***"Kamu mengancamku menggunakan nama Mbak Fatima, Mas?" Delia menggenggam erat jemari Haikal. Mustahil jika saat ini hatinya baik-baik saja. Delia panik. Khawatir. Takut jika Fatima benar-benar hancur di tangan Faisal. "Dan kamu pikir aku peduli?" Sudut bibir Delia terangkat mencetak senyum sinis. "Kamu salah jika menganggap Mbak Fatima berharga buatku, Mas Faisal. Setelah aku menikah maka prioritas utamaku adalah suamiku, bukan saudara ataupun yang lainnya." Ucapan Delia terdengar menohok. Mati-matian istri Haikal itu mempertahankan agar suaranya tidak bergetar. Delia tidak mau Faisal mengambil keuntungan dari perasaannya yang mudah tersentuh. Faisal masih berdiri di depan Delia dan Haikal sementara Jaka terlihat bingung dengan apa yang mereka bicarakan."Foto apa maksudmu, Sal, foto Fatima?" tanya Jaka penasaran. "Bahkan jika kedua orang tuamu hancur, Delia?" Faisal tak acuh dengan pertanyaan Jaka. Pria itu lebih suka mengorek kelemahan yang ada pada diri Delia. "Kamu rela meli
***"Aku gak mau tau, Mas, kamu udah janji mau nikahin aku tahun ini!"Faisal menyentak napas kasar. Di sebuah kamar hotel, seorang wanita terduduk di atas ranjang sambil melilit tubuhnya menggunakan selimut tebal. "Tidak semudah itu, Sya ....""Apanya yang tidak mudah, hah? Kamu sengaja mengulur waktu karena masih menggilai Delia, iya kan?""Sya, bukan seperti itu tapi ... ck, ayolah ... aku menerima tawaran Jaka untuk menikahi adiknya tidak lain hanya demi kamu. Aku berusaha mencari cara agar bisa lebih dekat denganmu, Sya!""Omong kosong," cibir wanita cantik itu sambil terkekeh sumbang. "Aku bahkan tidak tinggal satu rumah dengan Ibu, menggunakan Delia sebagai objek kedekatan kita itu terdengar tidak masuk akal. Bohong!"Faisal berjalan mendekat. Kaos dalam genggaman ia pakai asal karena mendengar kekasihnya mulai merajuk. Di atas ranjang berwarna putih, Faisal merengkuh tubuh wanitanya dengan erat. Diusapnya kepala Sang kekasih perlahan serta lembut."Kalau kamu menikahi Delia,
***"Mas, aku punya bukti!""Cukup, Delia!" bentak Jaka sembari terpejam. Urat-urat di lehernya menegang, dadanya naik turun melihat Delia begitu kekeuh ingin menjatuhkan nama Meisya. "Cukup meracuni otakku dengan semua omong kosongmu itu!""Delia bicara benar, Mas ....""Diam, Haikal! Sadarlah pada posisimu, Petani!""Mas!" Delia berteriak marah. "Kita sedang membahas Mbak Meisya yang bermain serong, lalu apa hubungannya dengan pekerjaan Mas Haikal? Dia memang petani, lantas apa kamu pikir dia tidak berhak melindungi keluargaku?"Jaka terkekeh sumbang. Dia berjalan mendekati Delia dan mencengkeram bahu adiknya kuat-kuat. "Aku ... tidak sebodoh itu mau mendengarkan semua perkataanmu, Delia. Kau hanya ingin rumah tanggaku hancur berantakan, iya kan? Kau marah karena aku menghina suamimu lalu kalian datang kesini ingin memfitnah Meisya. Itu rencana kalian, bukan?"Rahang Haikal mengeras. Dihempasnya tangan Jaka yang sejenak membuat Delia menahan nyeri. "Ingat pesan Mas, Dek!" ujar Haik
***"Kampung amat rumah Haikal ya, Ma, lihat ... rumah-rumahnya masih belum tembok. Jangan-jangan rumah Haikal juga gitu, ih!" Erina bergidik ngeri menatap satu per satu rumah yang ada di pinggir jalan menuju Kampung Haikal. "Fix, kalau aku jadi Delia gak bakalan sudi diajakin pulang kesini. Mau hidup sama jangkrik?" Erina masih terus menggerutu sementara mobil yang Haris kendarai sudah memasuki halaman yang begitu luas. "Sudah sampai, Mas?" tanya Erina. Putri semata wayang Bibi Naomi itu seketika membuka pintu mobil dan keluar. "Ini rumah Haikal?" tanya Erina pada dirinya sendiri. "Gila, dilihat dari rumahnya saja sudah ketahuan kalau Haikal bukan orang kaya. Sumpah, meskipun aku bodoh tapi aku yakin kalau ....""Neng, mari!"Erina menoleh dan mendapati Yu Jamilah berdiri di belakangnya. "Mari ikut saya, Neng," ajak Yu Jamilah ramah.Mobil-mobil milik keluarga Delia terparkir di halaman luas yang ditumbuhi banyak pohon rindang. "Ikut kemana, Bi?" tanya Erina ketus, "Ini kan rumah H
