucapan Bibi Husniah yang terlampau pedas. Menyadari air muka Bibi Naomi yang berubah garang, Eyang Salma menepuk lengan Bibi Husniah sambil berkata, "Diam, Hus!"Bibi Husniah mencebik, meskipun begitu ia tetap mematuhi teguran Eyang Salma dan mulai menutup mulutnya rapat-rapat. "Bangun, Erin! Bangun!" Bibi Naomi menangis histeris. "Haris keparat!
***"Bagaimana ini, Mas?" Delia menatap Haikal ragu. "Apa tidak lebih baik kita lapor polisi saja?"Haikal memandang wajah Delia sejenak kemudian menyahut, "Tentu saja, Dek. Haris sudah merusak nama baik para abdi negara."Mendengar kata polisi, kedua mata Bibi Naomi seketika terbuka lebar. "Polisi?" Ulangnya. Erina dan Bu Sarah terkejut bukan main. Baru saja tubuh Bibi Naomi dibaringkan di atas sofa tiba-tiba saja matanya terbuka lebar. "Kalian mau melaporkan Haris ke polisi, iya?" tanya Bibi Naomi panik. "Kenapa kalian tega sekali sih? Kalau Haris dilaporkan maka Erina juga pasti ikut terseret. Tidak! Tidak boleh! Kalian tidak boleh bawa-bawa polisi dalam masalah ini!" Bibi Naomi berbicara lantang seolah-olah pening di kepalanya sudah musnah. Delia membuang muka. Ingin rasanya ia menyalahkan Haikal atas masalah ini namun ia sadar, Haikal pasti sudah punya rencana tersendiri untuk menyelesaikan urusan yang berhubungan dengan Haris. "Erina hanya akan dimintai kesaksian, Bibi." Haik
***"Laku?"Delia dan Haikal saling pandang, lalu keduanya mengangguk bersamaan."Bagus, itu artinya uang kamu sudah kembali, Haikal. Jangan lupa pinjami aku sepuluh juta," sahut Jaka senang. "Tidak lama, Haikal, aku janji hanya sampai bulan depan uang kamu sudah aku kembalikan.""Nih, jual sendiri kalau laku!" Delia melempar kotak perhiasan tepat di pangkuan Jaka. Meisya mengernyit. Wanita cantik yang duduk di samping Jaka itu segera memungut kotak beludru berwarna merah dan membukanya seketika."Kok masih utuh?" tanya Meisya. "Katanya laku?""Laku, cuma satu. Mbak mau tahu berapa harganya?"Meisya dan Jaka mengangguk. "Sepuluh juta?" tebak Jaka asal. "Bisa lah kalian ambil dulu itu, pinjami Mas, Delia.""Tiga ratus ribu! Satu cincin Erina seharga tiga ratus lima puluh ribu. Mau Mas Jaka pinjam?"Jaka melongo. Matanya menatap nanar pada kotak perhiasan yang ada di tangan istrinya. "Ja-- jadi semua ini imitasi?""Menurut Mas?" sahut Delia malas."Bahkan cincin berlian ini juga?" timp
***"Jangan keterlaluan, Bu!" tegur Pak Handoko tegas. "Yang Haris bawa kabur bukan sekedar seratus dua ratus ribu, tapi lima puluh juta!"Bu Sarah menggenggam lengan Haikal erat-erat. Matanya yang sayu menatap Haikal penuh harap. "Percaya sama Ibu, Haikal, hanya ini cara satu-satunya agar semua orang memandangmu lebih ...."Haikal melepas genggaman tangan Bu Sarah dengan perlahan. Senyum samar tidak lepas dari bibirnya yang tipis. Rasa kecewa yang teramat dalam menguasai hati Haikal saat ini, apalagi melihat Bu Sarah yang memelas agar Haikal merelakan uang sebegitu banyak hanya demi agar orang lain bisa memandangnya lebih. Miris sekali. "Sejak awal saya tidak haus akan penilaian orang lain, Bu," tutur Haikal lirih. Bagaimanapun, ia berusaha agar ucapannya tidak menyakiti hati Bu Sarah. Sang mertua. "Tidak perduli seberapa buruk orang-orang memandang saya, tujuan utama saya adalah membahagiakan Delia serta kedua orang tua kami.""Itu artinya kamu rela membahagiakan Ibu, benar kan, H