***"Terima kasih ya, Pak." Aku menyerahkan helm milik bapak ojol yang baru saja mengantarku pulang. "Sama-sama, Mbak."Beruntung jaman sudah canggih sehingga aku tidak kesulitan mencari ojek di dekat Kantor. Jika tidak, maka bisa kupastikan saat ini aku masih berdiri di pinggir jalan menunggu tukang ojek lewat. "Assalamualaikum ...."Kulihat Ayah duduk bersantai di teras sementara Ibu sedang menyiram tanaman di halaman. "Waalaikumsalam," jawab keduanya kompak. "Kok pakai ojek, Nduk?""Iya, Pak. Mas Biru ada urusan. Lagian gak enak kalau berangkat minta jemput, pulang minta antar, jadi mulai besok aku berangkat sendiri saja," jawabku jujur. "Jarak dari Kantor ke rumah juga tidak terlalu jauh," imbuhku.Ayah manggut-manggut mengerti, begitu pula dengan Ibu, mereka memang orang tua yang tidak pernah banyak berkomentar juga tidak terlalu dalam mencampuri keputusanku. "Duduk sini!" Tangan ayah menepuk kursi sebelahnya yang kosong. ."Kok disuruh duduk sih, Yah? Anaknya capek mau istir
***Aku memberanikan diri keluar dari dalam mobil. Dengan gerakan perlahan, aku sangat berharap Mas Biru atau kekasihnya tidak melihatku. Kepalaku menunduk. Rasanya tidak sanggup melihat dua manusia yang sedang dimabuk asmara bercumbu mesra di depan mata. Allahu ... Apa Mas Biru tidak takut ada yang melihat adegannya barusan selain aku? Secara ini adalah tempat parkir para staf. Bagaimana jika ada yang melihat? Atau ini bukan hal yang tabu bagi pasangan kekasih di Kota Metropolitan?"Hafsah!" Aku terperanjat. Langkah kakiku terhenti sementara untuk menoleh ke belakang aku tidak memiliki nyali. "Berangkat sama siapa kamu?" tanya Mas Biru setengah berteriak. "Bawa mobil, Pak," jawabku berusaha tenang. Terpaksa, aku berbalik karena tidak mau dianggap sebagai staf yang kurang ajar. Cantik.Kekasih Mas Biru sangat cantik. Lihatlah, sekarang perempuan yang memakai dress berwarna merah dengan panjang selutut itu sibuk mengusap bibirnya. Astaghfirullah, bisa-bisanya aku memperhatikan sed
***"Hati-hati kalau bicara, Haf!" desis Anina. "Mulutmu ....""Ada apa dengan mulutku?" tanyaku tenang. "Salah ya?"Wajah Anina memerah, aku yakin sekali saat ini dia sedang menahan geram. "Mulutmu kurang ajar!" Anina menatapku tajam."Oh ya? Padahal aku berbicara sesuai dengan cara mulutmu berbicara di depanku, Anina.""Brengsek!" sahut Anina lirih. Setelah mengumpat, Anina berlalu sambil menghentak-hentakkan kakinya. Makanan di atas meja masih tersisa banyak, namun aku sudah tidak mood untuk melanjutkan makan siang kali ini. Anina merusak rasa lapar yang sejak pukul sepuluh pagi tadi kurasakan. "Dia yang diusir Bu Nisya?""Wah, parah sih. Berani sekali bekerja satu ruangan sama Pak Biru. Gatel!""Ya kan, harusnya dia menolak. Gak tau diri!""Sekretaris cosplay jadi calon istri Pak Biru, pantas saja Bu Nisya marah. Rasain!"Suara-suara sumbang mulai menusuk telinga. Daripada kondisi hati semakin memburuk, aku segera merapikan wadah makan siang dan berlalu meninggalkan Kantin tanp
***pov SafinaMbak Hafsah tidak lagi pernah membalas pesanku akhir-akhir ini. Dari yang aku dengar, dia bekerja di Jakarta bahkan kedua orang tuanya juga ikut pindah kesana. Jujur, aku merasa bersalah. Bagaimanapun aku menyadari diri bahwa kepergian Mbak Hafsah memang untuk melupakan Mas Azka. Aku memang sempat sedih karena ucapannya saat sehari setelah Mas Leo hampir melecehkanku. Kini aku