***"Masya Allah, Le." Emak Karti berjalan tergopoh ketika melihat Haikal berdiri di ambang pintu. "Emak sengaja membuka pintu sampai tengah malam, Haikal. Emak khawatir, Cah Bagus!"Haikal mencium punggung tangan Emak yang sudah keriput. "Assalamualaikum, Mak ....""Oalah, Haikal ... Haikal. Waalaikumsalam," jawab Emak sedikit ketus. "Ayo masuk! Jangan suka bikin Emak sama Bapak khawatir, Haikal!"Haikal mengangguk lemah. Sadar sepenuhnya kalau sikapnya kali ini benar-benar membuat kedua orang tuanya cemas. Rencana ingin menginap di hotel ia urungkan ketika sebuah pesan dari Kang Dirman masuk ke dalam ponselnya. Pesan yang berbunyi, "Posisi, Haikal? Akang mau jemput kamu atas perintah Juragan Gani."Haikal tidak bisa mengabaikan pesan Kang Dirman begitu saja. Sekalipun sudah malam, perintah Bapaknya memang tidak bisa diabaikan begitu saja oleh beberapa orang termasuk pria yang usianya lima tahun di atas Haikal. Kang Dirman. Sudirman Abraham.Tepat pukul sembilan malam, Kang Dirman b
***Delia mengerutkan kening ketika membaca pesan masuk dari nomor yang tidak bernama. "Siapa ....?" gumam Delia lirih. "Apa istri Mas Faisal? Tapi, bukankah istri pertamanya tidak punya anak? Lalu siapa yang kirim pesan padaku?"Delia urung membalas pesan. Diletakkannya ponsel di atas nakas sementara dirinya buru-buru keluar dari dalam kamar.Pagi ini, ada beberapa kerabat yang akan membantu menyiapkan hidangan untuk menyambut kedatangan keluarga Haikal. "Selamat pagi, Mbak Sarah," sapa Bibi Husniah, adik Bu Sarah yang tinggal tidak jauh dari rumahnya. "Sudah belanja apa saja? Kita langsung masak atau gimana ini?" Wanita cantik dengan perhiasan yang memenuhi jari serta pergelangan tangannya itu nampak melenggang masuk ke dalam rumah."Calon Delia pasti orang kaya, kalau tidak mana mungkin Mas Handoko memanggil kita semua untuk membantu memasak. Duh, Mbak ... harusnya pesan catering saja, capek tau gak sih kalau masak makanan bermacam-macam," timpal Bibi Naomi, adik Bu Sarah yang pa
***"Hanya karena kami hidup tanpa kemewahan Ibu mengatakan kalau Sarah memilih pria yang salah?" Pak Handoko meletakkan dengan kasar dua kantong plastik besar dari tangannya. "Ternyata seperti itu penilaian Ibu terhadapku. Pantas saja istriku kekeuh ingin menjodohkan Delia dengan pria kaya tanpa peduli apakah dia beristri atau tidak."Eyang Salma memijit pelipisnya dengan gerakan lembut. "Kalau kamu masih menganggap Ibu sebagai orang tua, tolak lamaran petani itu untuk Delia, Salah!"Delia melengos. Masalah yang seharusnya sudah teratasi dengan sempurna kini kembali datang melalui restu Eyang Salma. Wanita tua itu menolak memiliki cucu menantu seorang petani. Pak Handoko menghela napas panjang. Keputusannya salah membawa ipar-iparnya datang ke rumah. Niat hati ingin mempererat tali silaturahim yang hampir putus, ternyata kedatangan keluarga Bu Sarah justru membuat suasana semakin memanas. "Aku sudah menolaknya, Bu ... bahkan Delia akan dipersunting teman baik Jaka, tapi ....""Mas
***"Bu, sudah, cukup!" tegur Pak Handoko tegas. "Pembahasan kita tentang rencana pernikahan Delia sudah selesai. Kalau Ibu tidak mau meminta bantuan tetangga, biar Bapak pesan makanan catering saja untuk acara besok. Bapak sudah muak membahas ini."Bu Sarah masih menatap Delia dengan penuh harap. Berdoa di dalam hati semoga bungsunya luluh dan mau menuruti semua permintaannya sekalipun menyandang status perebut lelaki orang menjadi taruhannya. Tidak ada cara lain. Andai saja Faisal mau menikahi