***Hafsah pulang bersama Biru setelah salat isya. Bu Rania cukup terkejut melihat putrinya diantar oleh Biru menggunakan mobil lain. Pertanyaan demi pertanyaan yang Bu Rania lontarkan terkadang mendapatkan jawaban yang sedikit kurang memuaskan. Termasuk tentang mobilnya yang lagi-lagi ditinggal di Kantor sementara Hafsah pulang bersama Biru. Bu Rania tidak puas dengan jawaban Hafsah yang hanya mengatakan, "Mas Biru tadi yang ngajakin bareng, Bu."Sudah, hanya itu saja jawaban Hafsah padahal Bu Rania berharap ada jawaban yang lebih memuaskan rasa ingin tahunya.Sebagai seorang Ibu, tentu lah Bu Rania ingin melihat putrinya bahagia dengan pria yang tepat. Kegagalannya menikah di dua bulan yang lalu membuat Bu Rania sedikit menaruh rasa khawatir, takut jika Hafsah memendam trauma dan memilih melajang seumur hidup. Ya, meskipun Hafsah sendiri tidak pernah mengatakan itu secara gamblang, tapi tetap saja kerisauan seorang Ibu tidak bisa dielak begitu saja. "Kok tiba-tiba ngajakin bareng,
***"Aku kalah, Umi. Aku mengaku kalah."Ranti menangis tersedu-sedu di pusara Umi Laila. "Terlalu banyak aku berbuat dosa, aku sadar, Umi," imbuhnya terisak. "Usiaku semakin menua, tapi kebencian untuk Haikal dan Delia rasanya tidak pernah surut. Aku masih saja menyimpan dendam padahal jelas-jelas akulah yang sudah melukai mereka dengan teramat kejam."Ranti mengusap batu nisan yang bertuliskan nama Umi Laila binti Haris. Di atas tanah kuburan, wanita yang kecantikannya tidak tergerus usia itu meluapkan semua penyesalannya. "Andai waktu bisa diulang, aku tidak akan bertindak sebodoh itu, dulu." Ranti mengusap pipinya yang basah. "Aku ingin hidup bahagia bersama Umi dan Abah. Aku ingin menghabiskan sisa usia dengan pernikahan yang langgeng dengan pria pilihan Abah, Umi. Aku menyesal. Aku menyesal sudah menghabiskan separuh hidupku dengan menyemai kebencian. Aku ... sekarang aku seorang diri, aku tidak punya siapa-siapa yang akan menangisi kepergianku nanti."Ranti memeluk batu nisan
***Jantung Hafsah berdebar. Perasaannya mendadak tidak enak, pikirannya tiba-tiba berfokus pada Ranti. "Nduk, sudah?"Hafsah terlonjak mendengar suara Bu Rania dari depan pintu kamar."Sudah, Bu."Setelah memakai lipstik berwarna nude dan dipadukan dengan ombre berwarna merah darah, Hafsah keluar dari dalam kamar dengan kegelisahan yang tidak bisa diungkapkan. "Kenapa?" Bu Rania yang menyadari gerak-gerik putrinya yang tidak biasa lantas bertanya. "Gugup?"Hafsah menggeleng lemah. "Bu, aku ...." Hafsah ingat jika Bu Rania dulu begitu cemburu dengan kedekatannya bersama Ranti, itu sebabnya Hafsah ragu apakah pilihannya tepat jika bercerita di depan Bu Rania tentang apa yang dia risaukan saat ini. "Kenapa, Nduk?" cecar Bu Rania. "Kalau kamu masih ragu, minta waktu, Hafsah."Hafsah bergeming. Air matanya menggumpal membuat pandangannya buram. Tiba-tiba saja merasa sedih, risau, dan khawatir dengan keadaan Bunda yang sejak kecil merawatnya. "Bu, maaf kalau apa yang aku katakan mungki
***Setelah keluar dari Bandara Juanda, Hafsah sibuk menekan nomor Ranti namun hanya suara operator yang terdengar. Gadis itu semakin panik, pikirannya buruk, bagaimana jika Ranti memilih mengakhiri hidup karena tidak ada satupun keluarga yang ada di sisinya?"Bagaimana, Haf?" Biru yang melihat air muka Hafsah yang menegang sontak bertanya. "Gak ada jawaban?""Nomornya malah gak aktif, Mas.""Coba terus, siapa tahu barusan baterainya low bat dan sekarang sudah diaktifkan lagi ponselnya," ujar Biru mencoba menenangkan. "Jangan panik!"Hafsah mengangguk patuh, meskipun di dalam hatinya saat ini sedang merasakan ketakutan yang luar biasa. Tidak pernah dia serisau ini sebelumnya. Biru memesan gr*b car di aplikasi hijau sementara Hafsah masih saja sibuk mengirim pesan, menelpon juga mengirim WhatsApp pada Ranti. "Minum dulu!" Biru menyerahkan sebotol air mineral dingin yang baru saja dibeli di salah satu pedagang di pinggi jalan. "Hafsah, minum dulu," pinta Biru mengulang."Mas, bagaiman
