***Delia mengerutkan kening ketika membaca pesan masuk dari nomor yang tidak bernama. "Siapa ....?" gumam Delia lirih. "Apa istri Mas Faisal? Tapi, bukankah istri pertamanya tidak punya anak? Lalu siapa yang kirim pesan padaku?"Delia urung membalas pesan. Diletakkannya ponsel di atas nakas sementara dirinya buru-buru keluar dari dalam kamar.Pagi ini, ada beberapa kerabat yang akan membantu menyiapkan hidangan untuk menyambut kedatangan keluarga Haikal. "Selamat pagi, Mbak Sarah," sapa Bibi Husniah, adik Bu Sarah yang tinggal tidak jauh dari rumahnya. "Sudah belanja apa saja? Kita langsung masak atau gimana ini?" Wanita cantik dengan perhiasan yang memenuhi jari serta pergelangan tangannya itu nampak melenggang masuk ke dalam rumah."Calon Delia pasti orang kaya, kalau tidak mana mungkin Mas Handoko memanggil kita semua untuk membantu memasak. Duh, Mbak ... harusnya pesan catering saja, capek tau gak sih kalau masak makanan bermacam-macam," timpal Bibi Naomi, adik Bu Sarah yang pa
***"Hanya karena kami hidup tanpa kemewahan Ibu mengatakan kalau Sarah memilih pria yang salah?" Pak Handoko meletakkan dengan kasar dua kantong plastik besar dari tangannya. "Ternyata seperti itu penilaian Ibu terhadapku. Pantas saja istriku kekeuh ingin menjodohkan Delia dengan pria kaya tanpa peduli apakah dia beristri atau tidak."Eyang Salma memijit pelipisnya dengan gerakan lembut. "Kalau kamu masih menganggap Ibu sebagai orang tua, tolak lamaran petani itu untuk Delia, Salah!"Delia melengos. Masalah yang seharusnya sudah teratasi dengan sempurna kini kembali datang melalui restu Eyang Salma. Wanita tua itu menolak memiliki cucu menantu seorang petani. Pak Handoko menghela napas panjang. Keputusannya salah membawa ipar-iparnya datang ke rumah. Niat hati ingin mempererat tali silaturahim yang hampir putus, ternyata kedatangan keluarga Bu Sarah justru membuat suasana semakin memanas. "Aku sudah menolaknya, Bu ... bahkan Delia akan dipersunting teman baik Jaka, tapi ....""Mas
***"Bu, sudah, cukup!" tegur Pak Handoko tegas. "Pembahasan kita tentang rencana pernikahan Delia sudah selesai. Kalau Ibu tidak mau meminta bantuan tetangga, biar Bapak pesan makanan catering saja untuk acara besok. Bapak sudah muak membahas ini."Bu Sarah masih menatap Delia dengan penuh harap. Berdoa di dalam hati semoga bungsunya luluh dan mau menuruti semua permintaannya sekalipun menyandang status perebut lelaki orang menjadi taruhannya. Tidak ada cara lain. Andai saja Faisal mau menikahi Fatimah, tentulah wanita paruh baya itu berhenti memaksa Delia. Sayang, Fatimah bukan wanita yang bisa membuat Faisal tergila-gila. "Del ...."Suara Bu Sarah terdengar parau. Matanya yang basah tidak lantas membuat Delia iba. Alih-alih simpati, Delia justru semakin geram dengan sikap Sang Ibu. "Biar aku yang ke rumah Bulek Nina, Pak. Sayang bahan-bahan yang sudah Bapak beli," ucap Delia tanpa menatap Bu Sarah. "Maaf, Bu ... Mas Haikal tetap menjadi pilihanku."Delia berlalu meninggalkan rum
***"Hai, Del ... ternyata tidak semua jodoh itu cerminan diri ya," celetuk Erina yang berdiri tepat di depan Delia. "Kamu sarjana, tapi ... duh, aku benar-benar kaget waktu Mama bilang kalau pria yang akan melamar kamu itu petani.""Lalu kenapa kalau petani?" sahut Delia sambil bersedekap dada. "Kau pikir petani tidak pantas menikah dengan seorang sarjana, hah?"Erina tergelak. Di sampingnya, pria tampan bertubuh tinggi tegap turut tertawa melihat kekasihnya sedang tertawa. "Sayang sekali gelar yang kamu sandang, Delia. Astaga ... andai aku berada di posisi kamu, tidak bisa dibayangkan bagaimana malunya Mama di depan banyak orang. Sekolah tinggi-tinggi sampai sarjana ternyata dinikahi pria sekelas tani. Oh my ... memalukan sekali kan, Sayang?" Erina bergelayut manja di lengan kekasihnya. "Tau gitu mending dulu langsung nikah aja, biar strata kalian sama. Daripada buang-buang duit tapi ujung-ujungnya dapat suami miskin ...."Delia