mengerti, mungkin Mbak Hafsah teramat takut jika calon suaminya berpaling, itu sebabnya tanpa berpikir panjang dia mencaci makiku bahkan memintaku untuk mengakhiri hidup. "Dek, ngapain?"Aku buru-buru menghapus pesan yang baru saja terkirim pada kontak bernama Hafsah. Ya. Aku sengaja berpura-pura sebagai Mas Azka, aku ingin tau apakah Mbak Hafsah akan membalas pesan itu, atau mengabaikannya seperti sebelum-sebelumnya.Jika ada yang bertanya untuk apa aku melakukan itu? Entahlah. Aku merasa ada yang hilang dalam diri Mas Azka. Suamiku itu kini terlihat lebih banyak diam padahal di awal-awal perni
***"Selamat malam, Hafsah. Masya Allah, kamu cantik sekali." Bibi Melati mengusap pipiku lembut. "Ayo masuk, Nak!"Aku mengangguk dan berjalan mengikuti langkah kaki Ayah dan Ibu yang sudah lebih dulu memasuki ruang tamu rumah Pak Biru. Masya Allah, megah sekali. Ini bahkan kali pertama aku bertamu di rumah sebesar ini. "Selamat malam, Om." Aku mencium punggung tangan Om Ferdy."Malam, Haf." Om Ferdi menepuk-nepuk bahuku kemudian berkata, "Gimana, betah kerja sama Biru?"Aku mengangguk memberi jawaban. Setelah cukup berbasa-basi, Om Ferdy dan Bibi Melati meminta kami duduk sambil menunggu Pak Biru datang. "Kemana Biru?" tanya Ayah kepo. "Belum pulang?"Om Ferdy dan Bibi Melati saling pandang. Kulihat keduanya melempar senyum canggung sebelum akhirnya Bibi Melati menjawab, "Lagi jemput pacarnya, Mas Den.""Oalah, sudah punya pacar to," seloroh Ibu seraya tertawa. "Ya pantas sih, Biru memang terlalu cakep, malah aneh kalau dia masih jomblo sampai sekarang. Pasti calon mantu Mbak Mel
***"Tunggu disini, Haf, saya mau bicara."Setelah meletakkan berkas di meja kerja Pak Biru, aku terpaksa duduk di sofa yang tersedia di dalam ruangan. Sofa yang biasanya dipakai untuk meeting dadakan antara Direktur Utama dan beberapa jajaran tertinggi di Perusahaan ini. Entah apa yang ingin Pak Biru bicarakan, tapi aku merasa ini akan berkaitan dengan perkataanku tadi malam. Bisa jadi Bu Nisya marah dan meminta Pak Biru menegurku. Pak Biru masih sibuk dengan laptop di depannya sementara aku hanya berani menunduk seraya memainkan sepuluh jemari.Setelah sekitar lima menit berlalu, Pak Biru berdiri dan berjalan ke arahku. Pria yang di mataku dulu teramat berwibawa kini terlihat biasa-biasa saja. Aku mendadak kehilangan rasa kagum setelah Bu Nisya mengatakan bahwa Pak Direktur Utama sering berbagi ranjang dengannya. "Saya tidak tau apa yang Nisya katakan padamu tadi malam, Haf," ucap Pak Biru membuka obrolan. "Pak, bukankah sebaiknya kita berbincang setelah jam kantor selesai? Saya
***pov Safina "Bunda Ranti?"Mas Azka memanggil wanita paruh baya yang berjalan di depan kami. "Bunda!" Suamiku itu kembali memanggil.Aku yang baru saja turun dari mobil sontak mengejar langkah kaki Mas Azka yang semakin lebar."Bun, tunggu, Bun!"Suamiku mencekal pergelangan tangan wanita yang baru pertama kalinya kutemui. Siapa dia?Darimana Mas Azka mengenalnya?"Bunda, apa kabar?" tanya Mas Azka sedikit ngos-ngosan. "Siapa dia, Mas?" Tiba-tiba wanita berkerudung lebar itu menatapku dari atas hingga bawah. Bibirnya tiba-tiba tersenyum sinis, lalu bertanya, "Kamu istrinya Azka?"Aku jelas saja mengangguk. "Iya, Tante," jawabku. "Jadi dia lebih memilihmu daripada Hafsah?"Keningku mengkerut. "Tante kenal Mbak Hafsah?""Tentu. Dia putriku."Aku melongo. Kabar macam apa yang baru saja