Share

Bab 0007

Mas Tama kini membetulkan tempat duduk. Kakinya ia juntaikan ke bawah.

“Nggak usah ditutupi. Semalam ibumu ngomong apa sama ibuku? Kedatangannya bukan untuk menghibur besan, tapi sebaliknya. Sengaja merusak kesehatan ibuku? Kemarin, tensi ibu itu sudah normal. Tapi, gara-gara ucapan ibumu semalam, tadi tekanan darah beliau kembali tinggi. Ibumu itu sudah tua, tapi tidak pernah dewasa.” Suaraku pelan tapi penuh penekanan.

Kulihat wajah Tama memerah. Mungkin, marah, tidak terima ibunya dijelek-jelekkan. Namun, kali ini aku tidak peduli. Dia dan keluarganya sudah sangat keterlaluan. Tidak ada lagi toleransi untuk mereka. Sudah hilang kesabaranku dibuatnya.

“Jangan pernah kau hina ibuku. Jelek-jelek begitu juga mertuamu. Kalau dia nggak dewasa, nggak mungkin dia bisa membesarkan kami. Kalau ibuku nggak dewasa, nggak mungkin mau menerima kamu yang tidak pernah akur dengannya.” Tama meninggikan suaranya.

Aku tersenyum sinis mendengar ucapannya. Sungguh menggelikan jawaban Tama.

“Bapak Tama yang terhormat. Dengarkan aku baik-baik. Ibumu tentu saja menerima aku meskipun tidak pernah akur dengannya. Itu bukan karena kedewasaannya, tapi karena tidak mau kehilangan uang bulanan dari aku yang cukup lumayan baginya. Coba saja kalau aku tidak punya penghasilan sendiri, tidak pernah memberikan uang bulanan untuknya, memang ibumu masih mau menerima aku?” Aku tersenyum miring ketika tatapan kami bertemu.

Dia terdiam. Jelas dia tidak bisa menjawab, sebab apa yang aku katakan benar adanya.

“Jawabannya tentu tidak! Percayalah sama aku, tanpa uangku Ibumu tidak akan pernah bisa menyukai aku. Dan kalau memang ibumu dewasa, tidak mungkin ia bilang sangat menyayangkan keputusan ku resign dari tempat kerja di depan ibuku. Betul, nggak? Gara-gara ucapan ibumu, ibuku jadi kepikiran terus. Beliau merasa bersalah atas keputusanku. Seolah beliau merepotkan aku. Aku benar-benar heran dengan ibumu, tujuan ibumu ngomong seperti itu di depan ibuku itu apa?” Tatapanku menguliti wajah Tama.

“Apa yang ibuku katakan itu tidak berlebihan, Sayang. Beliau hanya takut kita tidak bisa membayar angsuran bank kalau kamu tidak segera bekerja.” Dengan suara pelan Tama menjawab. Aku terdiam. Pura-pura tidak mendengarnya.

“Oh … jadi aku suruh kembali bekerja itu untuk membantu membayar setoran bank, begitu, Mas?” Dia tampak mengangguk ragu-ragu. Jujur sekali. Menjadikan istrinya sapi perah.

Ya Tuhan … laki-laki macam apa yang aku nikahi ini? Dia tahun setengah ke mana saja aku selama ini, hingga baru menyadarinya saat ini.

“Kamu tahu kan, ibu sangat ingin kita renovasi rumah?” Tama kembali bersuara.

“Maaf, Mas. Saat ini aku mau fokus mengurus kesehatan ibuku. Itu lebih penting daripada segalanya.”

“Ibumu memang penting, tapi ingat surgamu ada padaku saat ini, bulan pada ibumu lagi. Jadi, patuh pada suami itu di atas segalanya.” Tama menekan kalimat itu.

Aku memejamkan mata sejenak.

Ya Allah … apa maunya laki-laki itu? Seenaknya sendiri dia memberikan aturan.

Egois sekali dia, aku dituntut untuk patuh pada setiap titahnya. Seolah-olah dia sudah menjadi suami yang pasti bisa membawa istri ke surga yang wajib turuti setiap ucapannya. Padahal, dia adalah pezina. Dua tahun setengah aku tidak pernah membantah ucapannya. Karena aku berpikir surgaku ada pada suami. Aku harus sendiko dawuh dengan segala aturannya. Aku harus ikhlas mengabdikan diri pada suami tanpa kata tapi. Namun, semua rasa patuh itu hilang seketika saat tahu ia mengkhianati pernikahan suci kami.

Entah benar atau salah pendapatku ini? Laki-laki yang berlumur dosa tidak wajib dipatuhi lagi. Ini prinsipku.

Tanpa menjawab aku meninggalkan dia di taman. Kubawa langkah kami menuju ruangan Ini. Tidak mungkin aku mendebatnya saat ini. Takut-takut bibir ini tidak bisa mengendalikan diri dan akhirnya keceplosan. Bisa gawat kalau semua terungkap.

***

Pagi-pagi sekali Mbak Lilik menelponku. Ada apa lagi ini?

Dengan rasa enggan aku segera mengangkat teleponnya, lalu menjauh dari ruangan Ibu.

“Gimana, Mbak?” tanyaku basa-basi.

“Apa perlu Mbak laporkan kepolisian ya, De?”

Pertanyaan Lilik membuat aku tersentak kaget. Bisa repot kalau urusannya dengan kepolisian. Bagaimana kalau ada yang melihat aksi kami waktu itu. Bagaimana kalau ada yang memiliki bukti perbuatan kami malam itu? Detak jantungku bertalu-talu tidak karuan. Bagaimana kalau akhirnya ketahuan?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status