***Biru segera berlari karena teriakan Hafsah dari dalam makam. Bukan hanya itu, pengemudi yang semula dijanjikan akan dibayar sesuai kemauannya pun ikut turun dan melihat seorang wanita paruh baya tergeletak di atas tanah."Mas, Bunda ...." Hafsah menangis histeris. Wajah Ranti sangat pucat, tubuhnya yang semula mengeluarkan keringat dingin kini berubah panas. Dia demam. "Biar aku gendong, tolong buka pintu mobilnya," pintu Biru yang dibalas anggukan kepala oleh Hafsah. Belum sempat Hafsah berlari, pengemudi Gr*b lebih dulu melaksanakan perintah Biru untuk membuka pintu mobil dan bersiap duduk di belakang kemudi. Biru setengah berlari sembari membopong tubuh Ranti yang tidak terasa berat sama sekali. Ranti kehilangan banyak berat badannya, apalagi sejak Hafsah memutuskan pindah ke Jakarta, tubuhnya kian mengurus. Hafsah menangis, namun kali ini tidak bersuara, dia khawatir semakin membuat Biru panik apalagi ketika melihat prianya itu sedikit ngos-ngosan untuk menuju mobil yang te
***Dokter memeriksa keadaan Ranti yang sudah mulai membaik. Tidak ada penyakit serius, hanya saja wanita yang hidup sebatang kara itu diharuskan istirahat total karena tubuhnya yang kehilangan banyak cairan. "Setelah infusnya habis, pasien sudah boleh pulang.""Terima kasih, Dokter."Hafsah menghela napas lega, setidaknya Ranti tidak harus menginap lebih lama di Rumah Sakit. Dokter yang baru saja memeriksa Ranti keluar dari ruangan. Biru meminta ruangan VIP untuk Bunda dari calon istrinya. Hanya sehari semalam, namun Hafsah tahu seberapa besar tarif biaya di Rumah Sakit Unair. Cukup mahal memang. Ranti mengusap pipi Hafsah seperti seorang Ibu yang sudah lama tidak bertemu dengan putrinya. Kini Ranti mengerti bagaimana perasaan Bu Rania ketika Hafsah ia culik, dulu. Tidak salah jika banyak orang mengatakan jika Bu Rania hampir gila, karena sehancur itu memang kehilangan orang yang dicintai. "Dia siapa?" tanya Ranti sambil menunjuk Biru yang masih terlelap di atas sofa. "Mas Biru,
***pov RantiHatiku terenyuh melihat Hafsah datang bersama calon suaminya. Ya, meskipun Hafsah belum mengatakan tentang lamaran yang dia terima, tapi aku yakin Hafsah sudah memantapkan diri untuk memulai kehidupan yang baru dengan pria bernama Biru itu. Aku lega, setidaknya setelah luka yang aku tanam di hatinya, gadis cantik itu pada akhirnya bisa bangkit lagi. Tidak mudah memang melupakan Azka, pesona anak dan Bapak itu memang teramat kuat, bahkan sampai detik ini Hafsah tidak tau jika nama Mas Haikal masih menjadi penghuni di hatiku. Bohong jika aku tidak bahagia dengan kehadiran Hafsah. Gadis cantik yang dulu sering tidur dalam pangkuanku itu ternyata masih menghormati aku sebagai Ibu asuhnya. Meskipun tidak bisa dipungkiri jika aku adalah dalang dari pisahnya dia dengan kedua orang tuanya. Aku bersyukur karena Hafsah tidak lagi mempermasalahkan itu. Aku bahagia. Terharu dengan ketulusan Hafsah padaku.Tolong tunggu sebentar, Bah, aku sudah berjanji akan menemaninya sampai ia m
***"Bunda ...." Hafsah berteriak histeris sementara Biru segera menekan tombol yang ada di samping ranjang Ranti. "Bangun, Bun!" Hafsah mengguncang tubuh Ranti berharap wanita yang sudah ia anggap sebagai Ibu kedua itu mau membuka mata. "Tidak, Bun. Ini gak lucu!" teriak Hafsah. Biru menarik tubuh Hafsah dan memberi kesempatan para tenaga medis untuk memeriksa keadaan wanita paruh baya di atas ranjang itu. "Buka mata Bunda. Bunda berjanji mau lihat aku menikah dengan Pak Biru. Bangun, Bunda Ranti. Bangun!" Hafsah berteriak tanpa perduli apakah akan ada yang terganggu dengan suaranya. "Haf, tenang ....""Tidak, Mas. Bunda udah gak napas, aku tidak merasakan hangat napasnya. Bunda ... Bunda bohong padaku! Bunda pembohong!" Suara Hafsah terdengar pilu. "Bunda masih hidup kan, Sus? Aku yang bodoh ini pasti salah mengira ....""Innalilahi wa inna ilaihi raji'un ...."Dua orang suster mengucap kalimat istirja membuat dunia Hafsah yang baru saja berwarna kembali kelabu. Tidak lama, seora