***"Masuk, Kamila!" pinta Faisal membentak. "Aku tidak mengijinkan kamu mendengar apa yang Delia katakan. Masuk!""Mbak Fatima adalah kakak keduaku, Mbak Mila."Lutut Kamila terasa lemas. Hampir saja wanita cantik itu limbung jika tangannya tidak segera bersandar pada dinding. Kamila menggeleng tidak percaya. Selama bermain perempuan, baru kali ini Faisal kecolongan sampai meninggalkan benih di rahim wanita lain. Dadanya sesak. Hatinya perih. Namun inilah kebenarannya, Faisal menghamili wanita lain yang tak lain adalah Fatima, kakak kedua Delia. Tangan Kamila perlahan meremas dadanya kuat-kuat. Air mata yang sejak tadi menggumpal kini terurai sudah. Tangis Ibu beranak dua itu pecah. Pilu sekali. "Aku menyerah, Mas ...." Kamila berbicara dengan bibir bergetar. "Aku menyerah ....""Apa yang kamu katakan, Kamila? Delia bohong, aku tidak pernah menghamili wanita lain! Aku memang brengsek, tapi ... tapi percaya padaku, aku tidak mungkin membuat Fatima hamil." Haikal tersenyum sinis men
***"Apa sih, Rin? Kenapa Bapaknya Haris, hah?" Om Dani memekik kesal. Mobil yang melaju dengan kecepatan sedang hampir saja lepas kendali karena suara Erina yang terdengar mengagetkan. "Bahaya teriak-teriak di tengah jalan begini, Ayah kaget tau gak?!"Erina tak acuh dengan Om Dani yang sedang menggerutu. Kepalanya masih menoleh ke belakang untuk memastikan bahwa pria paruh baya yang ia tatap tadi bukanlah calon mertuanya. "Pengamen tadi, Yah, dia calon mertuaku."Alih-alih percaya, Bibi Naomi dan Om Dani justru tergelak. "Erina ... Erina ... kamu ini bicara apa sih, mana ada pengamen tadi calon mertua kamu? Wajahnya saja tidak terlihat semua, bisa jadi kamu salah lihat. Mama nih yang cari gara-gara, bikin Erina kepikiran!" gerutu Om Dani lagi. "Sudah, jangan dibahas lagi! Haris itu TNI, Rin, mana mungkin orang tuanya jadi pengamen. Aneh kamu itu!"Erina menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Mungkin memang iya, mana mungkin Haris
***"Haikal, woi!"Delia terperanjat ketika suara di seberang sana terdengar membentak. "Kamu dengar kan aku ngomong apa? Kita ketemu di Restoran Delima, jangan sampai ada yang tahu, Delia sekalipun. Awas aja!"Delia menghela napas perlahan. Suara ini ... suara yang tidak asing di telinga Delia. "Mau apa? Kalau ada perlu datang saja ke rumah," jawab Delia seketika membuat hening panggilan yang tengah berlangsung. "Kenapa aku tidak boleh tau, apa yang mau kamu bicarakan ... Haris?""De-- Delia?" "Ya, ini aku," jawab Delia dingin. "Kenapa, mau apa bertemu suamiku?"Helaan napas terdengar berat di seberang sana. Haris tidak berbicara, cukup lama panggilannya dibiarkan hening sampai akhirnya Haikal keluar dari dalam kamar mandi dan bertanya, "Siapa, Sayang?""Haris," jawab Delia sembari menyerahkan ponsel pada suaminya. "Assalamualaikum ....""Brengsek! Kamu sengaja minta Delia mengangkat panggilanku kan?" hardik Haris sengit. "Hei, Haikal ... aku ada perlu sama kamu, bukan sama Delia j
***"Mau apa dia ngajak ketemu?" tanya Pak Handoko. "Tidak tahu, Pak," jawab Haikal jujur. "Entah darimana dia dapat nomor WA saya."Fatima mencebik lalu membuang muka. Seketika dia teringat dengan pesan Erina kemarin malam agar mengirim nomor Haikal dengan alasan ingin bertanya-tanya tentang hotel yang pernah dipakai untuk acara pernikahan."Tadi malam Erin yang minta sama aku, katanya mau tanya-tanya tentang hotel tempat