kudengar ini?Mbak Hafsah ... putrinya? Bagaimana bisa?"Panjang ceritanya, Dek," sahut Mas Azka seraya menggenggam jemariku erat. "Nanti Mas ceritakan semuanya, ya?"Aku mengangguk kaku. Terpaksa
***"Siapa yang berbagi ranjang, Haf?"Aku hampir tersedak mendengar pertanyaan Pak Biru dengan suara yang tidak sedikitpun ia pelankan. Beberapa pembeli yang ada di kanan kiri kami pun sontak menoleh membuatku seketika menunduk menyembunyikan wajah yang memanas. "Haf, jangan bilang kalau kamu menuduh saya sering tidur dengan Nisya," imbuh Pak Biru. "Kamu pikir saya ... astaga, Hafsah!" Pria berkemeja biru muda dengan lengan yang ditekuk sampai ke siku itu membetulkan posisi duduknya kemudian kembali berucap, "Apa di matamu saya sebrengsek itu?""Pak, pelankan suara Bapak ....""Saya mungkin terlampau lama menjalin hubungan dengan Nisya, Haf, tapi sungguh ... bahkan untuk mencium bibirnya saja saya tidak ....""Tidak berani?" selaku kemudian mencebik. "Pak, apa Pak Biru lupa kejadian ketika di tempat parkir Perusahaan? Bapak dan Bu Nisya ...." Aku mengerucutkan masing-masing jemari dan menempelkannya seperti saling bertaut. "Mata saya melihat dengan jelas kalau Bapak dan Bu Nisya it
ENDING***"Itu bukannya mantan pacar kamu, Sayang?"Hafsah mengikuti arah telunjuk Biru. Benar saja, di meja makan yang terletak di sudut, Azka duduk berhadapan dengan Safina. "Iya. Lagi kencan kali, Mas, sama seperti kita," sahut Hafsah tak acuh."Mau gabung?" tawar Biru dan dibalas gelengan kepala oleh Hafsah. "Tidak perlu memaksakan diri, Mas Biru.""Ya gapapa, Sayang, kita harus menjalin hubungan yang baik dengan mantan. Yuk!"Biru menggandeng tangan Hafsah dan berjalan mendekati meja yang hanya diisi oleh Azka dan Safina. "Hai ...."Azka dan Safina cukup terkejut melihat Hafsah datang bersama seorang lelaki. "Mbak Hafsah," ucap Safina sumringah. "Kapan datang ke Surabaya, kok gak kabar-kabar sih?"Respon Safina yang welcome membuat rasa takut yang sempat Hafsah rasakan memudar perlahan."Tadi niatnya gak mau ganggu acara kencan kamu sama Mas Azka, eh Mas Biru malah ngajakin gabung," ujar Hafsah jujur. "Eh, btw ini Mas Biru. Suamiku."Safina dan Azka saling pandang, "Kok Mbak
***Dua bulan berlalu setelah pesta pernikahan yang digelar secara mewah, hari ini Biru dan Hafsah sedang menikmati liburan di Kota Surabaya. Bukan luar negeri yang Hafsah mau, melainkan kota dimana banyak tercipta kenangan indah bersama Ranti dan kedua orang tuanya. Sengaja Biru menyetir mobil sendiri karena tidak mau liburannya yang ditunggu sejak dua bulan yang lalu diganggu oleh orang lain. Perjalanan yang melelahkan terasa menyenangkan karena sepanjang jalan keduanya tidak henti-hentinya melempar candaan. Hafsah membuka snack yang ada di kursi belakang. Sambil terus bercerita tentang masa kecilnya, sesekali tangan Hafsah menyuapi Biru dengan makanan ringan yang ada di tangan. "Mau cari makan dulu gak, Sayang?" Biru bertanya tanpa menoleh. "Nanti sampai hotel biar bisa langsung tidur. Capek sekali, Yang," keluh Biru. "Boleh," jawab Hafsah antusias. "Ini bentar lagi juga nyampe Hotel, Mas. Cari makan yang dekat-dekat sini saja ya."Biru mengangguk patuh. Matanya menatap satu pe
***"Jadi dia berhasil menggoda kamu, Mas?"Nisya berada jajaran para staf yang hendak memberi selamat. Di belakangnya, Anina justru tersenyum sinis seraya menatap Hafsah yang hari ini terlihat sangat