***"Mari masuk, Besan!" Emak mendekati Bu Sarah dan mempersilahkan semua keluarga Delia masuk. "Rumah di kampung memang begini, ruang tamunya lebar. Mari!""Ini rumah siapa, Mak?" tanya Bibi Naomi setelah termangu di depan pintu. "Saudara Haikal?"Emak terkekeh seraya membuka pintu rumah lebih lebar. "Ini rumah Haikal dan Delia, monggo masuk!"Satu per satu keluarga Delia masuk ke dalam rumah. Di urutan paling belakang, Bibi Naomi dan Bibi Husniah saling bergandengan tangan dan perlahan menginjak keramik teras yang terasa begitu dingin. Rumah Haikal bukanlah rumah mewah seperti di kota-kota pada umumnya. Rumah bercat putih yang berdiri kokoh diantara rumah-rumah kayu yang ada di sebelahnya membuat rumah putra Emak Karti itu terlihat megah. Halamannya tidak begitu luas, namun ada pagar tembok yang dibangun mengelilingi bagian depan rumah. Ketika pintu rumah terbuka lebar, ruang tamu yang luas membuat semua orang betah berlama-lama disana. Belum lagi udara kampung yang segar membuat
***"Selamat ya, Kang, aku gak nyangka kalau pilihan kamu ternyata gadis kota yang tampilannya bahkan ...." Ranti nyengir sambil memindai tubuh Delia yang terbalut gaun pengantin mewah. "Saya pikir Kang Haikal menolak pinangan Abah karena wanita lain yang jauh lebih salehah, ternyata tidak," imbuhnya lirih. Senyum sinis di bibirnya membuat hati Delia seakan diremas. Perih. Nyeri. "Oh ya, saya Ranti. Putri Abah Jufri, Ustad kondang di Kampung ini." Ranti mengulurkan tangan di depan Delia. Delia menerima uluran tangan Ranti seraya tersenyum samar. "Delia ....""Ah, nama yang bagus," dusta Ranti, "Kamu cantik, tapi sayang ... kurasa tipe Kang Haikal bukan wanita seperti kamu."Delia mengangguk lemah dengan bibir yang terus tersenyum menanggapi cibiran Ranti. Hatinya boleh terluka, tapi jangan sampai wanita di depannya itu merasa menang karena sudah berhasil menghancurkan mentalnya. "Kalau saya bukan tipe Mas Haikal, sepertinya yang berdiri di samping suami saya jelas adalah wanita lai
***"Masya Allah, ini Neng Delia?" pekik Yu Jamilah saat mendapati menantu Pak Gani tengah berbelanja di tempat Tukang Sayur. "Cantik sekali, Nduk. Bulek sampai pangling," pujinya sembari mengelus lengan Delia lembut.Sudah dua hari berlalu setelah acara pesta pernikahannya di Kampung, namun Delia baru berani menampakkan batang hidungnya lantaran masih merasa canggung jika bertemu tetangga-tetangga Haikal. Pagi ini Delia sengaja berbelanja lebih petang agar tidak bertemu banyak orang di tempat Mang Udin, tapi sayang ... Yu Jamilah sepertinya begitu hapal dengan perawakan Delia."Delia menantu Emak Karti?" timpal tetangga Haikal yang lain. "Serius, Yu Milah?"Yu Jamilah mengangguk. "Bulek hampir tidak mengenali menantu juragan sendiri, Nduk. Ini ... kamu benar-benar anggun memakai gamis dan kerudung. Cantik!" "Bulek bisa saja," sahut Delia tersipu. "Saya pamit dulu boleh kan, Bulek? Mas Haikal pagi ini katanya mau ke sawah, memantau pekerja yang lagi panen cabe.""Ah, iya ... iya, mo
***"Nanti tidak perlu antar makan siang, titipkan saja ke Bulek Jamilah ya," pinta Haikal sebelum berangkat ke kebun. "Jangan capek-capek, oke?"Delia mengangguk patuh. Tangan Haikal diraih dan dicium takzim sebelum akhirnya Sang Suami berlalu menggunakan motor. Belum sempat Delia menutup pintu, seseorang sudah berdiri di halaman rumahnya sambil bersedekap dada. "Mau bersaing denganku?"Delia menoleh. Keningnya berkerut mendapati Ranti menatap nyalang ke arahnya. "Dari belanja, Mbak?" tanya Delia basa-basi, berusaha mengenyahkan pertanyaan Ranti barusan. "Mari, Mbak, saya masuk dulu ya.""Kamu tidak akan pernah bisa menyamai aku, Delia."Napas panjang berhasil Delia hela perlahan. Sebenarnya enggan meladeni ocehan Ranti apalagi tidak ada Haikal di rumah, tapi perkataan Ranti barusan berhasil menyentil hati Delia."Menyamai kamu?" Ulang Delia tenang. "Dari segi apa, Mbak?"Ranti tersenyum sinis. "Kamu pikir aku tidak tahu kalau kerudungmu hanya untuk menyaingiku? Asal kamu tahu, seka