***pov Safina "Bunda Ranti?"Mas Azka memanggil wanita paruh baya yang berjalan di depan kami. "Bunda!" Suamiku itu kembali memanggil.Aku yang baru saja turun dari mobil sontak mengejar langkah kaki Mas Azka yang semakin lebar."Bun, tunggu, Bun!"Suamiku mencekal pergelangan tangan wanita yang baru pertama kalinya kutemui. Siapa dia?Darimana Mas Azka mengenalnya?"Bunda, apa kabar?" tanya Mas Azka sedikit ngos-ngosan. "Siapa dia, Mas?" Tiba-tiba wanita berkerudung lebar itu menatapku dari atas hingga bawah. Bibirnya tiba-tiba tersenyum sinis, lalu bertanya, "Kamu istrinya Azka?"Aku jelas saja mengangguk. "Iya, Tante," jawabku. "Jadi dia lebih memilihmu daripada Hafsah?"Keningku mengkerut. "Tante kenal Mbak Hafsah?""Tentu. Dia putriku."Aku melongo. Kabar macam apa yang baru saja kudengar ini?Mbak Hafsah ... putrinya? Bagaimana bisa?"Panjang ceritanya, Dek," sahut Mas Azka seraya menggenggam jemariku erat. "Nanti Mas ceritakan semuanya, ya?"Aku mengangguk kaku. Terpaksa
***"Siapa yang berbagi ranjang, Haf?"Aku hampir tersedak mendengar pertanyaan Pak Biru dengan suara yang tidak sedikitpun ia pelankan. Beberapa pembeli yang ada di kanan kiri kami pun sontak menoleh membuatku seketika menunduk menyembunyikan wajah yang memanas. "Haf, jangan bilang kalau kamu menuduh saya sering tidur dengan Nisya," imbuh Pak Biru. "Kamu pikir saya ... astaga, Hafsah!" Pria berkemeja biru muda dengan lengan yang ditekuk sampai ke siku itu membetulkan posisi duduknya kemudian kembali berucap, "Apa di matamu saya sebrengsek itu?""Pak, pelankan suara Bapak ....""Saya mungkin terlampau lama menjalin hubungan dengan Nisya, Haf, tapi sungguh ... bahkan untuk mencium bibirnya saja saya tidak ....""Tidak berani?" selaku kemudian mencebik. "Pak, apa Pak Biru lupa kejadian ketika di tempat parkir Perusahaan? Bapak dan Bu Nisya ...." Aku mengerucutkan masing-masing jemari dan menempelkannya seperti saling bertaut. "Mata saya melihat dengan jelas kalau Bapak dan Bu Nisya it
***"P-- Pak Biru?"Bu Nisya yang semula membelakangi pintu seketika menoleh dan menganga ...."H-- hai, Mas," ucapnya manja. Pak Biru bergeming. Wajah yang biasanya terlihat hangat saat berada di dekat Bu Nisya itu kini tidak melayangkan senyum sedikitpun. Aku menyingkir memberi jalan saat Pak Biru melangkah perlahan."Kok cepat sekali, tadi bilangnya lama." Bu Nisya setengah berlari dan bergelayut manja di lengan Pak Biru. "Mas, gimana kalau hari ini kita ....""Ada berkas yang harus aku tanda tangani, Haf?"Aku mendongak dan menatap Pak Biru yang sedang menampik tangan Bu Nisya dengan kasar. "Hafsah!" panggil Pak Biru setengah membentak. Aku yang sebentar tadi syok dengan sikap Pak Biru pada kekasihnya, kini setengah berlari mendekati Pak Biru dan segera menyodorkan beberapa map yang semula kudekap erat. "Ini, Pak," kataku seraya menyerahkan berkas yang harus Pak Biru periksa. "Mas, kamu gak dengar aku bicara?" Bu Nisya merajuk, "Kok kamu malah sibuk sama ....""Keluar kalau ha
***"Aku ... aku hanya bercanda, Mas ....""Bercanda?" Ulang Pak Biru. "Kamu pikir nama baik bisa dibuat sebercanda itu, Sya?""Mas, dengarkan aku dulu ....""Papa membangun Perusahaan ini dengan kerja keras. Kamu paham gak sih efek dari perkataan kamu ke Hafsah, hah? Jika ada orang lain yang mendengar, lalu menyebarluaskan, nama baikku juga nama baik Papa bisa hancur. Perkataan kamu bisa menjadi boomerang dan menghancurkan bisnis kami." Pak Biru berulang kali mengusap wajahnya kasar. "Dengan datangnya kamu sering-sering ke Perusahaan, itu saja sudah gak benar, Sya. Tapi aku berusaha mengenyahkan semua teguran Papa dan Mama. Aku tidak melarangmu datang kesini hanya karena tidak ingin menyakitimu. Tapi apa yang kau berikan, Sya? Kamu justru berbicara hal-hal yang tidak pantas atas namaku."Aku berdiri kikuk di belakang Pak Biru. Kakiku pegal, ingin sekali pamit keluar tapi rasanya canggung memotong pembicaraan. "Pergi dari sini, Nisya. Kita selesai."Bu Nisya menggeleng tantrum. "Haf,
***pov