kamu dan Delia menikah."Haikal menoleh. "Begitu?" sahut Haikal tak acuh. "Ya sudah, nanti dia juga bakalan kesini kalau memang butuh informasi tambahan untuk rekomendasi hotel," jawabnya lagi. Dari ruang tamu terdengar deru mobil berhenti di halaman rumah. Haikal menoleh berharap mobil Faisal yang datang namun ternyata bukan. Bibi Naomi dan Erina lah yang keluar dari dalam mobil berwarna silver itu."Mbak Sarah!" pekik Bibi Naomi saat tubuhnya sudah berdiri di ambang pintu. "Ya Ampun, Mbak ... bisa-bisanya kamu punya anak perawan yang gak pandai menjaga diri!" c
***"Kamu kenapa teriak-teriak di rumah Budhe Sarah, Mas?" tanya Erina rikuh, semua keluarganya menatap Haris dengan pandangan jengah. Bagaimana bisa seorang ASN berperilaku kasar dan tidak sopan di rumah keluarga calon istrinya? "Ada janji sama Haikal?" tanya Erina lagi.Haris mematung di ambang pintu. Jakunnya terlihat naik turun menelan ludah dengan kasar. Sial, batinnya."E-- Erin, kenapa kamu ada disini, Sayang?"Erina mengerutkan kening. "Ini rumah Budhe Sarah, Mas, wajar kan aku disini. Kamu ... ngapain? Ada perlu apa sama Haikal?"Haris tersenyum kaku, "Aku ... aku ada yang mau dibahas sama Haikal, Sayang. Mau tanya-tanya seputar pernikahan dia waktu itu, apa saja yang dibutuhkan dan ....""Dan ya ... itu ... hanya itu," ucap Haris gugup. "Maaf, tadi kukira di rumah Delia tidak ada orang. Makanya aku langsung masuk dan panggil Haikal. Sorry!"Delia mencebik malas. Alasan klise. Mana mungkin di rumahnya tidak ada orang sementara Bapak dan Ibunya selalu berada di rumah."Terus k
***"Kurang ajar kau, Haikal!" hardik Haris geram. Haikal mengedikkan bahu tak acuh, "Kenapa kurang ajar? Bukannya wajar kalau aku terbuka sama istri, memang salah?"Kedua tangan Haris mengepal kuat. Apalagi ketika Haikal mengatakan tentang pengamen di lampu merah, deru napasnya semakin memburu. Ingin rasanya ia lekas pulang dan mencaci maki pria paruh baya itu. "Aku kesini dengan maksud baik, kurang ajar sekali kau menghina Ayahku!""Berhutang bukan hal baik, Haris," sindir Haikal, "Apalagi berhutang hanya untuk menunjang gaya hidup. Kalau tidak punya uang untuk menggelar pesta mewah, ya sudah ... menikah saja dengan sederhana. Beres!""Perihal ayahmu ... aku yakin sekali kami tidak salah lihat.""Kami?" Ulang Haris. Wajahnya yang semula menegang kini berubah pucat. "Ya, kami. Aku dan Delia. Kau tahu kan kalau pandangan istriku itu tajam sekali. Pria paruh baya yang siang tadi mengamen di lampu merah ... adalah ayahmu. Benar kan?"Haris sontak bangkit. Rahangnya mengeras mendengar
***"Siapa ....?"Fatima bertanya setelah membuka pintu. Keningnya mengernyit ketika melihat seorang wanita berdiri membelakanginya. "Cari siapa, Mbak?"Wanita tersebut menoleh. Bibirnya tersenyum kala melihat Fatima untuk yang pertama kali. "Delia," jawab wanita itu lembut. "Saya ada perlu dengan Delia. Ah, atau juga dengan kamu," imbuhnya membuat kening Fatima semakin berkerut. "Denganku, kamu siapa?""Saya Kamila ...."Fatima lagi-lagi mengernyit. "Kamila?" Ulangnya. "Siapa ya ....?"Kamila mengulas senyum tipis. Dipandanginya wajah Fatima yang terlihat segar dan berisi. Perutnya masih rata, namun Kamila yakin jika Delia tidak mungkin berdusta jika di dalam rahim kakaknya ada benih Faisal. Tiba-tiba mata Kamila berkaca-kaca. Lima tahun menjalani biduk rumah tangga dengan menahan segala luka yang Faisal