***"Aku ... aku hanya bercanda, Mas ....""Bercanda?" Ulang Pak Biru. "Kamu pikir nama baik bisa dibuat sebercanda itu, Sya?""Mas, dengarkan aku dulu ....""Papa membangun Perusahaan ini dengan kerja keras. Kamu paham gak sih efek dari perkataan kamu ke Hafsah, hah? Jika ada orang lain yang mendengar, lalu menyebarluaskan, nama baikku juga nama baik Papa bisa hancur. Perkataan kamu bisa menjadi boomerang dan menghancurkan bisnis kami." Pak Biru berulang kali mengusap wajahnya kasar. "Dengan datangnya kamu sering-sering ke Perusahaan, itu saja sudah gak benar, Sya. Tapi aku berusaha mengenyahkan semua teguran Papa dan Mama. Aku tidak melarangmu datang kesini hanya karena tidak ingin menyakitimu. Tapi apa yang kau berikan, Sya? Kamu justru berbicara hal-hal yang tidak pantas atas namaku."Aku berdiri kikuk di belakang Pak Biru. Kakiku pegal, ingin sekali pamit keluar tapi rasanya canggung memotong pembicaraan. "Pergi dari sini, Nisya. Kita selesai."Bu Nisya menggeleng tantrum. "Haf,
***pov AzkaSepulang dari dokter kandungan, aku tak melepas sedikitpun genggaman di tangan Safina. Istriku, yang aku halalkan satu bulan yang lalu ternyata tengah mengandung. Berulangkali aku kecup punggung tangan Safina, berharap wanita cantik dengan senyum menawan itu mengerti betapa aku teramat mencintainya. Mendambanya hingga detik ini. "Mas, ih ...." Safina hendak menarik tangannya, namun aku kembali mendekap jemari lembut itu dengan erat. "Fokus nyetir dulu," pintanya.Aku menggeleng. Menatapnya sejenak kemudian kembali fokus pada jalanan di depan yang terlihat lengang. "Mas bahagia sekali, Dek," ucapku jujur. "Aku apalagi," sahutnya seraya tersenyum. Senyum itu, senyum yang baru kusadari ternyata teramat memikat. Aku sering berusaha membuatnya tertawa hanya karena rindu pada senyumnya yang tulus. "Ternyata ini alasan kenapa aku mudah baper, Mas," imbuhnya. "Maaf ya sudah bikin kamu gak nyaman beberapa hari ini.""Siapa sih yang gak nyaman?" tanyaku membalik pertanyaan."Me
***"Bapak pasti bercanda ...."Hafsah menggeleng, menolak percaya pada ucapan Biru tentang Nisya. "Andai saja semua yang saya katakan ini memang sebatas candaan, saya tidak mungkin merasa sehancur ini, Haf."Suasana kembali hening. Hafsah bingung ingin memberikan kalimat bijak yang seperti apa sebab meskipun hubungan keduanya terlihat akrab, namun ada dinding pembatas yang tidak ingin Hafsah lewati. Bagaimanapun, Biru adalah atasan di Kantornya. Direktur utama. Putra dari Pemilik Perusahaan besar di Kota ini. "Kalau hanya sekedar berbicara yang tidak benar tentang saya, saya tidak mungkin semarah ini," ucap Biru. "Nisya sudah menghancurkan harapan saya, Haf. Maaf sudah melibatkan kamu."Hafsah hanya mengangguk, tidak tau harus bersikap bagaimana di depan Biru."Ternyata restu orang tua memang sangat berpengaruh," seloroh Ibu seraya terkekeh. "Kamu pernah menjalin hubungan tanpa restu, Haf?""Tidak, Pak," jawab Hafsah jujur."Ah, ya. Sudah terlihat dari wajahmu, kamu sangat jujur."
