***pov SafinaMbak Hafsah tidak lagi pernah membalas pesanku akhir-akhir ini. Dari yang aku dengar, dia bekerja di Jakarta bahkan kedua orang tuanya juga ikut pindah kesana. Jujur, aku merasa bersalah. Bagaimanapun aku menyadari diri bahwa kepergian Mbak Hafsah memang untuk melupakan Mas Azka. Aku memang sempat sedih karena ucapannya saat sehari setelah Mas Leo hampir melecehkanku. Kini aku mengerti, mungkin Mbak Hafsah teramat takut jika calon suaminya berpaling, itu sebabnya tanpa berpikir panjang dia mencaci makiku bahkan memintaku untuk mengakhiri hidup. "Dek, ngapain?"Aku buru-buru menghapus pesan yang baru saja terkirim pada kontak bernama Hafsah. Ya. Aku sengaja berpura-pura sebagai Mas Azka, aku ingin tau apakah Mbak Hafsah akan membalas pesan itu, atau mengabaikannya seperti sebelum-sebelumnya.Jika ada yang bertanya untuk apa aku melakukan itu? Entahlah. Aku merasa ada yang hilang dalam diri Mas Azka. Suamiku itu kini terlihat lebih banyak diam padahal di awal-awal perni
***"Selamat malam, Hafsah. Masya Allah, kamu cantik sekali." Bibi Melati mengusap pipiku lembut. "Ayo masuk, Nak!"Aku mengangguk dan berjalan mengikuti langkah kaki Ayah dan Ibu yang sudah lebih dulu memasuki ruang tamu rumah Pak Biru. Masya Allah, megah sekali. Ini bahkan kali pertama aku bertamu di rumah sebesar ini. "Selamat malam, Om." Aku mencium punggung tangan Om Ferdy."Malam, Haf." Om Ferdi menepuk-nepuk bahuku kemudian berkata, "Gimana, betah kerja sama Biru?"Aku mengangguk memberi jawaban. Setelah cukup berbasa-basi, Om Ferdy dan Bibi Melati meminta kami duduk sambil menunggu Pak Biru datang. "Kemana Biru?" tanya Ayah kepo. "Belum pulang?"Om Ferdy dan Bibi Melati saling pandang. Kulihat keduanya melempar senyum canggung sebelum akhirnya Bibi Melati menjawab, "Lagi jemput pacarnya, Mas Den.""Oalah, sudah punya pacar to," seloroh Ibu seraya tertawa. "Ya pantas sih, Biru memang terlalu cakep, malah aneh kalau dia masih jomblo sampai sekarang. Pasti calon mantu Mbak Mel
***"Tunggu disini, Haf, saya mau bicara."Setelah meletakkan berkas di meja kerja Pak Biru, aku terpaksa duduk di sofa yang tersedia di dalam ruangan. Sofa yang biasanya dipakai untuk meeting dadakan antara Direktur Utama dan beberapa jajaran tertinggi di Perusahaan ini. Entah apa yang ingin Pak Biru bicarakan, tapi aku merasa ini akan berkaitan dengan perkataanku tadi malam. Bisa jadi Bu Nisya marah dan meminta Pak Biru menegurku. Pak Biru masih sibuk dengan laptop di depannya sementara aku hanya berani menunduk seraya memainkan sepuluh jemari.Setelah sekitar lima menit berlalu, Pak Biru berdiri dan berjalan ke arahku. Pria yang di mataku dulu teramat berwibawa kini terlihat biasa-biasa saja. Aku mendadak kehilangan rasa kagum setelah Bu Nisya mengatakan bahwa Pak Direktur Utama sering berbagi ranjang dengannya. "Saya tidak tau apa yang Nisya katakan padamu tadi malam, Haf," ucap Pak Biru membuka obrolan. "Pak, bukankah sebaiknya kita berbincang setelah jam kantor selesai? Saya
***pov Safina "Bunda Ranti?"Mas Azka memanggil wanita paruh baya yang berjalan di depan kami. "Bunda!" Suamiku itu kembali memanggil.Aku yang baru saja turun dari mobil sontak mengejar langkah kaki Mas Azka yang semakin lebar."Bun, tunggu, Bun!"Suamiku mencekal pergelangan tangan wanita yang baru pertama kalinya kutemui. Siapa dia?Darimana Mas Azka mengenalnya?"Bunda, apa kabar?" tanya Mas Azka sedikit ngos-ngosan. "Siapa dia, Mas?" Tiba-tiba wanita berkerudung lebar itu menatapku dari atas hingga bawah. Bibirnya tiba-tiba tersenyum sinis, lalu bertanya, "Kamu istrinya Azka?"Aku jelas saja mengangguk. "Iya, Tante," jawabku. "Jadi dia lebih memilihmu daripada Hafsah?"Keningku mengkerut. "Tante kenal Mbak Hafsah?""Tentu. Dia putriku."Aku melongo. Kabar macam apa yang baru saja kudengar ini?Mbak Hafsah ... putrinya? Bagaimana bisa?"Panjang ceritanya, Dek," sahut Mas Azka seraya menggenggam jemariku erat. "Nanti Mas ceritakan semuanya, ya?"Aku mengangguk kaku. Terpaksa