Fatimah, tentulah wanita paruh baya itu berhenti memaksa Delia. Sayang, Fatimah bukan wanita yang bisa membuat Faisal tergila-gila. "Del ...."Suara Bu Sarah terdengar parau. Matanya yang basah tidak lantas membuat Delia iba. Alih-alih simpati, Delia justru semakin geram dengan sikap Sang Ibu. "Biar aku yang ke rumah Bulek Nina, Pak. Sayang bahan-bahan yang sudah Bapak beli," ucap Delia tanpa menatap Bu Sarah. "Maaf, Bu ... Mas Haikal tetap menjadi pilihanku."Delia berlalu meninggalkan rum
***"Hai, Del ... ternyata tidak semua jodoh itu cerminan diri ya," celetuk Erina yang berdiri tepat di depan Delia. "Kamu sarjana, tapi ... duh, aku benar-benar kaget waktu Mama bilang kalau pria yang akan melamar kamu itu petani.""Lalu kenapa kalau petani?" sahut Delia sambil bersedekap dada. "Kau pikir petani tidak pantas menikah dengan seorang sarjana, hah?"Erina tergelak. Di sampingnya, pria tampan bertubuh tinggi tegap turut tertawa melihat kekasihnya sedang tertawa. "Sayang sekali gelar yang kamu sandang, Delia. Astaga ... andai aku berada di posisi kamu, tidak bisa dibayangkan bagaimana malunya Mama di depan banyak orang. Sekolah tinggi-tinggi sampai sarjana ternyata dinikahi pria sekelas tani. Oh my ... memalukan sekali kan, Sayang?" Erina bergelayut manja di lengan kekasihnya. "Tau gitu mending dulu langsung nikah aja, biar strata kalian sama. Daripada buang-buang duit tapi ujung-ujungnya dapat suami miskin ...."Delia terkekeh. "Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya," ucap
***"Apa yang kamu tanyakan, Rin? Jelas-jelas calon suami Delia itu petani. Dengarkan aku, mereka bawa seserahan banyak belum tentu karena mereka kaya. Huh, cuma karena seserahan saja kamu jadi silau, Erina," cibir Meisya. Bibir bisa mencela, namun dalam hati Meisya menyesalkan mengapa seserahan yang Jaka bawa tidak semewah milik Delia. "Paling-paling juga habis jual sawah, makanya bisa bawa seserahan banyak begitu. Atau ... jangan-jangan perhiasannya imitasi?" Meisya cekikikan membayangkan jika semua perhiasan yang tersusun rapi pada tempatnya itu ternyata bukan perhiasan asli."Waalaikumsalam ... mari masuk! Kami sudah menunggu kedatangan keluarga Nak Haikal," ucap Pak Handoko tanpa bisa menyembunyikan senyuman di wajahnya. "Mari, mari! Masya Allah, saya tidak menyangka kalau Haikal akan membawa banyak keluarga.""Rumahnya besar sekali!" "Rumah orang kota bagus-bagus ya, modern semua.""Rapi sekali, beda sama rumah kita di kampung. Alasnya tanah." Tetangga Haikal cekikikan. "Jadi t
DILAMAR ANAK PETANI (19)***"Bu, jangan bikin malu, kita sudah terima lamaran Haikal dengan tangan terbuka, apa-apaan pakai syarat segala. Saya tidak setuju!" Pak Handoko berbicara lirih namun tegas. Eyang Salma melirik sinis, "Dengan atau tanpa persetujuan kamu, Ibu tetap akan memberikan syarat. Bagaimanapun, Delia adalah cucu perempuan Ibu, Ibu mau dia hidup sejahtera setelah menikah."Keluarga Haikal saling pandang. Dari tegasnya kata-kata Eyang Salma, beberapa dari mereka mulai bisa menangkap jelas ketidaksetujuan yang wanita tua itu lontarkan. "Bagaimana, Haikal ... kamu siap mendengarkan syarat dari Eyang?"Haikal menatap Pak Gani dan Emak Karti cukup lama. Setelah surganya terlihat mengangguk samar, barulah Haikal menjawab, "InsyaAllah, saya siap mendengarkan, Eyang.""Rasain! Memangnya cuma bawa seserahan segini banyak bisa dapat sanjungan? Mimpi!" ujar Bibi Naomi sinis. "Mereka pikir orang kota bisa dibeli dengan barang-barang murahan seperti yang mereka bawa apa?""Betul!
