***"Kue segitu banyak buat Bibi Husniah dan Bibi Naomi?" Jaka menimpali. "Eyang gak salah ngomong kan?"Meisya bersedekap dada, jengah melihat sikap dan tingkah keluarga suaminya. "Yang benar saja, Eyang, masa kue segitu banyak cuma buat Bibi Hus sama Bibi Nao. Gak logis, cacat logika!"Eyang menatap Meisya sengit. Wanita tua yang berdiri dengan sedikit gemetar itu mulai melangkah perlahan mendekati Delia. "Aku tidak mau mendengar apapun, Eyang," kata Delia lemah. "Hari ini cukup melelahkan, aku harap Eyang tidak berkata-kata yang membuat hatiku semakin lelah."Eyang menggeleng. Jemari Delia yang tersemat cincin berlian indah digenggam dan dipandang cukup lama. "Kamu sudah dapat banyak dari calon suamimu, Del. Tidak ada salahnya kalau kue-kue itu untuk Bibi kamu kan?""Bu, sudahlah, aku sudah membagi kue untuk Husniah dan Naomi, jangan memaksa begitu," ujar Bu Sarah menengahi. "Lagipula semua kue dari Haikal tidak serta merta kami habiskan, kami punya tetangga, Bu, kue-kue itu renca
***"Cari jodoh kenapa harus jauh-jauh begini sih, Le?" tanya Yu Rani, tetangga samping rumah Emak Karti. "Bukannya Bulek ini gak suka sama calon istri kamu, Haikal, tapi ... keluarganya kasar sekali."Haikal yang duduk di samping Kang Dirman hanya mampu tersenyum. Mau dibantah model bagaimanapun, keluarga Delia memang kasar terlepas dari sikap Pak Handoko dan Delia yang begitu ‘welcome’ pada tamu."Mereka tidak seharusnya bersikap kasar hanya karena kamu ini petani kan?" seloroh Yu Rani lagi. "Bulek tadi hampir jingkrak-jingkrak waktu lihat Eyang Delia pingsan gara-gara tahu kamu ini anak juragan sawah dan kebun. Puas sekali Bulek, Haikal!"Kang Dirman tertawa disusul dengan tawa Yu Jamilah dan suaminya-- Paklik Junaedi. "Benar, Yu, tadi aku juga hampir terpingkal-pingkal. Bagaimana tidak, wajah keluarga Neng Delia terlihat sangat syok. Mungkin mereka tidak menyangka kalau ada petani yang ternyata kaya raya.""Lah, iya. Masa cuma karena Haikal ini petani lantas bisa diperlakukan kasa
***"Del ....""Aku capek, Mbak," sela Delia, "Kalau Mbak Meisya cuma mau ngajak ribut, mending besok-besok aja deh," imbuhnya.Meisya menggigit bibir bawahnya gusar. "Ehm ... cuma kain kok, Del," katanya ragu. "Mbak dari dulu pengen punya kain sutra teratai seperti punyamu, boleh ya, Del?"Delia menoleh. Matanya lelah tidak lantas membuat Meisya iba. Istri Jaka itu berdiri di depan kamar Delia dengan penuh harap. Bayangan menggunakan baju berbahan sutra membuatnya rela mengemis di depan Delia."Minta sama Mas Jaka," kata Delia jengah. "Mbak punya suami, beli kain sutra bukan perkara sulit kan?""Mas Jaka pasti menolak membelikan, Delia, kamu tau kan seperti apa pelitnya Masmu itu." Meisya cemberut manja di depan Delia. "Ayolah, Del, demi Mbak ...."Delia terkekeh, "Demi Mbak? Gak salah?" Meisya mencebik. Jika saja bukan karena kain yang begitu ia idam-idamkan, tidaklah sudi wanita berambut pirang itu memohon-mohon di depan Delia."Mbak, kalau Mas Jaka tidak mau membelikan kain itu b
***"Maafkan Ibu ...."Delia menggigit bibirnya yang ranum. Sejenak ia menatap Bulek Nina dengan pandangan sendu, lalu beralih menatap Bu Sarah dengan perasaan yang tidak bisa digambarkan. Antara sedih dan senang. Sedih karena Ibunya mendengar perbincangannya dengan Bulek Nina. Senang karena mendengar Bu Sarah menurunkan ego dengan meminta maaf. Luruh sudah kemarahan Delia."Ibu memang