***‘Mustahil aku tidak terluka dengan perpisahan ini karena perceraian adalah satu-satunya akhir yang tidak ingin aku tuju. Namun seberapa kuat pun aku bertahan, nyatanya aku tidak mampu, hujan di mataku selalu menderas ketika menatap binar cinta di mata wanita lain untukmu.’ ~Kamila Larasati ***"Are ’u okay, Kamila?"Kamila mencengkeram dadanya kuat-kuat. Mustahil. Mustahil jika dia baik-baik saja melihat suami yang sudah menemaninya selama lima tahun itu menikahi wanita lain.Tangis Kamila terdengar menyayat hati. Pilu. Wanita berambut sebahu itu tersedu tanpa peduli siapa yang ada di sampingnya saat ini. "Aku tahu melepas Mas Faisal sama halnya seperti membuang sampah, tapi ... kenapa hatiku merasa sesakit ini?" "Tidak ada perempuan yang merasa baik-baik saja ketika rumah tangganya mencapai akhir, Kamila."Kamila mengangguk membenarkan. "Dia bukan pria yang baik, melepasnya untuk Fatima bukankah aku sudah melakukan hal yang benar? Sampah ... harus dibuang pada tempatnya," ucap
***"Sekarang coba kamu telepon Haris, minta dia datang ke rumah. Cepat!" Om Dani terbakar amarah. Dia memerintah Erina dengan kedua tangan yang menggenggam erat setir mobil. "Pokoknya Delia harus dilaporkan, enak sekali dia mau merusak nama baik calon suami Ayah. Gak bisa!"Erina termangu sementara tangannya sibuk memutar-mutar cincin yang ada di jari manisnya. ‘Sudah kau tanyakan surat-surat perhiasan yang Haris beri untukmu, Erin? Ada? Atau ... imitasi?’Suara Haikal terngiang-ngiang di telinga Erina. Bohong jika dia tidak panik saat ini mengingat Haris selalu saja berkilah ketika Erina meminta semua surat perhiasan yang dibawa ketika pertunangan. Erina menggigit bibirnya gusar. Bagaimana jika Delia benar? Bagaimana jika tunangannya itu bukanlah abdi negara."Apa menurut Mama cincin berlian ini imitasi?"Bibi Naomi mencebik. Tangannya menjitak kepala Erina dengan gemas. "Jangan termakan omongan Haikal, Bodoh!""Ma, tapi Mas Haris tidak pernah mau menunjukkan surat-suratnya ....""
***"Ah, Haikal hanya membual, Sayang, lagipula mana mungkin aku pinjam duit, memang Haikal siapa, dia cuma petani?" Haris tertawa kaku melihat air muka Erina yang datar. "Erin, seratus juta tidak ada apa-apanya buatku. Tapi kamu tahu kan, setelah menikah aku punya impian tentang bisnis ....""Aku tidak perduli tentang bisnis yang kamu maksud, Mas," sela Erina. "Aku hanya mau menikah dengan mewah! Delia dan Haikal harus dibungkam dengan pesta megah kita. Titik!"Haris membuang muka. "Rin, tolong mengertilah ....""Aku sudah cukup mengerti, Mas!" pekik Erina. "Pertunangan yang seharusnya digelar besar-besaran ternyata hanya didatangi anggota keluarga kita. Aku punya impian tentang pernikahan kita, Mas, aku mau acara kita semegah acara-acara pernikahan para abdi negara yang lain. Aku mau seperti itu!" seru Erina menggebu-gebu. "Aku sudah cukup mengerti selama ini. Kamu melarangku datang ke rumahmu dengan berbagai alasan. Kamu takut aku dianggap wanita tidak baik sementara kita saja ser
***"Tinggallah beberapa hari lagi, Nduk." Suara Bu Sarah menghentikan gerakan tangan Delia yang sedang memasukkan beberapa helai baju ke dalam tas berukuran sedang. "Setidaknya sampai acara tujuh hari pernikahan Mbakmu. Setelah ‘selamatan’ tujuh hari pernikahan, kamu bisa pulang."Delia melirik Haikal yang masih berdiri di ambang pintu. "Delia sudah bersuami, Bu, tidak baik menghentikan langkahnya untuk meraih bakti pada suami. Lagipula pekerjaan Haikal di kampung, kalau mereka disini lebih lama, siapa yang membantu Besan kita di sana?" sahut Pak Handoko bijak. "Delia dan Haikal sudah banyak membantu kita berdua, jangan menyulitkan mereka lagi."Bu Sarah terduduk di tepi ranjang dengan bahu bergetar. Delia iba, bagaimanapun perasaan anak pasti terluka melihat orang tuanya menangis tersedu-sedu. "Aku bisa pulang sewaktu-waktu kapanpun Ibu minta, Mas Haikal pasti mau mengantarku, Bu," kata Delia berusaha membesarkan hati Sang Ibu. "Tapi untuk sekarang, kami harus pulang, Bu."Bu