Share

Bab 0011

“Mbak Tv-nya nggak ada.” Aku memberi tahu Mbak Mayang yang sedang duduk di manis di ruang tamu. Debaran di dadaku sudah tidak menentu. Berbagai spekulasi bermunculan di ceruk kepala.

“Yang bener, De?” Mbak Mayang menyusul aku di ruang tengah.

“Iya, Mbak. Biasanya ditaruh situ.” Jari telunjukku mengarah pada meja, tempat tv itu letakkan.

“Jangan-jangan dijual sama Tama, kan kamu bilang kalau mertuamu sedang butuh uang untuk biaya PKL Arin.” Ucapan Mbak Mayang membuat darahku mendidih seketika. Tidak menutup kemungkinan.

“Bisa jadi, Mbak. Aku harus segera menanyakan kepada Mas Tama.” Segera kuambil handphone dari dalam tas. Lalu, mencari nomor Tama. Nomor yang dulu kuberi nama kekasih hati. Kini berubah nama menjadi Caman, alias calon mantan. Sudah segitu bulatnya tekadku untuk berpisah dengannya.

“Assalamualaikum, De.” Suara Mas Tama lembut. Entah mengapa mendengar suaranya yang seperti ini dadaku sebak seketika. Dulu, aku kira suara penuh kelembutan itu hanya dia persembahkan untukku. Tapi, kemarin aku mendengar sendiri bagaimana suara lembutnya itu ia gunakan di depan Lilik.

Mbak Mayang menepuk pundakku, menyadarkan diri ini dari lamunan.

“Mas, kamu kemanakan tv-nya?” tanyaku tanpa basa-basi. Bahkan, salamnya pun tidak aku jawab. Padahal, menjawab salam itu wajib. Dengan buru-buru aku menjawab di dalam hati setelah menyadari.

“Oh itu. Kamu sedang pulang ke rumah? Gimana kabar Ibu?” Tama terdengar basa-basi. Sepertinya ia sengaja mengulur waktu alih-alih menjawab pertanyaanku dengan tepat.

“Mas, jawab. Kamu kemanakan tv-nya?” Kuulangi pertanyaan tersebut.

“Di rumah Ibu. TV ibu rusak. Daripada membelikan baru, lebih baik memberikan yang itu aja. Toh, kamu juga mau tinggal sementara waktu di rumah ibumu.” Enteng sekali bibir Tama menjawab demikian.

Tanganku mengepal kuat-kuat. Dadaku bergemuruh sangat riuh. Darahku menggelegak hingga ke ubun-ubun.

“Kenapa kamu tidak izin aku terlebih dahulu, Mas? Bukankah kamu tahu itu barang dibeli menggunakan uangku?” Suaraku penuh penekanan.

“Jangan lupa kita ini suami istri, De. Barangmu berarti juga barangku. Ingat, aku ini kepala rumah tangga. Keputusan mutlak ada di tanganku. Sebagai makmum, kamu hanya cukup mengikuti tanpa perlu protes. Ibuku membutuhkan televisi. Memangnya salah kalau aku memberikan barang yang tidak dipakai di rumah kita?”

Klik. Sambungan telepon aku mematikan sepihak.

Tidak ada gunanya berdebat dengan Tama. Dia selalu begitu, merasa sebagai kepala keluarga, semua keputusan mutlak ada di tangannya. Sebagai seorang istri, aku tidak pernah dilibatkan dalam mengambil keputusan. Serasa tak dihargai. Dulu, aku tidak pernah mempermasalahkan ini, tapi kini semuanya terasa menyakitkan. Kemana saja aku selama ini? Apa mungkin karena dibutakan oleh cinta sehingga menganggap itu hal biasa. Padahal, sebagai partner hidup, keberadaan seorang istri tidak boleh diabaikan. Seorang suami itu seharusnya selalu berdiskusi dengan pasangan dalam masalah apapun, dalam mengambil keputusan apapun.

Dadaku naik turun menahan emosi yang meledak-ledak di dalam sini.

“Kenapa, De?” Mbak Mayang menatapku penuh rasa penasaran.

Aku menarik napas dalam-dalam.

“Kita ke rumah ibunya Tama, Mbak. Tvku ada di sana.”

“Baru ditinggal beberapa hari saja barang-barangmu sudah diambil mertua? Bagaimana kalau ditinggal sebulan? Bisa-bisa seluruh perabotan milikmu itu pindah ke sana semuanya, De.”

“Bisa jadi, Mbak.” Aku kembali mengatur napas.

“Jangan sendiri. Kita tunggu Pak Rohan. Sebaiknya kemasi baju-bajumu dan barang-barang yang penting. Sekalian bawa biar nggak bolak-balik ke sini.” Mbak Mayang memberikan masukan. Aku mengangguk setuju.

Selesai berkemas, sebuah mobil truk parkir di depan rumah Tama.

“Pak, kita langsung angkut semua barangnya,” ucapku setelah bertemu dengan sopir truk tersebut.

Rencana mengambil televisi aku tunda dulu. Sepertinya, mengamankan barang-barang di rumah ini jauh lebih penting.

Dibantu kernetnya, Pak Rohan mengangkut barang-barang yang aku sebutkan tadi.

“Sudah semuanya, Pak. Bapak ikut saya ke rumah mertua untuk mengambil televisi.” Aku memberikan instruksi kepada supir truk tersebut.

Dengan langkah lebar aku menuju rumah mertua, disusul Mbak Mayang dan Pak Rohan di belakangku.

Pintu rumah yang terbuka lebar membuatku bebas masuk. Tanpa permisi terlebih dahulu aku nyelonong ke dalam rumah. Sepi.

“Assalamualaikum ….”

Mbak Mayang mengucapkan salam di belakangku. Tapi, tak ada yang menyahuti. Entah pada ke mana mereka?

Aku bawa langkah kaki menuju ruang tengah, tempat tv itu berada. Biasanya di ruangan itu Bu Mumun berleha-leha.

Benar saja, TV itu ada di atas meja. Bertengger dengan manisnya. Kutekan emosi ini kuat-kuat agar tidak meledak.

“Pak, tolong bantu angkat ini.” Aku kembali memberikan perintah.

Tak butuh waktu lama, Pak Rohan sudah berhasil membawa TV keluar.

“He, siapa itu?” Dari belakang suara Bu Mumun menggelegar. Aku tersenyum miring saat menoleh ke arahnya.

“Aku, Bu. Mau ngambil televisi.” Dengan santai aku menjawabnya seraya melangkah hendak meninggalkan rumah mertua.
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Utinya AL Ghifari
next thor ..ikut dag dig dug
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status