egois, Del. Maafkan Ibu ...."Delia menghambur di pelukan Bu Sarah. Wanita muda itu menangis sambil menggeleng. "Aku yang seharusnya minta maaf, Bu. Aku sudah bersikap tidak baik pada Ibu. Maafkan aku," ucap Delia di tengah tangisnya yang sesenggukan. "Aku ... aku hanya tidak suka Ibu terlalu mengagungkan Mas Faisal. Dia sudah beristri, Bu, terlepas dari istrinya yang tidak bisa punya anak, aku tidak sudi menyakiti hati wanita lain. Tidak akan pernah aku lakukan!"Bu Sarah menepuk-nepuk punggung Delia lembut. "Ibu hanya ingin memastikan kalau kamu hidup sejahtera setelah menikah, Delia. Ibu ... ibu sang
***"Ini mobil siapa, Bu?" Meisya bertanya setelah cukup lama tercengang. "Mulus sekali," pujinya tanpa sadar."Benar-benar baru ya, Mbak, beda sama punya Mas Jaka," timpal Delia menyindir. "Warna catnya aja masih mengkilat." Delia menarik ujung bibirnya sinis ketika mendapati kepala Meisya mengangguk tanpa sadar. "Itu mobil Mas Haikal," ucap Delia membuat tiga kepala manusia di sampingnya menoleh bersamaan."Pu-- punya Haikal?" tanya Jaka kaget."Hah, punya petani itu, maksudku ... mobil ini punya calon suamimu, Delia?" Meisya mendelik tidak percaya. "Mobil ini mahal, Del, bagaimana bisa dia ....""Kok percaya," sahut Fatimah menyela. "Zaman sekarang banyak rental mobil. Gitu aja kalian syok!" Fatimah menyembunyikan mimik mukanya yang sempat terkejut. Jaka menarik napas dan menghelanya perlahan. Dipandanginya mobil milik Haikal dengan mobilnya secara bergantian. Berbeda. Dari segi warna saja sudah terlihat timpang. Mobil Haikal berwarna merah menyala serta begitu mengkilat, sementar
***"Kok bawa elf, Rin?" Suara Bibi Husniah memecah keheningan. "Calon suamimu gak punya mobil?"Erina mencebik kesal. Apalagi ketika matanya bersirobok dengan mata Delia, calon istri Haris itu seketika membuang muka. "Mobil Mas Haris ada di bengkel. Ya sudahlah, Bude, mau pakai mobil elf kek, mobil mahal kek, yang penting keluarga calon suamiku datang dengan selamat," jawab Erina ketus. "Kalau Bude mau nyinyir di acaraku, mending pulang deh!"Bibi Husniah melongo melihat sikap Erina yang mendadak sensitif. "Y-- ya ... Bude kan cuma tanya, Rin. Santai dong!" sahut Bibi Husniah tak mau kalah. "Lagian kalau mobil Haris di bengkel, ya tinggal jawab aja gak pake ngegas!"Erina menatap Bibi Husniah dengan dada naik turun. Kesal. Pertama karena kedatangan Haris yang menimbulkan rasa malu. Bagaimana bisa seorang abdi negara melamar kekasihnya menggunakan mobil elf? Kedua karena Bibi Husniah mencecarnya di depan banyak orang. Apalagi di depan Delia dan Haikal, Erina mendadak geram mengingat
***"Beda bagaimana maksudnya?" Haris bersuara. "Ya beda. Coba lihat, punya Mbak Erina berkilau sekali.""Kalau seperti itu berarti sudah jelas, Nis, punyaku ini asli sementara milik Delia ... ya kita maklumi saja, petani mana bisa beli berlian asli," sahut Erina sombong. "Del, jangan sedih kalau ternyata berlian kamu itu palsu, kasihan Haikal, dia sudah susah payah menipu," imbuhnya disusul gelak tawa Haris dan keluarganya."Jadi ini saudara kamu yang dilamar petani, Erin?" tanya Bu Nela seraya menatap Delia remeh. "Cantik sih, tapi kok mau-maunya sama petani. Itu calon suami kamu?" Bu Nela menunjuk Haikal dengan telunjuknya.Delia mengangguk. Senyum di wajahnya menandakan bahwa ucapan Erina bagai angin lalu di telinganya."Iya, Tante. Ini calon suami saya," jawab Delia bangga. "Salam