***"Bapak gak tiba-tiba cosplay jadi buaya kan?" sindir Hafsah setengah kesal. Bagaimana tidak, saat asyik-asyiknya makan malam dilamar. Jantungnya tidak aman, sangat tidak aman. "Baru beberapa jam putus dari Bu Nisya, sekarang melamar saya. Bapak mau saya dihujat satu Kantor?"Biru menggeleng dengan lugunya. Pria yang sedang menikmati steak di atas meja itu terus menatap wajah Hafsah yang sedang mengeluarkan kekesalan. "Bercanda Pak Biru gak lucu!" gerutu Hafsah malas. "Saya memang pernah hancur karena cinta, tapi Alhamdulillah sampai sejauh ini saya baik-baik saja kok. Jadi gak usah sok perduli dengan menawarkan hal yang mustahil pada saya, Pak. Gak lucu!""Obrolan kita terlalu kaku, Haf. Perasaan dulu kamu bicara lumayan gamblang, kenapa sekarang jadi “saya, Pak Biru” kamu seperti membuat batasan." Biru menatap Hafsah yang berhenti mengunyah. "Bicara biasa saja, jangan terlalu formal. Kita di luar kantor."Hafsah mengalah, dia mengangguk kemudian membuang muka. Ditatap Biru, tent
***Hafsah pulang bersama Biru setelah salat isya. Bu Rania cukup terkejut melihat putrinya diantar oleh Biru menggunakan mobil lain. Pertanyaan demi pertanyaan yang Bu Rania lontarkan terkadang mendapatkan jawaban yang sedikit kurang memuaskan. Termasuk tentang mobilnya yang lagi-lagi ditinggal di Kantor sementara Hafsah pulang bersama Biru. Bu Rania tidak puas dengan jawaban Hafsah yang hanya mengatakan, "Mas Biru tadi yang ngajakin bareng, Bu."Sudah, hanya itu saja jawaban Hafsah padahal Bu Rania berharap ada jawaban yang lebih memuaskan rasa ingin tahunya.Sebagai seorang Ibu, tentu lah Bu Rania ingin melihat putrinya bahagia dengan pria yang tepat. Kegagalannya menikah di dua bulan yang lalu membuat Bu Rania sedikit menaruh rasa khawatir, takut jika Hafsah memendam trauma dan memilih melajang seumur hidup. Ya, meskipun Hafsah sendiri tidak pernah mengatakan itu secara gamblang, tapi tetap saja kerisauan seorang Ibu tidak bisa dielak begitu saja. "Kok tiba-tiba ngajakin bareng,
***"Aku kalah, Umi. Aku mengaku kalah."Ranti menangis tersedu-sedu di pusara Umi Laila. "Terlalu banyak aku berbuat dosa, aku sadar, Umi," imbuhnya terisak. "Usiaku semakin menua, tapi kebencian untuk Haikal dan Delia rasanya tidak pernah surut. Aku masih saja menyimpan dendam padahal jelas-jelas akulah yang sudah melukai mereka dengan teramat kejam."Ranti mengusap batu nisan yang bertuliskan nama Umi Laila binti Haris. Di atas tanah kuburan, wanita yang kecantikannya tidak tergerus usia itu meluapkan semua penyesalannya. "Andai waktu bisa diulang, aku tidak akan bertindak sebodoh itu, dulu." Ranti mengusap pipinya yang basah. "Aku ingin hidup bahagia bersama Umi dan Abah. Aku ingin menghabiskan sisa usia dengan pernikahan yang langgeng dengan pria pilihan Abah, Umi. Aku menyesal. Aku menyesal sudah menghabiskan separuh hidupku dengan menyemai kebencian. Aku ... sekarang aku seorang diri, aku tidak punya siapa-siapa yang akan menangisi kepergianku nanti."Ranti memeluk batu nisan
***Jantung Hafsah berdebar. Perasaannya mendadak tidak enak, pikirannya tiba-tiba berfokus pada Ranti. "Nduk, sudah?"Hafsah terlonjak mendengar suara Bu Rania dari depan pintu kamar."Sudah, Bu."Setelah memakai lipstik berwarna nude dan dipadukan dengan ombre berwarna merah darah, Hafsah keluar dari dalam kamar dengan kegelisahan yang tidak bisa diungkapkan. "Kenapa?" Bu Rania yang menyadari gerak-gerik putrinya yang tidak biasa lantas bertanya. "Gugup?"Hafsah menggeleng lemah. "Bu, aku ...." Hafsah ingat jika Bu Rania dulu begitu cemburu dengan kedekatannya bersama Ranti, itu sebabnya Hafsah ragu apakah pilihannya tepat jika bercerita di depan Bu Rania tentang apa yang dia risaukan saat ini. "Kenapa, Nduk?" cecar Bu Rania. "Kalau kamu masih ragu, minta waktu, Hafsah."Hafsah bergeming. Air matanya menggumpal membuat pandangannya buram. Tiba-tiba saja merasa sedih, risau, dan khawatir dengan keadaan Bunda yang sejak kecil merawatnya. "Bu, maaf kalau apa yang aku katakan mungki
***Setelah keluar dari Bandara Juanda, Hafsah sibuk menekan nomor Ranti namun hanya suara operator yang terdengar. Gadis itu semakin panik, pikirannya buruk, bagaimana jika Ranti memilih mengakhiri hidup karena tidak ada satupun keluarga yang ada di sisinya?"Bagaimana, Haf?" Biru yang melihat air muka Hafsah yang menegang sontak bertanya. "Gak ada jawaban?""Nomornya malah gak aktif, Mas.""Coba terus, siapa tahu barusan baterainya low bat dan sekarang sudah diaktifkan lagi ponselnya," ujar Biru mencoba menenangkan. "Jangan panik!"Hafsah mengangguk patuh, meskipun di dalam hatinya saat ini sedang merasakan ketakutan yang luar biasa. Tidak pernah dia serisau ini sebelumnya. Biru memesan gr*b car di aplikasi hijau sementara Hafsah masih saja sibuk mengirim pesan, menelpon juga mengirim WhatsApp pada Ranti. "Minum dulu!" Biru menyerahkan sebotol air mineral dingin yang baru saja dibeli di salah satu pedagang di pinggi jalan. "Hafsah, minum dulu," pinta Biru mengulang."Mas, bagaiman