***Wajah Eyang Salma memerah. Wanita tua yang berpenampilan nyentrik itu menatap Pak Handoko nyalang. "Jangan lupa kalau Eyang adalah tetua di keluarga kita, Delia," ucapnya dingin. "Semua perkataan Eyang harus dipatuhi."Delia tersenyum getir. "Jangan berlagak bahwa selama ini Eyang peduli pada kami.""Jaga batasanmu, Delia!" bentak Bibi Husniah. "Berani sekali bicara seperti itu pada Eyang, hah?!""Cukup, sudah, cukup!" Pak Handoko menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. "Tidak seharusnya kita berseteru di depan para tamu. Ini memalukan!"Delia kembali menunduk. Keluarganya memang dari kota, tapi sikap dan sifatnya sangatlah kampungan. Berbeda dengan keluarga Haikal yang terlihat begitu tenang pada setiap situasi."Dengarkan aku baik-baik, yang tidak setuju dengan pilihan Delia, boleh keluar dari rumah ini sekarang juga. Tidak terkecuali Ibu," ucap Pak Handoko tegas. "Delia adalah putriku, aku tau mana yang terbaik untuk anakku. Silahkan!"Eyang Salma membuang muka. B
ENDING***"Itu bukannya mantan pacar kamu, Sayang?"Hafsah mengikuti arah telunjuk Biru. Benar saja, di meja makan yang terletak di sudut, Azka duduk berhadapan dengan Safina. "Iya. Lagi kencan kali, Mas, sama seperti kita," sahut Hafsah tak acuh."Mau gabung?" tawar Biru dan dibalas gelengan kepala oleh Hafsah. "Tidak perlu memaksakan diri, Mas Biru.""Ya gapapa, Sayang, kita harus menjalin hubungan yang baik dengan mantan. Yuk!"Biru menggandeng tangan Hafsah dan berjalan mendekati meja yang hanya diisi oleh Azka dan Safina. "Hai ...."Azka dan Safina cukup terkejut melihat Hafsah datang bersama seorang lelaki. "Mbak Hafsah," ucap Safina sumringah. "Kapan datang ke Surabaya, kok gak kabar-kabar sih?"Respon Safina yang welcome membuat rasa takut yang sempat Hafsah rasakan memudar perlahan."Tadi niatnya gak mau ganggu acara kencan kamu sama Mas Azka, eh Mas Biru malah ngajakin gabung," ujar Hafsah jujur. "Eh, btw ini Mas Biru. Suamiku."Safina dan Azka saling pandang, "Kok Mbak
***Dua bulan berlalu setelah pesta pernikahan yang digelar secara mewah, hari ini Biru dan Hafsah sedang menikmati liburan di Kota Surabaya. Bukan luar negeri yang Hafsah mau, melainkan kota dimana banyak tercipta kenangan indah bersama Ranti dan kedua orang tuanya. Sengaja Biru menyetir mobil sendiri karena tidak mau liburannya yang ditunggu sejak dua bulan yang lalu diganggu oleh orang lain. Perjalanan yang melelahkan terasa menyenangkan karena sepanjang jalan keduanya tidak henti-hentinya melempar candaan. Hafsah membuka snack yang ada di kursi belakang. Sambil terus bercerita tentang masa kecilnya, sesekali tangan Hafsah menyuapi Biru dengan makanan ringan yang ada di tangan. "Mau cari makan dulu gak, Sayang?" Biru bertanya tanpa menoleh. "Nanti sampai hotel biar bisa langsung tidur. Capek sekali, Yang," keluh Biru. "Boleh," jawab Hafsah antusias. "Ini bentar lagi juga nyampe Hotel, Mas. Cari makan yang dekat-dekat sini saja ya."Biru mengangguk patuh. Matanya menatap satu pe
***"Jadi dia berhasil menggoda kamu, Mas?"Nisya berada jajaran para staf yang hendak memberi selamat. Di belakangnya, Anina justru tersenyum sinis seraya menatap Hafsah yang hari ini terlihat sangat menawan. Gaunnya mewah, perhiasan yang ia kenakan pun tidak berlebihan namun memberi kesan mahal. "Kamu keluar sendiri, atau aku