***Sejak pagi Delia sudah berkutat di dapur. Beberapa menu sarapan sudah tersaji dan menguarkan aroma sedap. Ada empat piring yang Delia tata di atas meja makan, juga empat gelas kosong yang ditata rapi di sisi piring. Gulai daun singkong, rendang daging dan tempe goreng menjadi menu sarapan pagi ini. Delia sengaja masak pagi-pagi buta karena rencananya hari ini ia akan datang ke rumah kedua orang tuanya bersama Haikal. Ada sesuatu yang harus diluruskan. Seperti biasa, Haikal sedang berada di belakang rumah memberi makan ikan-ikannya. Sementara Bapak duduk di teras rumahnya sembari menyesap kopi di atas meja. Emak terlihat menyapu halaman yang luas, sebelum akhirnya Delia datang dan berkata, "Sarapan dulu yuk, Mak. Bapak mau diambilkan apa sarapan sama-sama?"Bapak meletakkan gelas kopinya di atas piring kecil. "Sama-sama saja, Nduk."Delia mengangguk dan membantu Bapak berdiri. Jika di depan Haikal pria paruh baya itu terlihat garang dan tegas, berbeda jika di depan Delia, Pak Ga
***"Mulutmu, Fat ....""Mulutku berbicara kebenaran, Mas," sela Fatima sengit. "Mas pikir selama ini Mbak Meisya adalah sosok istri yang setia, begitu?"Meisya bangkit, dia hendak menyerang Fatima namun Pak Handoko lebih dulu sudah berdiri di depan putrinya. "Tampar Bapak!" pinta Pak Handoko tegas. "Kenapa berhenti, bukankah selama ini kamu memang tidak pernah menghargai kami sebagai orang tua Jaka? Tampar Bapak, Mei!" Tangan Meisya yang semula mengambang di udara kini perlahan ia turunkan. Rahangnya mengeras. Emosinya sudah bersiap meledak. Fatima membongkar kedok Meisya di depan suami dan kedua mertuanya. Tiba-tiba Fatima menangis. Tangannya meremas perut yang masih rata. Entah apa yang dia pikirkan saat ini yang jelas ... Fatima terisak tanpa peduli apakah di ruang tamu ia sendirian atau sedang banyak orang. "Aku yang menang, Mbak," ucap Fatima setelah tangisnya reda. Putri kedua Bu Sarah itu tersenyum licik menatap Meisya. "Kau pikir Mas Faisal benar-benar mencintaimu, begitu?
***Delia mencekal pergelangan tangan Haikal sementara kepalanya menggeleng samar. Matanya yang berkaca-kaca membuat dada Haikal semakin terasa sesak. Jika saja Jaka bukan kakak iparnya ...."Kamu sungguh membuatku kecewa, Delia, Mas tidak menyangka kalau hatimu sejahat itu." Jaka berbicara dengan kedua matanya yang terus menatap Delia tajam, "Yang bermain-main dengan Faisal bukanlah Meisya, tapi Fatima. Caci maki saja kakakmu itu karena dengan bodohnya hamil sebelum menikah.""Mas, ayo ....""Sebentar, Sayang, Mas rasanya belum puas mengeluarkan kekesalan," sela Jaka. "Pulanglah, Nak, suatu hari nanti kebusukan pasti akan nampak. Pulanglah, jangan bikin keributan di sini," usir Bu Sarah secara halus. "Kalau memang benar istrimu adalah wanita baik-baik, kamu harus bisa membuktikan itu.""Aku tidak harus membuktikan apapun, Bu, karena kalian semua tidak akan mau mendengarkan pembelaanku. Puja dan percaya saja semua kata-kata Delia," sahut Jaka kemudian berlalu sambil menarik tangan Me
***Tangan Bu Sarah gemetar hebat setelah menampar pipi Fatima. Air matanya bercucuran sementara bibirnya bergetar hendak mengatakan sesuatu."Fat ....""Kenapa marah, Bu?" tanya Fatima getir. "Harusnya Ibu senang karena sebentar lagi aku akan menikah dengan pria kaya. Ini kan yang Ibu inginkan dulu? Ibu bahkan rela Delia menjadi istri kedua, kenapa sekarang justru marah saat tahu aku hamil anak Mas Faisal?" Pertanyaan Fatima membuat rasa bersalah di hati Bu Sarah semakin menjadi-jadi. "Karena Haikal petani kaya, itu sebabnya Ibu ....""Ibu memang salah, Fat. Ini semua salah Ibu," aku Bu Sarah sambil terisak. "Maafkan Ibu karena sudah menjerumuskan kalian ....""Sekarang bukan saat menyesali apa yang sudah terjadi, Bu," sela Haikal. "Semakin lama kehamilan Mbak Fatima tentu semakin membesar, mau tidak mau kita harus meminta pertanggung jawaban Faisal.""Bapak tidak setuju, Le, Bapak tidak sudi memiliki menantu seperti dia.""Kita