terkekeh. "Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya," ucap
***"Apa yang kamu tanyakan, Rin? Jelas-jelas calon suami Delia itu petani. Dengarkan aku, mereka bawa seserahan banyak belum tentu karena mereka kaya. Huh, cuma karena seserahan saja kamu jadi silau, Erina," cibir Meisya. Bibir bisa mencela, namun dalam hati Meisya menyesalkan mengapa seserahan yang Jaka bawa tidak semewah milik Delia. "Paling-paling juga habis jual sawah, makanya bisa bawa seserahan banyak begitu. Atau ... jangan-jangan perhiasannya imitasi?" Meisya cekikikan membayangkan jika semua perhiasan yang tersusun rapi pada tempatnya itu ternyata bukan perhiasan asli."Waalaikumsalam ... mari masuk! Kami sudah menunggu kedatangan keluarga Nak Haikal," ucap Pak Handoko tanpa bisa menyembunyikan senyuman di wajahnya. "Mari, mari! Masya Allah, saya tidak menyangka kalau Haikal akan membawa banyak keluarga.""Rumahnya besar sekali!" "Rumah orang kota bagus-bagus ya, modern semua.""Rapi sekali, beda sama rumah kita di kampung. Alasnya tanah." Tetangga Haikal cekikikan. "Jadi t
DILAMAR ANAK PETANI (19)***"Bu, jangan bikin malu, kita sudah terima lamaran Haikal dengan tangan terbuka, apa-apaan pakai syarat segala. Saya tidak setuju!" Pak Handoko berbicara lirih namun tegas. Eyang Salma melirik sinis, "Dengan atau tanpa persetujuan kamu, Ibu tetap akan memberikan syarat. Bagaimanapun, Delia adalah cucu perempuan Ibu, Ibu mau dia hidup sejahtera setelah menikah."Keluarga Haikal saling pandang. Dari tegasnya kata-kata Eyang Salma, beberapa dari mereka mulai bisa menangkap jelas ketidaksetujuan yang wanita tua itu lontarkan. "Bagaimana, Haikal ... kamu siap mendengarkan syarat dari Eyang?"Haikal menatap Pak Gani dan Emak Karti cukup lama. Setelah surganya terlihat mengangguk samar, barulah Haikal menjawab, "InsyaAllah, saya siap mendengarkan, Eyang.""Rasain! Memangnya cuma bawa seserahan segini banyak bisa dapat sanjungan? Mimpi!" ujar Bibi Naomi sinis. "Mereka pikir orang kota bisa dibeli dengan barang-barang murahan seperti yang mereka bawa apa?""Betul!
***Wajah Eyang Salma memerah. Wanita tua yang berpenampilan nyentrik itu menatap Pak Handoko nyalang. "Jangan lupa kalau Eyang adalah tetua di keluarga kita, Delia," ucapnya dingin. "Semua perkataan Eyang harus dipatuhi."Delia tersenyum getir. "Jangan berlagak bahwa selama ini Eyang peduli pada kami.""Jaga batasanmu, Delia!" bentak Bibi Husniah. "Berani sekali bicara seperti itu pada Eyang, hah?!""Cukup, sudah, cukup!" Pak Handoko menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. "Tidak seharusnya kita berseteru di depan para tamu. Ini memalukan!"Delia kembali menunduk. Keluarganya memang dari kota, tapi sikap dan sifatnya sangatlah kampungan. Berbeda dengan keluarga Haikal yang terlihat begitu tenang pada setiap situasi."Dengarkan aku baik-baik, yang tidak setuju dengan pilihan Delia, boleh keluar dari rumah ini sekarang juga. Tidak terkecuali Ibu," ucap Pak Handoko tegas. "Delia adalah putriku, aku tau mana yang terbaik untuk anakku. Silahkan!"Eyang Salma membuang muka. B
***Emak menepuk lengan Yu Jamilah sambil berdesis, "Ssttt, masuklah ke rumah orang dalam keadaan buta, Mila!"Bahu Yu Jamilah merosot. "Ya maaf, Mak. Tapi lucu aja gitu, ternyata dari tadi mereka merendahkan Mas Haikal karena tidak tau kalau calon suami Neng Delia itu kaya raya. Iya kan?"Emak menatap tajam Yu Jamilah membuat saudara suaminya itu seketika terdiam takut. Sementara di samping Emak, Delia hanya tersenyum dan menyahut. "Tidak apa-apa, Mak. Lagipula yang Bibi Jamilah katakan itu benar."Yu Jamilah manggut-manggut penuh kemenangan. "Tuh kan ....""Alhamdulillah!""Haduh, Bu, bikin panik saja!"Anak-anak Eyang Salma saling menggerutu. Bagaimana tidak, Eyang yang datang dalam keadaan sehat tiba-tiba pingsan di tengah-tengah acara hanya karena mengetahui siapa Haikal sebenarnya. "Delia benar dilamar petani kaya, Rah?" tanya Eyang sekonyong-konyong. Belum reda pening yang dirasa, sebuah pertanyaan