meminta security menyeret tubuhmu keluar dari gedung ini?"Nisya tertawa sumbang. Di atas pelaminan, beberapa staf berdiri agak jauh sementara tepat di depan Biru dan Hafsah, Nisya bersungut-sungut marah karena tidak terima dengan pernikahan diantara keduanya. "Kamu bilang sulit mencari penggantiku, Mas," tutur Nisya sembari tersenyum sinis. "Tapi ternyata tidak lama setelah kamu memutuskan hubungan kita, pernikahan ini malah digelar."Rahang Biru mengeras. "Aku tidak akan melepaskan kamu jika acara pernikahan ini sampai ricuh, Nisya!"Nisya bertepuk tangan, "Wow. Secinta itukah kamu pada wanita ini? Apa yang sudah dia berikan sebelum kalian menikah? Keperawa
***"Apa?" tanya Biru tanpa berniat menjauhkan bibirnya dari bibir Hafsah. "Mas, ih!" Hafsah mendorong tubuh Biru dengan kesal. "Aku mau mandi, gerah!""Sayang!" Panggil Biru membuat langkah kaki Hafsah terhenti. "Apa?" tanya Hafsah ketus. "Bareng," ucap Biru merengek manja. Hafsah mencebik sebelum akhirnya berlari memasuki kamar mandi sampai-sampai lupa membawa baju ganti. Biru yang menyadari itu seketika tersenyum licik. Bisa dipastikan setelah ini Hafsah keluar hanya mengenakan bathrobe dan membayangkan hal itu saja sudah membuat kepalanya pusing. "Mas!" teriak Hafsah dari dalam kamar mandi. Biru berdiri di depan pintu, kemudian menyahut, "Kenapa, Sayang?""Mas, aku lupa bawa baju ganti ....""Aku tidur dulu ya, lelah sekali," sela Biru berdusta. "Ah, begitu ya. Ya sudah, nanti aku ambil sendiri, Mas tidur saja yang lelap."Biru tidak menjawab, pria itu justru menyandarkan tubuhnya di atas ranjang sambil memeriksa laporan kerja dari laptop yang sengaja ia bawa. Pintu kamar m
***Biru menuntun bahu Hafsah dan membawanya lebih dekat pada gundukan tanah yang masih basah. "Hapus air matamu jika tidak ingin Bunda sedih di dalam sana, Haf."Wajah Biru menegang, namun ketika Hafsah menggamit jemarinya, CEO muda itu perlahan menghela napas panjang. "Dia Mas Azka, Mas," ucap Hafsah memperkenalkan. Biru hanya mengangguk seraya tersenyum, kemudian kembali menuntun Hafsah mendekati makam yang baru saja memiliki penghuni itu. Para pelayat beberapa di antaranya memilih pulang setelah jenazah Ranti dikebumikan, namun beberapa yang lain masih berada di sana, sedikit banyak membantu merapikan makam yang baru saja ditabur bunga beraroma wangi. "Aku pamit ya, Haf. Semoga Bunda khusnul khatimah.""Aamiin, terima kasih banyak, Mas," sahut Azka. Azka mengangguk ragu, kemudian berkata, "Mari, Mas!"Biru tidak menjawab namun kepalanya mengangguk di depan Azka. "Semoga semua amal ibadah Bunda diterima Allah," ucap Hafsah nyaris tidak bersuara. "Doakan yang baik-baik untuk a
***"Bunda ...." Hafsah berteriak histeris sementara Biru segera menekan tombol yang ada di samping ranjang Ranti. "Bangun, Bun!" Hafsah mengguncang tubuh Ranti berharap wanita yang sudah ia anggap sebagai Ibu kedua itu mau membuka mata. "Tidak, Bun. Ini gak lucu!" teriak Hafsah. Biru menarik tubuh Hafsah dan memberi kesempatan para tenaga medis untuk memeriksa keadaan wanita paruh baya di atas ranjang itu. "Buka mata Bunda. Bunda berjanji mau lihat aku menikah dengan Pak Biru. Bangun, Bunda Ranti. Bangun!" Hafsah berteriak tanpa perduli apakah akan ada yang terganggu dengan suaranya. "Haf, tenang ....""Tidak, Mas. Bunda udah gak napas, aku tidak merasakan