kenal," ucapnya lagi.Bu Nela menarik ujung bibirnya sinis. Pun dengan Pak Galih, pria paruh baya itu menepuk-nepuk pundak Haris seolah memberi tahu semua orang bahwa putranya lebih segalanya dari Haik
***"Surat-surat apa yang kamu bilang sama Bibi Naomi tadi, Del?" tanya Fatima penasaran. "Haris sampai menoleh, dia kelihatan marah sekali. Cincin Erina palsu ya?"Delia mengedikkan bahu. Dia membuang muka menatap jalanan alih-alih menjawab pertanyaan Fatima. Entah mengapa, rasa sakit hati pada kakak keduanya belum juga surut. Teringat bagaimana Fatima mencaci dan menghina Haikal, calon suaminya. "Delia?" Panggil Fatima, "Surat-surat apa sih?""Apa sih, Mbak," jawab Delia ketus. "Jangan dibiasakan kepo urusan orang lain. Gak baik!""Makanya cerita, surat apa yang kamu maksud? Cincin Erina pasti palsu kan, atau ... cincin kamu yang palsu?" selidik Fatima sambil melirik Haikal. "Kamu ... benar petani kaya, Haikal? Cincin Delia bukan berlian palsu kan?"Haikal tersenyum tipis menanggapi ocehan Fatima. Pria bertubuh tegap itu bahkan tidak mengalihkan sedikitpun pandangannya pada jalanan yang ada di depan. "Fatima!" tegur Bu Sarah, "Jaga ucapan kamu!""Aku cuma bertanya, Bu. Benar yang
ENDING***"Itu bukannya mantan pacar kamu, Sayang?"Hafsah mengikuti arah telunjuk Biru. Benar saja, di meja makan yang terletak di sudut, Azka duduk berhadapan dengan Safina. "Iya. Lagi kencan kali, Mas, sama seperti kita," sahut Hafsah tak acuh."Mau gabung?" tawar Biru dan dibalas gelengan kepala oleh Hafsah. "Tidak perlu memaksakan diri, Mas Biru.""Ya gapapa, Sayang, kita harus menjalin hubungan yang baik dengan mantan. Yuk!"Biru menggandeng tangan Hafsah dan berjalan mendekati meja yang hanya diisi oleh Azka dan Safina. "Hai ...."Azka dan Safina cukup terkejut melihat Hafsah datang bersama seorang lelaki. "Mbak Hafsah," ucap Safina sumringah. "Kapan datang ke Surabaya, kok gak kabar-kabar sih?"Respon Safina yang welcome membuat rasa takut yang sempat Hafsah rasakan memudar perlahan."Tadi niatnya gak mau ganggu acara kencan kamu sama Mas Azka, eh Mas Biru malah ngajakin gabung," ujar Hafsah jujur. "Eh, btw ini Mas Biru. Suamiku."Safina dan Azka saling pandang, "Kok Mbak
***Dua bulan berlalu setelah pesta pernikahan yang digelar secara mewah, hari ini Biru dan Hafsah sedang menikmati liburan di Kota Surabaya. Bukan luar negeri yang Hafsah mau, melainkan kota dimana banyak tercipta kenangan indah bersama Ranti dan kedua orang tuanya. Sengaja Biru menyetir mobil sendiri karena tidak mau liburannya yang ditunggu sejak dua bulan yang lalu diganggu oleh orang lain. Perjalanan yang melelahkan terasa menyenangkan karena sepanjang jalan keduanya tidak henti-hentinya melempar candaan. Hafsah membuka snack yang ada di kursi belakang. Sambil terus bercerita tentang masa kecilnya, sesekali tangan Hafsah menyuapi Biru dengan makanan ringan yang ada di tangan. "Mau cari makan dulu gak, Sayang?" Biru bertanya tanpa menoleh. "Nanti sampai hotel biar bisa langsung tidur. Capek sekali, Yang," keluh Biru. "Boleh," jawab Hafsah antusias. "Ini bentar lagi juga nyampe Hotel, Mas. Cari makan yang dekat-dekat sini saja ya."Biru mengangguk patuh. Matanya menatap satu pe
***"Jadi dia berhasil menggoda kamu, Mas?"Nisya berada jajaran para staf yang hendak memberi selamat. Di belakangnya, Anina justru tersenyum sinis seraya menatap Hafsah yang hari ini terlihat sangat