berikan nyatanya tidak mampu membuat rumah tangganya baik-baik saja. Kemarin, dunianya benar-benar terguncang. Bagaimana tidak, Delia dan Haikal datang meminta pertanggung jawaban
***"Bohong!" pekik Fatima. "Aku mengandung anak Mas Faisal, dia pasti mau menikahiku!"Pak Handoko menekan bahu Fatima seraya menatap putri keduanya dengan tajam. "Duduklah! Di depanmu ada seorang wanita yang dunianya kau hancurkan, Nak, tapi apa kau lihat ada kilat kemarahan di matanya? Harusnya kamu sungkan, Fatima ... seharusnya kamu merasa malu karena perbuatanmu ini sudah merusak rumah tangga orang lain," tegur Pak Handoko tegas. "Pak, Mas Faisal sendiri yang bilang kalau dia sudah tidak mencintai istrinya, ini bukan salahku!" Plak ...!!!Bu Sarah menampar pipi Fatima untuk yang kesekian kalinya. Kali ini tangannya bahkan tidak bergetar seakan-akan tidak ada penyesalan karena sudah membuat pipi putri keduanya memerah. "Bu ...," panggil Delia lembut. "Kita sedang ada tamu," ucapnya."Dia bukan tamu, Delia. Dia adalah wanita yang sudah Fatima hancurkan. Dia bukan tamu, Nak ...."Kamila melengos. Betapa ia bisa merasakan sakit hati Bu Sarah dan Pak Handoko atas perbuatan putriny
ENDING***"Itu bukannya mantan pacar kamu, Sayang?"Hafsah mengikuti arah telunjuk Biru. Benar saja, di meja makan yang terletak di sudut, Azka duduk berhadapan dengan Safina. "Iya. Lagi kencan kali, Mas, sama seperti kita," sahut Hafsah tak acuh."Mau gabung?" tawar Biru dan dibalas gelengan kepala oleh Hafsah. "Tidak perlu memaksakan diri, Mas Biru.""Ya gapapa, Sayang, kita harus menjalin hubungan yang baik dengan mantan. Yuk!"Biru menggandeng tangan Hafsah dan berjalan mendekati meja yang hanya diisi oleh Azka dan Safina. "Hai ...."Azka dan Safina cukup terkejut melihat Hafsah datang bersama seorang lelaki. "Mbak Hafsah," ucap Safina sumringah. "Kapan datang ke Surabaya, kok gak kabar-kabar sih?"Respon Safina yang welcome membuat rasa takut yang sempat Hafsah rasakan memudar perlahan."Tadi niatnya gak mau ganggu acara kencan kamu sama Mas Azka, eh Mas Biru malah ngajakin gabung," ujar Hafsah jujur. "Eh, btw ini Mas Biru. Suamiku."Safina dan Azka saling pandang, "Kok Mbak
***Dua bulan berlalu setelah pesta pernikahan yang digelar secara mewah, hari ini Biru dan Hafsah sedang menikmati liburan di Kota Surabaya. Bukan luar negeri yang Hafsah mau, melainkan kota dimana banyak tercipta kenangan indah bersama Ranti dan kedua orang tuanya. Sengaja Biru menyetir mobil sendiri karena tidak mau liburannya yang ditunggu sejak dua bulan yang lalu diganggu oleh orang lain. Perjalanan yang melelahkan terasa menyenangkan karena sepanjang jalan keduanya tidak henti-hentinya melempar candaan. Hafsah membuka snack yang ada di kursi belakang. Sambil terus bercerita tentang masa kecilnya, sesekali tangan Hafsah menyuapi Biru dengan makanan ringan yang ada di tangan. "Mau cari makan dulu gak, Sayang?" Biru bertanya tanpa menoleh. "Nanti sampai hotel biar bisa langsung tidur. Capek sekali, Yang," keluh Biru. "Boleh," jawab Hafsah antusias. "Ini bentar lagi juga nyampe Hotel, Mas. Cari makan yang dekat-dekat sini saja ya."Biru mengangguk patuh. Matanya menatap satu pe
***"Jadi dia berhasil menggoda kamu, Mas?"Nisya berada jajaran para staf yang hendak memberi selamat. Di belakangnya, Anina justru tersenyum sinis seraya menatap Hafsah yang hari ini terlihat sangat menawan. Gaunnya