tidak punya pilihan lain, Pak. Bapak ingin calon cucu B
***Haikal lantas menoleh ke belakang sementara pengamen yang Delia maksud sudah menepi dan duduk di atas trotoar. Wajahnya sedikit tertutup topi, namun rahangnya yang tegas bisa terlihat jelas jika pria itu adalah ...."Apa cuma mirip?" tanya Haikal ragu, "Haris tidak mungkin membiarkan orang tuanya mengamen di lampu merah, Dek. Dia TNI loh," seloroh Haikal lagi.Delia pun ikut menoleh. Mobil yang mereka kendarai sekarang telah menepi di pinggir jalan. Pria itu ... pria yang Delia rasa adalah Bapak Haris terlihat sedang termenung sambil mengusap peluh di pelipisnya tanpa melepas topi seperti sengaja sedang menyembunyikan wajah dari para pengendara yang berlalu lalang. "Sejak awal merasa ragu kalau Haikal ini benar-benar TNI, Mas.""Maksudnya?""Y-- ya ... dia hanya pria biasa, bukan abdi negara."Haikal kembali menatap ke depan, sesekali ia melirik Delia yang masih melihat dengan seksama pria berbaju lusuh di bela
***"Masuk, Kamila!" pinta Faisal membentak. "Aku tidak mengijinkan kamu mendengar apa yang Delia katakan. Masuk!""Mbak Fatima adalah kakak keduaku, Mbak Mila."Lutut Kamila terasa lemas. Hampir saja wanita cantik itu limbung jika tangannya tidak segera bersandar pada dinding. Kamila menggeleng tidak percaya. Selama bermain perempuan, baru kali ini Faisal kecolongan sampai meninggalkan benih di rahim wanita lain. Dadanya sesak. Hatinya perih. Namun inilah kebenarannya, Faisal menghamili wanita lain yang tak lain adalah Fatima, kakak kedua Delia. Tangan Kamila perlahan meremas dadanya kuat-kuat. Air mata yang sejak tadi menggumpal kini terurai sudah. Tangis Ibu beranak dua itu pecah. Pilu sekali. "Aku menyerah, Mas ...." Kamila berbicara dengan bibir bergetar. "Aku menyerah ....""Apa yang kamu katakan, Kamila? Delia bohong, aku tidak pernah menghamili wanita lain! Aku memang brengsek, tapi ... tapi percaya padaku, aku tidak mungkin membuat Fatima hamil." Haikal tersenyum sinis men
***"Apa sih, Rin? Kenapa Bapaknya Haris, hah?" Om Dani memekik kesal. Mobil yang melaju dengan kecepatan sedang hampir saja lepas kendali karena suara Erina yang terdengar mengagetkan. "Bahaya teriak-teriak di tengah jalan begini, Ayah kaget tau gak?!"Erina tak acuh dengan Om Dani yang sedang menggerutu. Kepalanya masih menoleh ke belakang untuk memastikan bahwa pria paruh baya yang ia tatap tadi bukanlah calon mertuanya. "Pengamen tadi, Yah, dia calon mertuaku."Alih-alih percaya, Bibi Naomi dan Om Dani justru tergelak. "Erina ... Erina ... kamu ini bicara apa sih, mana ada pengamen tadi calon mertua kamu? Wajahnya saja tidak terlihat semua, bisa jadi kamu salah lihat. Mama nih yang cari gara-gara, bikin Erina kepikiran!" gerutu Om Dani lagi. "Sudah, jangan dibahas lagi! Haris itu TNI, Rin, mana mungkin orang tuanya jadi pengamen. Aneh kamu itu!"Erina menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Mungkin memang iya, mana mungkin Haris
***"Haikal, woi!"Delia terperanjat ketika suara di seberang sana terdengar membentak. "Kamu dengar kan aku ngomong apa? Kita ketemu di Restoran Delima, jangan sampai ada yang tahu, Delia sekalipun. Awas aja!"Delia menghela napas perlahan. Suara ini ... suara yang tidak asing di telinga Delia. "Mau apa? Kalau ada perlu datang saja ke rumah," jawab Delia seketika membuat hening panggilan yang tengah berlangsung. "Kenapa aku tidak boleh tau, apa yang mau kamu bicarakan ... Haris?""De-- Delia?" "Ya, ini aku," jawab Delia dingin. "Kenapa, mau apa bertemu suamiku?"Helaan napas terdengar berat di seberang sana. Haris tidak berbicara, cukup lama panggilannya dibiarkan hening sampai akhirnya Haikal keluar dari dalam kamar mandi dan bertanya, "Siapa, Sayang?""Haris," jawab Delia sembari menyerahkan ponsel pada suaminya. "Assalamualaikum ....""Brengsek! Kamu sengaja minta Delia mengangkat panggilanku kan?" hardik Haris sengit. "Hei, Haikal ... aku ada perlu sama kamu, bukan sama Delia j