***"Siapa yang berbagi ranjang, Haf?"Aku hampir tersedak mendengar pertanyaan Pak Biru dengan suara yang tidak sedikitpun ia pelankan. Beberapa pembeli yang ada di kanan kiri kami pun sontak menoleh membuatku seketika menunduk menyembunyikan wajah yang memanas. "Haf, jangan bilang kalau kamu menuduh saya sering tidur dengan Nisya," imbuh Pak Biru. "Kamu pikir saya ... astaga, Hafsah!" Pria berkemeja biru muda dengan lengan yang ditekuk sampai ke siku itu membetulkan posisi duduknya kemudian kembali berucap, "Apa di matamu saya sebrengsek itu?""Pak, pelankan suara Bapak ....""Saya mungkin terlampau lama menjalin hubungan dengan Nisya, Haf, tapi sungguh ... bahkan untuk mencium bibirnya saja saya tidak ....""Tidak berani?" selaku kemudian mencebik. "Pak, apa Pak Biru lupa kejadian ketika di tempat parkir Perusahaan? Bapak dan Bu Nisya ...." Aku mengerucutkan masing-masing jemari dan menempelkannya seperti saling bertaut. "Mata saya melihat dengan jelas kalau Bapak dan Bu Nisya it
***"P-- Pak Biru?"Bu Nisya yang semula membelakangi pintu seketika menoleh dan menganga ...."H-- hai, Mas," ucapnya manja. Pak Biru bergeming. Wajah yang biasanya terlihat hangat saat berada di dekat Bu Nisya itu kini tidak melayangkan senyum sedikitpun. Aku menyingkir memberi jalan saat Pak Biru melangkah perlahan."Kok cepat sekali, tadi bilangnya lama." Bu Nisya setengah berlari dan bergelayut manja di lengan Pak Biru. "Mas, gimana kalau hari ini kita ....""Ada berkas yang harus aku tanda tangani, Haf?"Aku mendongak dan menatap Pak Biru yang sedang menampik tangan Bu Nisya dengan kasar. "Hafsah!" panggil Pak Biru setengah membentak. Aku yang sebentar tadi syok dengan sikap Pak Biru pada kekasihnya, kini setengah berlari mendekati Pak Biru dan segera menyodorkan beberapa map yang semula kudekap erat. "Ini, Pak," kataku seraya menyerahkan berkas yang harus Pak Biru periksa. "Mas, kamu gak dengar aku bicara?" Bu Nisya merajuk, "Kok kamu malah sibuk sama ....""Keluar kalau ha
***"Aku ... aku hanya bercanda, Mas ....""Bercanda?" Ulang Pak Biru. "Kamu pikir nama baik bisa dibuat sebercanda itu, Sya?""Mas, dengarkan aku dulu ....""Papa membangun Perusahaan ini dengan kerja keras. Kamu paham gak sih efek dari perkataan kamu ke Hafsah, hah? Jika ada orang lain yang mendengar, lalu menyebarluaskan, nama baikku juga nama baik Papa bisa hancur. Perkataan kamu bisa menjadi boomerang dan menghancurkan bisnis kami." Pak Biru berulang kali mengusap wajahnya kasar. "Dengan datangnya kamu sering-sering ke Perusahaan, itu saja sudah gak benar, Sya. Tapi aku berusaha mengenyahkan semua teguran Papa dan Mama. Aku tidak melarangmu datang kesini hanya karena tidak ingin menyakitimu. Tapi apa yang kau berikan, Sya? Kamu justru berbicara hal-hal yang tidak pantas atas namaku."Aku berdiri kikuk di belakang Pak Biru. Kakiku pegal, ingin sekali pamit keluar tapi rasanya canggung memotong pembicaraan. "Pergi dari sini, Nisya. Kita selesai."Bu Nisya menggeleng tantrum. "Haf,
***pov AzkaSepulang dari dokter kandungan, aku tak melepas sedikitpun genggaman di tangan Safina. Istriku, yang aku halalkan satu bulan yang lalu ternyata tengah mengandung. Berulangkali aku kecup punggung tangan Safina, berharap wanita cantik dengan senyum menawan itu mengerti betapa aku teramat mencintainya. Mendambanya hingga detik ini. "Mas, ih ...." Safina hendak menarik tangannya, namun aku kembali mendekap jemari lembut itu dengan erat. "Fokus nyetir dulu," pintanya.Aku menggeleng. Menatapnya sejenak kemudian kembali fokus pada jalanan di depan yang terlihat lengang. "Mas bahagia sekali, Dek," ucapku jujur. "Aku apalagi," sahutnya seraya tersenyum. Senyum itu, senyum yang baru kusadari ternyata teramat memikat. Aku sering berusaha membuatnya tertawa hanya karena rindu pada senyumnya yang tulus. "Ternyata ini alasan kenapa aku mudah baper, Mas," imbuhnya. "Maaf ya sudah bikin kamu gak nyaman beberapa hari ini.""Siapa sih yang gak nyaman?" tanyaku membalik pertanyaan."Me