mewah, perhiasan yang ia kenakan pun tidak berlebihan namun memberi kesan mahal. "Kamu keluar sendiri, atau aku meminta security menyeret tubuhmu keluar dari gedung ini?"Nisya tertawa sumbang. Di atas pelaminan, beberapa staf berdiri agak jauh sementara tepat di depan Biru dan Hafsah, Nisya bersungut-sungut marah karena tidak terima dengan pernikahan diantara keduanya. "Kamu bilang sulit mencari penggantiku, Mas," tutur Nisya sembari tersenyum sinis. "Tapi ternyata tidak lama setelah kamu memutuskan hubungan kita, pernikahan ini malah digelar."Rahang Biru mengeras. "Aku tidak akan melepaskan kamu jika acara pernikahan ini sampai ricuh, Nisya!"Nisya bertepuk tangan, "Wow. Secinta itukah kamu pada wanita ini? Apa yang sudah dia berikan sebelum kalian menikah? Keperawa
***"Apa?" tanya Biru tanpa berniat menjauhkan bibirnya dari bibir Hafsah. "Mas, ih!" Hafsah mendorong tubuh Biru dengan kesal. "Aku mau mandi, gerah!""Sayang!" Panggil Biru membuat langkah kaki Hafsah terhenti. "Apa?" tanya Hafsah ketus. "Bareng," ucap Biru merengek manja. Hafsah mencebik sebelum akhirnya berlari memasuki kamar mandi sampai-sampai lupa membawa baju ganti. Biru yang menyadari itu seketika tersenyum licik. Bisa dipastikan setelah ini Hafsah keluar hanya mengenakan bathrobe dan membayangkan hal itu saja sudah membuat kepalanya pusing. "Mas!" teriak Hafsah dari dalam kamar mandi. Biru berdiri di depan pintu, kemudian menyahut, "Kenapa, Sayang?""Mas, aku lupa bawa baju ganti ....""Aku tidur dulu ya, lelah sekali," sela Biru berdusta. "Ah, begitu ya. Ya sudah, nanti aku ambil sendiri, Mas tidur saja yang lelap."Biru tidak menjawab, pria itu justru menyandarkan tubuhnya di atas ranjang sambil memeriksa laporan kerja dari laptop yang sengaja ia bawa. Pintu kamar m
***Biru menuntun bahu Hafsah dan membawanya lebih dekat pada gundukan tanah yang masih basah. "Hapus air matamu jika tidak ingin Bunda sedih di dalam sana, Haf."Wajah Biru menegang, namun ketika Hafsah menggamit jemarinya, CEO muda itu perlahan menghela napas panjang. "Dia Mas Azka, Mas," ucap Hafsah memperkenalkan. Biru hanya mengangguk seraya tersenyum, kemudian kembali menuntun Hafsah mendekati makam yang baru saja memiliki penghuni itu. Para pelayat beberapa di antaranya memilih pulang setelah jenazah Ranti dikebumikan, namun beberapa yang lain masih berada di sana, sedikit banyak membantu merapikan makam yang baru saja ditabur bunga beraroma wangi. "Aku pamit ya, Haf. Semoga Bunda khusnul khatimah.""Aamiin, terima kasih banyak, Mas," sahut Azka. Azka mengangguk ragu, kemudian berkata, "Mari, Mas!"Biru tidak menjawab namun kepalanya mengangguk di depan Azka. "Semoga semua amal ibadah Bunda diterima Allah," ucap Hafsah nyaris tidak bersuara. "Doakan yang baik-baik untuk a
***"Bunda ...." Hafsah berteriak histeris sementara Biru segera menekan tombol yang ada di samping ranjang Ranti. "Bangun, Bun!" Hafsah mengguncang tubuh Ranti berharap wanita yang sudah ia anggap sebagai Ibu kedua itu mau membuka mata. "Tidak, Bun. Ini gak lucu!" teriak Hafsah. Biru menarik tubuh Hafsah dan memberi kesempatan para tenaga medis untuk memeriksa keadaan wanita paruh baya di atas ranjang itu. "Buka mata Bunda. Bunda berjanji mau lihat aku menikah dengan Pak Biru. Bangun, Bunda Ranti. Bangun!" Hafsah berteriak tanpa perduli apakah akan ada yang terganggu dengan suaranya. "Haf, tenang ....""Tidak, Mas. Bunda udah gak napas, aku tidak merasakan hangat napasnya. Bunda ... Bunda bohong padaku! Bunda pembohong!" Suara Hafsah terdengar pilu. "Bunda masih hidup kan, Sus? Aku yang bodoh ini pasti salah mengira ....""Innalilahi wa inna ilaihi raji'un ...."Dua orang suster mengucap kalimat istirja membuat dunia Hafsah yang baru saja berwarna kembali kelabu. Tidak lama, seora
***pov RantiHatiku terenyuh melihat Hafsah datang bersama calon suaminya. Ya, meskipun Hafsah belum mengatakan tentang lamaran yang dia terima, tapi aku yakin Hafsah sudah memantapkan diri untuk memulai kehidupan yang baru dengan pria bernama Biru itu. Aku lega, setidaknya setelah luka yang aku tanam di hatinya, gadis cantik itu pada akhirnya bisa bangkit lagi. Tidak mudah memang melupakan Azka, pesona anak dan Bapak itu memang teramat kuat, bahkan sampai detik ini Hafsah tidak tau jika nama Mas Haikal masih menjadi penghuni di hatiku. Bohong jika aku tidak bahagia dengan kehadiran Hafsah. Gadis cantik yang dulu sering tidur dalam pangkuanku itu ternyata masih menghormati aku sebagai Ibu asuhnya. Meskipun tidak bisa dipungkiri jika aku adalah dalang dari pisahnya dia dengan kedua orang tuanya. Aku bersyukur karena Hafsah tidak lagi mempermasalahkan itu. Aku bahagia. Terharu dengan ketulusan Hafsah padaku.Tolong tunggu sebentar, Bah, aku sudah berjanji akan menemaninya sampai ia m
***Dokter memeriksa keadaan Ranti yang sudah mulai membaik. Tidak ada penyakit serius, hanya saja wanita yang hidup sebatang kara itu diharuskan istirahat total karena tubuhnya yang kehilangan banyak cairan. "Setelah infusnya habis, pasien sudah boleh pulang.""Terima kasih, Dokter."Hafsah menghela napas lega, setidaknya Ranti tidak harus menginap lebih lama di Rumah Sakit. Dokter yang baru saja memeriksa Ranti keluar dari ruangan. Biru meminta ruangan VIP untuk Bunda dari calon istrinya. Hanya sehari semalam, namun Hafsah tahu seberapa besar tarif biaya di Rumah Sakit Unair. Cukup mahal memang. Ranti mengusap pipi Hafsah seperti seorang Ibu yang sudah lama tidak bertemu dengan putrinya. Kini Ranti mengerti bagaimana perasaan Bu Rania ketika Hafsah ia culik, dulu. Tidak salah jika banyak orang mengatakan jika Bu Rania hampir gila, karena sehancur itu memang kehilangan orang yang dicintai. "Dia siapa?" tanya Ranti sambil menunjuk Biru yang masih terlelap di atas sofa. "Mas Biru,
***Biru segera berlari karena teriakan Hafsah dari dalam makam. Bukan hanya itu, pengemudi yang semula dijanjikan akan dibayar sesuai kemauannya pun ikut turun dan melihat seorang wanita paruh baya tergeletak di atas tanah."Mas, Bunda ...." Hafsah menangis histeris. Wajah Ranti sangat pucat, tubuhnya yang semula mengeluarkan keringat dingin kini berubah panas. Dia demam. "Biar aku gendong, tolong buka pintu mobilnya," pintu Biru yang dibalas anggukan kepala oleh Hafsah. Belum sempat Hafsah berlari, pengemudi Gr*b lebih dulu melaksanakan perintah Biru untuk membuka pintu mobil dan bersiap duduk di belakang kemudi. Biru setengah berlari sembari membopong tubuh Ranti yang tidak terasa berat sama sekali. Ranti kehilangan banyak berat badannya, apalagi sejak Hafsah memutuskan pindah ke Jakarta, tubuhnya kian mengurus. Hafsah menangis, namun kali ini tidak bersuara, dia khawatir semakin membuat Biru panik apalagi ketika melihat prianya itu sedikit ngos-ngosan untuk menuju mobil yang te