AzkaSepulang dari dokter kandungan, aku tak melepas sedikitpun genggaman di tangan Safina. Istriku, yang aku halalkan satu bulan yang lalu ternyata tengah mengandung. Berulangkali aku kecup punggung tangan Safina, berharap wanita cantik dengan senyum menawan itu mengerti betapa aku teramat mencintainya. Mendambanya hingga detik ini. "Mas, ih ...." Safina hendak menarik tangannya, namun aku kembali mendekap jemari lembut itu dengan erat. "Fokus nyetir dulu," pintanya.Aku menggeleng. Menatapnya sejenak kemudian kembali fokus pada jalanan di depan yang terlihat lengang. "Mas bahagia sekali, Dek," ucapku jujur. "Aku apalagi," sahutnya seraya tersenyum. Senyum itu, senyum yang baru kusadari ternyata teramat memikat. Aku sering berusaha membuatnya tertawa hanya karena rindu pada senyumnya yang tulus. "Ternyata ini alasan kenapa aku mudah baper, Mas," imbuhnya. "Maaf ya sudah bikin kamu gak nyaman beberapa hari ini.""Siapa sih yang gak nyaman?" tanyaku membalik pertanyaan."Me
***"Bapak pasti bercanda ...."Hafsah menggeleng, menolak percaya pada ucapan Biru tentang Nisya. "Andai saja semua yang saya katakan ini memang sebatas candaan, saya tidak mungkin merasa sehancur ini, Haf."Suasana kembali hening. Hafsah bingung ingin memberikan kalimat bijak yang seperti apa sebab meskipun hubungan keduanya terlihat akrab, namun ada dinding pembatas yang tidak ingin Hafsah lewati. Bagaimanapun, Biru adalah atasan di Kantornya. Direktur utama. Putra dari Pemilik Perusahaan besar di Kota ini. "Kalau hanya sekedar berbicara yang tidak benar tentang saya, saya tidak mungkin semarah ini," ucap Biru. "Nisya sudah menghancurkan harapan saya, Haf. Maaf sudah melibatkan kamu."Hafsah hanya mengangguk, tidak tau harus bersikap bagaimana di depan Biru."Ternyata restu orang tua memang sangat berpengaruh," seloroh Ibu seraya terkekeh. "Kamu pernah menjalin hubungan tanpa restu, Haf?""Tidak, Pak," jawab Hafsah jujur."Ah, ya. Sudah terlihat dari wajahmu, kamu sangat jujur."
***"Bapak gak tiba-tiba cosplay jadi buaya kan?" sindir Hafsah setengah kesal. Bagaimana tidak, saat asyik-asyiknya makan malam dilamar. Jantungnya tidak aman, sangat tidak aman. "Baru beberapa jam putus dari Bu Nisya, sekarang melamar saya. Bapak mau saya dihujat satu Kantor?"Biru menggeleng dengan lugunya. Pria yang sedang menikmati steak di atas meja itu terus menatap wajah Hafsah yang sedang mengeluarkan kekesalan. "Bercanda Pak Biru gak lucu!" gerutu Hafsah malas. "Saya memang pernah hancur karena cinta, tapi Alhamdulillah sampai sejauh ini saya baik-baik saja kok. Jadi gak usah sok perduli dengan menawarkan hal yang mustahil pada saya, Pak. Gak lucu!""Obrolan kita terlalu kaku, Haf. Perasaan dulu kamu bicara lumayan gamblang, kenapa sekarang jadi “saya, Pak Biru” kamu seperti membuat batasan." Biru menatap Hafsah yang berhenti mengunyah. "Bicara biasa saja, jangan terlalu formal. Kita di luar kantor."Hafsah mengalah, dia mengangguk kemudian membuang muka. Ditatap Biru, tent
***Hafsah pulang bersama Biru setelah salat isya. Bu Rania cukup terkejut melihat putrinya diantar oleh Biru menggunakan mobil lain. Pertanyaan demi pertanyaan yang Bu Rania lontarkan terkadang mendapatkan jawaban yang sedikit kurang memuaskan. Termasuk tentang mobilnya yang lagi-lagi ditinggal di Kantor sementara Hafsah pulang bersama Biru. Bu Rania tidak puas dengan jawaban Hafsah yang hanya mengatakan, "Mas Biru tadi yang ngajakin bareng, Bu."Sudah, hanya itu saja jawaban Hafsah padahal Bu Rania berharap ada jawaban yang lebih memuaskan rasa ingin tahunya.Sebagai seorang Ibu, tentu lah Bu Rania ingin melihat putrinya bahagia dengan pria yang tepat. Kegagalannya menikah di dua bulan yang lalu membuat Bu Rania sedikit menaruh rasa khawatir, takut jika Hafsah memendam trauma dan memilih melajang seumur hidup. Ya, meskipun Hafsah sendiri tidak pernah mengatakan itu secara gamblang, tapi tetap saja kerisauan seorang Ibu tidak bisa dielak begitu saja. "Kok tiba-tiba ngajakin bareng,