menawan. Gaunnya mewah, perhiasan yang ia kenakan pun tidak berlebihan namun memberi kesan mahal. "Kamu keluar sendiri, atau aku meminta security menyeret tubuhmu keluar dari gedung ini?"Nisya tertawa sumbang. Di atas pelaminan, beberapa staf berdiri agak jauh sementara tepat di depan Biru dan Hafsah, Nisya bersungut-sungut marah karena tidak terima dengan pernikahan diantara keduanya. "Kamu bilang sulit mencari penggantiku, Mas," tutur Nisya sembari tersenyum sinis. "Tapi ternyata tidak lama setelah kamu memutuskan hubungan kita, pernikahan ini malah digelar."Rahang Biru mengeras. "Aku tidak akan melepaskan kamu jika acara pernikahan ini sampai ricuh, Nisya!"Nisya bertepuk tangan, "Wow. Secinta itukah kamu pada wanita ini? Apa yang sudah dia berikan sebelum kalian menikah? Keperawa
***"Apa?" tanya Biru tanpa berniat menjauhkan bibirnya dari bibir Hafsah. "Mas, ih!" Hafsah mendorong tubuh Biru dengan kesal. "Aku mau mandi, gerah!""Sayang!" Panggil Biru membuat langkah kaki Hafsah terhenti. "Apa?" tanya Hafsah ketus. "Bareng," ucap Biru merengek manja. Hafsah mencebik sebelum akhirnya berlari memasuki kamar mandi sampai-sampai lupa membawa baju ganti. Biru yang menyadari itu seketika tersenyum licik. Bisa dipastikan setelah ini Hafsah keluar hanya mengenakan bathrobe dan membayangkan hal itu saja sudah membuat kepalanya pusing. "Mas!" teriak Hafsah dari dalam kamar mandi. Biru berdiri di depan pintu, kemudian menyahut, "Kenapa, Sayang?""Mas, aku lupa bawa baju ganti ....""Aku tidur dulu ya, lelah sekali," sela Biru berdusta. "Ah, begitu ya. Ya sudah, nanti aku ambil sendiri, Mas tidur saja yang lelap."Biru tidak menjawab, pria itu justru menyandarkan tubuhnya di atas ranjang sambil memeriksa laporan kerja dari laptop yang sengaja ia bawa. Pintu kamar m
***Biru menuntun bahu Hafsah dan membawanya lebih dekat pada gundukan tanah yang masih basah. "Hapus air matamu jika tidak ingin Bunda sedih di dalam sana, Haf."Wajah Biru menegang, namun ketika Hafsah menggamit jemarinya, CEO muda itu perlahan menghela napas panjang. "Dia Mas Azka, Mas," ucap Hafsah memperkenalkan. Biru hanya mengangguk seraya tersenyum, kemudian kembali menuntun Hafsah mendekati makam yang baru saja memiliki penghuni itu. Para pelayat beberapa di antaranya memilih pulang setelah jenazah Ranti dikebumikan, namun beberapa yang lain masih berada di sana, sedikit banyak membantu merapikan makam yang baru saja ditabur bunga beraroma wangi. "Aku pamit ya, Haf. Semoga Bunda khusnul khatimah.""Aamiin, terima kasih banyak, Mas," sahut Azka. Azka mengangguk ragu, kemudian berkata, "Mari, Mas!"Biru tidak menjawab namun kepalanya mengangguk di depan Azka. "Semoga semua amal ibadah Bunda diterima Allah," ucap Hafsah nyaris tidak bersuara. "Doakan yang baik-baik untuk a
***"Bunda ...." Hafsah berteriak histeris sementara Biru segera menekan tombol yang ada di samping ranjang Ranti. "Bangun, Bun!" Hafsah mengguncang tubuh Ranti berharap wanita yang sudah ia anggap sebagai Ibu kedua itu mau membuka mata. "Tidak, Bun. Ini gak lucu!" teriak Hafsah. Biru menarik tubuh Hafsah dan memberi kesempatan para tenaga medis untuk memeriksa keadaan wanita paruh baya di atas ranjang itu. "Buka mata Bunda. Bunda berjanji mau lihat aku menikah dengan Pak Biru. Bangun, Bunda Ranti. Bangun!" Hafsah berteriak tanpa perduli apakah akan ada yang terganggu dengan suaranya. "Haf, tenang ....""Tidak, Mas. Bunda udah gak napas, aku tidak merasakan hangat napasnya. Bunda ... Bunda bohong padaku! Bunda pembohong!" Suara Hafsah terdengar pilu. "Bunda masih hidup kan, Sus? Aku yang bodoh ini pasti salah mengira ....""Innalilahi wa inna ilaihi raji'un ...."Dua orang suster mengucap kalimat istirja membuat dunia Hafsah yang baru saja berwarna kembali kelabu. Tidak lama, seora
***pov RantiHatiku terenyuh melihat Hafsah datang bersama calon suaminya. Ya, meskipun Hafsah belum mengatakan tentang lamaran yang dia terima, tapi aku yakin Hafsah sudah memantapkan diri untuk memulai kehidupan yang baru dengan pria bernama Biru itu. Aku lega, setidaknya setelah luka yang aku tanam di hatinya, gadis cantik itu pada akhirnya bisa bangkit lagi. Tidak mudah memang melupakan Azka, pesona anak dan Bapak itu memang teramat kuat, bahkan sampai detik ini Hafsah tidak tau jika nama Mas Haikal masih menjadi penghuni di hatiku. Bohong jika aku tidak bahagia dengan kehadiran Hafsah. Gadis cantik yang dulu sering tidur dalam pangkuanku itu ternyata masih menghormati aku sebagai Ibu asuhnya. Meskipun tidak bisa dipungkiri jika aku adalah dalang dari pisahnya dia dengan kedua orang tuanya. Aku bersyukur karena Hafsah tidak lagi mempermasalahkan itu. Aku bahagia. Terharu dengan ketulusan Hafsah padaku.Tolong tunggu sebentar, Bah, aku sudah berjanji akan menemaninya sampai ia m
***Dokter memeriksa keadaan Ranti yang sudah mulai membaik. Tidak ada penyakit serius, hanya saja wanita yang hidup sebatang kara itu diharuskan istirahat total karena tubuhnya yang kehilangan banyak cairan. "Setelah infusnya habis, pasien sudah boleh pulang.""Terima kasih, Dokter."Hafsah menghela napas lega, setidaknya Ranti tidak harus menginap lebih lama di Rumah Sakit. Dokter yang baru saja memeriksa Ranti keluar dari ruangan. Biru meminta ruangan VIP untuk Bunda dari calon istrinya. Hanya sehari semalam, namun Hafsah tahu seberapa besar tarif biaya di Rumah Sakit Unair. Cukup mahal memang. Ranti mengusap pipi Hafsah seperti seorang Ibu yang sudah lama tidak bertemu dengan putrinya. Kini Ranti mengerti bagaimana perasaan Bu Rania ketika Hafsah ia culik, dulu. Tidak salah jika banyak orang mengatakan jika Bu Rania hampir gila, karena sehancur itu memang kehilangan orang yang dicintai. "Dia siapa?" tanya Ranti sambil menunjuk Biru yang masih terlelap di atas sofa. "Mas Biru,
***Biru segera berlari karena teriakan Hafsah dari dalam makam. Bukan hanya itu, pengemudi yang semula dijanjikan akan dibayar sesuai kemauannya pun ikut turun dan melihat seorang wanita paruh baya tergeletak di atas tanah."Mas, Bunda ...." Hafsah menangis histeris. Wajah Ranti sangat pucat, tubuhnya yang semula mengeluarkan keringat dingin kini berubah panas. Dia demam. "Biar aku gendong, tolong buka pintu mobilnya," pintu Biru yang dibalas anggukan kepala oleh Hafsah. Belum sempat Hafsah berlari, pengemudi Gr*b lebih dulu melaksanakan perintah Biru untuk membuka pintu mobil dan bersiap duduk di belakang kemudi. Biru setengah berlari sembari membopong tubuh Ranti yang tidak terasa berat sama sekali. Ranti kehilangan banyak berat badannya, apalagi sejak Hafsah memutuskan pindah ke Jakarta, tubuhnya kian mengurus. Hafsah menangis, namun kali ini tidak bersuara, dia khawatir semakin membuat Biru panik apalagi ketika melihat prianya itu sedikit ngos-ngosan untuk menuju mobil yang te