hangat napasnya. Bunda ... Bunda bohong padaku! Bunda pembohong!" Suara Hafsah terdengar pilu. "Bunda masih hidup kan, Sus? Aku yang bodoh ini pasti salah mengira ....""Innalilahi wa inna ilaihi raji'un ...."Dua orang suster mengucap kalimat istirja membuat dunia Hafsah yang baru saja berwarna kembali kelabu. Tidak lama, seora
***pov RantiHatiku terenyuh melihat Hafsah datang bersama calon suaminya. Ya, meskipun Hafsah belum mengatakan tentang lamaran yang dia terima, tapi aku yakin Hafsah sudah memantapkan diri untuk memulai kehidupan yang baru dengan pria bernama Biru itu. Aku lega, setidaknya setelah luka yang aku tanam di hatinya, gadis cantik itu pada akhirnya bisa bangkit lagi. Tidak mudah memang melupakan Azka, pesona anak dan Bapak itu memang teramat kuat, bahkan sampai detik ini Hafsah tidak tau jika nama Mas Haikal masih menjadi penghuni di hatiku. Bohong jika aku tidak bahagia dengan kehadiran Hafsah. Gadis cantik yang dulu sering tidur dalam pangkuanku itu ternyata masih menghormati aku sebagai Ibu asuhnya. Meskipun tidak bisa dipungkiri jika aku adalah dalang dari pisahnya dia dengan kedua orang tuanya. Aku bersyukur karena Hafsah tidak lagi mempermasalahkan itu. Aku bahagia. Terharu dengan ketulusan Hafsah padaku.Tolong tunggu sebentar, Bah, aku sudah berjanji akan menemaninya sampai ia m
***Dokter memeriksa keadaan Ranti yang sudah mulai membaik. Tidak ada penyakit serius, hanya saja wanita yang hidup sebatang kara itu diharuskan istirahat total karena tubuhnya yang kehilangan banyak cairan. "Setelah infusnya habis, pasien sudah boleh pulang.""Terima kasih, Dokter."Hafsah menghela napas lega, setidaknya Ranti tidak harus menginap lebih lama di Rumah Sakit. Dokter yang baru saja memeriksa Ranti keluar dari ruangan. Biru meminta ruangan VIP untuk Bunda dari calon istrinya. Hanya sehari semalam, namun Hafsah tahu seberapa besar tarif biaya di Rumah Sakit Unair. Cukup mahal memang. Ranti mengusap pipi Hafsah seperti seorang Ibu yang sudah lama tidak bertemu dengan putrinya. Kini Ranti mengerti bagaimana perasaan Bu Rania ketika Hafsah ia culik, dulu. Tidak salah jika banyak orang mengatakan jika Bu Rania hampir gila, karena sehancur itu memang kehilangan orang yang dicintai. "Dia siapa?" tanya Ranti sambil menunjuk Biru yang masih terlelap di atas sofa. "Mas Biru,
***Biru segera berlari karena teriakan Hafsah dari dalam makam. Bukan hanya itu, pengemudi yang semula dijanjikan akan dibayar sesuai kemauannya pun ikut turun dan melihat seorang wanita paruh baya tergeletak di atas tanah."Mas, Bunda ...." Hafsah menangis histeris. Wajah Ranti sangat pucat, tubuhnya yang semula mengeluarkan keringat dingin kini berubah panas. Dia demam. "Biar aku gendong, tolong buka pintu mobilnya," pintu Biru yang dibalas anggukan kepala oleh Hafsah. Belum sempat Hafsah berlari, pengemudi Gr*b lebih dulu melaksanakan perintah Biru untuk membuka pintu mobil dan bersiap duduk di belakang kemudi. Biru setengah berlari sembari membopong tubuh Ranti yang tidak terasa berat sama sekali. Ranti kehilangan banyak berat badannya, apalagi sejak Hafsah memutuskan pindah ke Jakarta, tubuhnya kian mengurus. Hafsah menangis, namun kali ini tidak bersuara, dia khawatir semakin membuat Biru panik apalagi ketika melihat prianya itu sedikit ngos-ngosan untuk menuju mobil yang te