menawan. Gaunnya mewah, perhiasan yang ia kenakan pun tidak berlebihan namun memberi kesan mahal. "Kamu keluar sendiri, atau aku meminta security menyeret tubuhmu keluar dari gedung ini?"Nisya tertawa sumbang. Di atas pelaminan, beberapa staf berdiri agak jauh sementara tepat di depan Biru dan Hafsah, Nisya bersungut-sungut marah karena tidak terima dengan pernikahan diantara keduanya. "Kamu bilang sulit mencari penggantiku, Mas," tutur Nisya sembari tersenyum sinis. "Tapi ternyata tidak lama setelah kamu memutuskan hubungan kita, pernikahan ini malah digelar."Rahang Biru mengeras. "Aku tidak akan melepaskan kamu jika acara pernikahan ini sampai ricuh, Nisya!"Nisya bertepuk tangan, "Wow. Secinta itukah kamu pada wanita ini? Apa yang sudah dia berikan sebelum kalian menikah? Keperawa
***"Apa?" tanya Biru tanpa berniat menjauhkan bibirnya dari bibir Hafsah. "Mas, ih!" Hafsah mendorong tubuh Biru dengan kesal. "Aku mau mandi, gerah!""Sayang!" Panggil Biru membuat langkah kaki Hafsah terhenti. "Apa?" tanya Hafsah ketus. "Bareng," ucap Biru merengek manja. Hafsah mencebik sebelum akhirnya berlari memasuki kamar mandi sampai-sampai lupa membawa baju ganti. Biru yang menyadari itu seketika tersenyum licik. Bisa dipastikan setelah ini Hafsah keluar hanya mengenakan bathrobe dan membayangkan hal itu saja sudah membuat kepalanya pusing. "Mas!" teriak Hafsah dari dalam kamar mandi. Biru berdiri di depan pintu, kemudian menyahut, "Kenapa, Sayang?""Mas, aku lupa bawa baju ganti ....""Aku tidur dulu ya, lelah sekali," sela Biru berdusta. "Ah, begitu ya. Ya sudah, nanti aku ambil sendiri, Mas tidur saja yang lelap."Biru tidak menjawab, pria itu justru menyandarkan tubuhnya di atas ranjang sambil memeriksa laporan kerja dari laptop yang sengaja ia bawa. Pintu kamar m
***Biru menuntun bahu Hafsah dan membawanya lebih dekat pada gundukan tanah yang masih basah. "Hapus air matamu jika tidak ingin Bunda sedih di dalam sana, Haf."Wajah Biru menegang, namun ketika Hafsah menggamit jemarinya, CEO muda itu perlahan menghela napas panjang. "Dia Mas Azka, Mas," ucap Hafsah memperkenalkan. Biru hanya mengangguk seraya tersenyum, kemudian kembali menuntun Hafsah mendekati makam yang baru saja memiliki penghuni itu. Para pelayat beberapa di antaranya memilih pulang setelah jenazah Ranti dikebumikan, namun beberapa yang lain masih berada di sana, sedikit banyak membantu merapikan makam yang baru saja ditabur bunga beraroma wangi. "Aku pamit ya, Haf. Semoga Bunda khusnul khatimah.""Aamiin, terima kasih banyak, Mas," sahut Azka. Azka mengangguk ragu, kemudian berkata, "Mari, Mas!"Biru tidak menjawab namun kepalanya mengangguk di depan Azka. "Semoga semua amal ibadah Bunda diterima Allah," ucap Hafsah nyaris tidak bersuara. "Doakan yang baik-baik untuk a
***"Bunda ...." Hafsah berteriak histeris sementara Biru segera menekan tombol yang ada di samping ranjang Ranti. "Bangun, Bun!" Hafsah mengguncang tubuh Ranti berharap wanita yang sudah ia anggap sebagai Ibu kedua itu mau membuka mata. "Tidak, Bun. Ini gak lucu!" teriak Hafsah. Biru menarik tubuh Hafsah dan memberi kesempatan para tenaga medis untuk memeriksa keadaan wanita paruh baya di atas ranjang itu. "Buka mata Bunda. Bunda berjanji mau lihat aku menikah dengan Pak Biru. Bangun, Bunda Ranti. Bangun!" Hafsah berteriak tanpa perduli apakah akan ada yang terganggu dengan suaranya. "Haf, tenang ....""Tidak, Mas. Bunda udah gak napas, aku tidak merasakan hangat napasnya. Bunda ... Bunda bohong padaku! Bunda pembohong!" Suara Hafsah terdengar pilu. "Bunda masih hidup kan, Sus? Aku yang bodoh ini pasti salah mengira ....""Innalilahi wa inna ilaihi raji'un ...."Dua orang suster mengucap kalimat istirja membuat dunia Hafsah yang baru saja berwarna kembali kelabu. Tidak lama, seora
***pov RantiHatiku terenyuh melihat Hafsah datang bersama calon suaminya. Ya, meskipun Hafsah belum mengatakan tentang lamaran yang dia terima, tapi aku yakin Hafsah sudah memantapkan diri untuk memulai kehidupan yang baru dengan pria bernama Biru itu. Aku lega, setidaknya setelah luka yang aku tanam di hatinya, gadis cantik itu pada akhirnya bisa bangkit lagi. Tidak mudah memang melupakan Azka, pesona anak dan Bapak itu memang teramat kuat, bahkan sampai detik ini Hafsah tidak tau jika nama Mas Haikal masih menjadi penghuni di hatiku. Bohong jika aku tidak bahagia dengan kehadiran Hafsah. Gadis cantik yang dulu sering tidur dalam pangkuanku itu ternyata masih menghormati aku sebagai Ibu asuhnya. Meskipun tidak bisa dipungkiri jika aku adalah dalang dari pisahnya dia dengan kedua orang tuanya. Aku bersyukur karena Hafsah tidak lagi mempermasalahkan itu. Aku bahagia. Terharu dengan ketulusan Hafsah padaku.Tolong tunggu sebentar, Bah, aku sudah berjanji akan menemaninya sampai ia m
***Dokter memeriksa keadaan Ranti yang sudah mulai membaik. Tidak ada penyakit serius, hanya saja wanita yang hidup sebatang kara itu diharuskan istirahat total karena tubuhnya yang kehilangan banyak cairan. "Setelah infusnya habis, pasien sudah boleh pulang.""Terima kasih, Dokter."Hafsah menghela napas lega, setidaknya Ranti tidak harus menginap lebih lama di Rumah Sakit. Dokter yang baru saja memeriksa Ranti keluar dari ruangan. Biru meminta ruangan VIP untuk Bunda dari calon istrinya. Hanya sehari semalam, namun Hafsah tahu seberapa besar tarif biaya di Rumah Sakit Unair. Cukup mahal memang. Ranti mengusap pipi Hafsah seperti seorang Ibu yang sudah lama tidak bertemu dengan putrinya. Kini Ranti mengerti bagaimana perasaan Bu Rania ketika Hafsah ia culik, dulu. Tidak salah jika banyak orang mengatakan jika Bu Rania hampir gila, karena sehancur itu memang kehilangan orang yang dicintai. "Dia siapa?" tanya Ranti sambil menunjuk Biru yang masih terlelap di atas sofa. "Mas Biru,
***Biru segera berlari karena teriakan Hafsah dari dalam makam. Bukan hanya itu, pengemudi yang semula dijanjikan akan dibayar sesuai kemauannya pun ikut turun dan melihat seorang wanita paruh baya tergeletak di atas tanah."Mas, Bunda ...." Hafsah menangis histeris. Wajah Ranti sangat pucat, tubuhnya yang semula mengeluarkan keringat dingin kini berubah panas. Dia demam. "Biar aku gendong, tolong buka pintu mobilnya," pintu Biru yang dibalas anggukan kepala oleh Hafsah. Belum sempat Hafsah berlari, pengemudi Gr*b lebih dulu melaksanakan perintah Biru untuk membuka pintu mobil dan bersiap duduk di belakang kemudi. Biru setengah berlari sembari membopong tubuh Ranti yang tidak terasa berat sama sekali. Ranti kehilangan banyak berat badannya, apalagi sejak Hafsah memutuskan pindah ke Jakarta, tubuhnya kian mengurus. Hafsah menangis, namun kali ini tidak bersuara, dia khawatir semakin membuat Biru panik apalagi ketika melihat prianya itu sedikit ngos-ngosan untuk menuju mobil yang te