Sara
***"Mbak, kamu keterlaluan ....""Jangan termakan dengan air mata Ibu, Delia, aku yang lebih tahu bagaimana sikap dan perangai Ibu yang sesungguhnya. Apa kamu tidak merasa janggal mengapa Ibu tiba-tiba berubah menjadi sosok Ibu yang penyayang di hadapanmu, hah? Bukankah sedari awal Ibulah yang sudah memaksamu menerima pinangan Mas Faisal, kau lupa?""Ibu sudah menyesali perbuatannya, Mbak," seru Delia. "Tega sekali kamu berbicara seperti itu di hadapan Bapak dan Ibu. Belum puas Mbak Fatima menyakiti hati mereka?"Fatima tertawa getir. "Asal kamu tahu ... Ibu adalah satu-satunya orang yang mati-matian mempertahankan kehamilan ini, bukan aku!" teriak Fatima kalap. "Kamu tahu kenapa, hah? Kamu tahu kenapa Ibu memaksaku ....""Fatima, cukup!" teriak Bu Sarah, "Cukup, Fat!""Kenapa Ibu melakukan ini?" Tangis Fatima menjadi-jadi. "Kenapa tidak Ibu katakan saja sejak awal jika ini semua adalah rencana Ibu? Katakan!"Tas selempang yang ada dalam genggaman Delia terjatuh begitu saja. Tulang-t
***."Assalamualaikum ....""Waalaikumsalam, Emak," jawab Delia sembari tersenyum melihat Emak Karti yang tengah berdiri di ambang pintu dapur. "Tadi malam belum sempat ke rumah, Mas Haikal bilang mungkin Emak dan Bapak sudah tidur," papar Delia.Delia mencium punggung tangan Emak Karti dan membantu wanita tua itu duduk dengan perlahan. "Bapak ....""Bapak sudah berangkat ke sawah, beberapa hari ini selalu berangkat pagi, Nduk, musim panen," sela Emak. "Jadi belum tahu kalau saya dan Mas Haikal sudah pulang?""Tahu," jawab Emak singkat. "Kan mobil kalian di halaman," imbuhnya.Delia menepuk dahinya perlahan. "Oh iya."Emak terkekeh sementara Delia kembali berkutat dengan ikan di atas penggorengan. "Bagaimana kabar Ibu dan Bapak, semua baik-baik saja?"Delia tertegun. Sejak semalam tidurnya terasa tidak nyenyak. Ada banyak pertanyaan yang membuat kepalanya terasa penuh ingin pecah. Tiba-tiba matanya berkaca-kaca, ucapan Fatima terngiang di telinga. "Delia ...."Delia tersentak kag
***"Sabar ya, Neng, jangan dimasukin ke dalam hati, lagipula Neng Delia sama Mas Haikal kan baru menikah, belum hamil bukan berarti mandul," papar Yu Jamilah resah. "Mulut Neng Ranti memang suka bicara pedas. Sudah terkenal dia seperti itu, kejam sama orang miskin apalagi pembantu di rumahnya. Huh!"Delia mengulas senyum getir di hadapan Yu Jamilah. "Kok jadi gibah?" gurau Delia membuat air muka Yu Jamilah berubah kikuk. "Y-- ya, bagaimana lagi, Neng, Bulek gemas soalnya. Huh, rasanya pengen Bulek bejek-bejek itu mulutnya Neng Ranti!""Kalau Emak Karti tahu, sudah pasti dia marah mendengar menantunya dihina seperti itu," imbuh Yu Jamilah kesal. "Aku adukan saja sama Emak, sekali-kali anak Ustad Jefri yang satu itu harus diberi pelajaran.""Bulek, tidak usah!" cegah Delia. "Saya baik-baik saja, tidak perlu membebani Emak dengan ucapan Mbak Ranti yang tidak bermutu itu, ya?" Yu Jamilah nampak ragu sebelum akhirnya ia memilih mengangguk karena wajah Delia yang memelas. "Kasihan Emak jik
***"Ck, ayolah, Haikal ... bisa kali pinjami kami tanpa jaminan. Sekali ini saja."Erina cemberut melihat calon suaminya yang merengek di depan Haikal. "Bagaimana, Dek?"Delia menggeleng tegas. "Aku tidak setuju! Masih teringat dengan jelas bagaimana mereka berdua mencaci maki kamu, Mas. Betapa mereka memandang pekerjaan kamu yang dianggapnya remeh dan tidak berpenghasilan. Aku tidak mau Mas kasih pinjaman apapun alasannya!""Jangan kekanak-kanakan, Delia!" Suara Erina meninggi. "Lagipula kami tidak salah, dulu Haikal hanya mengatakan kalau dia seorang petani, andai dia bilang kalau dia petani kaya, mana berani kita menghina. Itu salah suami kamu sendiri!" Delia membuang muka. Dadanya naik turun mengingat bagaimana perlakuan Erina dan Haris serta keluarga Bibi Naomi kepada Haikal, dulu. "Lima puluh juta saja, Dek ....""Mas, mereka sering menghina kamu, dulu. Untuk apa kita mengasihani orang yang bahkan tidak punya hati seperti mereka?" sela Delia."Erina sepupu kamu, Delia, sesam