Jam tujuh malam, aku membawa ibu ke meja makan. Sebelum pulang, aku tadi sengaja mampir membeli beberapa lauk untuk makan malam. “Kamu kenapa, Mbak?” tanyaku saat melihat gelagat aneh Lilik. Di meja makan ia menutup mulut seperti hendak muntah saat aku membuka tutup penanak nasi. “Bau nasinya biki
Lilik tidak berani mengangkat kepala.“Terbuat dari apa hatimu sehingga bisa selingkuh di belakang anakku? Di sana dia berjuang mengumpulkan uang untuk membahagiakan kamu, tapindi sini kamu asyik goyang di ranjang dengan laki-laki lain! Astaghfirullah … apa dosa anakku sampai diselingkuhi seperti ini, ya, Allah? Ibu histeris.Tangisan ibu menyayat hati. Siapa pun pasti akan ikut menangis melihat beliau seperti ini. Tak terkecuali aku. Air mataku mengalir deras, pertahananku jebol.“Maafkan Lilik, Bu.” Lilik bersimpuh di depan ibu. Ia berusaha menggapai tangan mertuanya, tapi segera ditepis oleh perempuan yang telah melahirkan aku itu.Ibu sesenggukan. Lilik pun ikut menangis. Entah apa yang ia tangisi? “Katakan siapa laki-laki yang telah mengguncang ranjangmu?” Ibu kembali bersuara setelah sekian menit menangis, isakan masih ada.“Apa kamu lupa siapa dirimu, Lik? Anak yatim piatu yang tidak jelas asal usulnya. Diangkat derajatnya oleh anakku. Dulu, hidup dalam kekurangan. Kini dibuat
Dengan senyum menyeringai, Lilik mengelus perutnya.Dadaku gemuruh kian riuh. Tangan ini mengepal dengan sempurna. Tatapanku menghujam. Meskipun aku sudah tahu, tapi tetap sakit hati ini mendengarkannya. Air mata yang tadi sudah surut kini kembali menetes, tapi buru-buru kususut. Aku tak mau terlihat lemah di depannya.“Apa? Jadi kamu selingkuh dengan iparmu sendiri, Lik?” Jari telunjuk ibu mengarah tepat ke arah wajah Lilik.“Iya, ini anaknya Tama, Bu. Kami saling mencintai. Anak-anakmu tidak bisa memuaskan kami. Jadi, wajar kalau akhirnya kami bermain di belakang mereka."“Pergi dari sini, pergi!” Jari telunjuk ibu mengacung ke arah pintu.Detik berikutnya tubuh ia roboh. Aku memekik histeris. Pasti, tensi beliau kembali tinggi.“Jangan bengong aja, bantu aku mengangkat ibuku, Lik!” Terbuat dari apa hatinya sehingga tidak bergerak sedikitpun untuk membantu ibuku Susah payah aku payah aku mengangkat ibu yang cukup berat. Tapi, sia-sia. Karena nyatanya bobot tubuh ibu lebih besar dar
POV TamaApa sih maunya perempuan itu? Kenapa semua barang di rumah ia angkut semuanya? Kepala ini benar-benar pusing memikirkan sikap Amira yang mendadak berubah akhir-akhir ini. Tidak ada lagi istriku yang penurut. “Tam, jujur sama Ibu, sebenarnya ada masalah apa dengan rumah tangga kalian? Kenap
Aku terdiam, teringat kata-kata Amira kemarin. “Ibumu menerima aku karena uangku.”“Tapi, saat ini Amira sudah tidak bekerja, Bu. Dia mau konsentrasi mengurus ibunya. Apa ibu masih ingin mempertahankannya?” Aku menyampaikan kebenaran. “Amira itu sangat mencintai kamu. Berikan kesempatan padanya unt
“Bagaimana kondisi ibu saat ini, De?” tanya Kak Fikri di seberang sana. Aku menatap ke arah ibunya yang sedang tertidur. Lalu, melangkah ke luar ruangan agar bisa leluasa berbicara dengan abangku. Saudaraku satu-satunya itu saat ini sedang dalam perjalanan pulang menuju Indonesia. Begitu mendengar
Enak sekali kalau ngomong. Ingin rasa rasa aku mendebatnya saat ini juga, tapi percuma. Urusannya akan panjang dan lama. Aku tidak mau itu terjadi.“Saya pikirkan nanti, Bu.” Aku pamit, hendak meraih punggung tangannya.“Ibu ingin mendengar jawabanmu sekarang biar tenang.” Bu Mumun masih menahan tan
POV 3“Kurang ajar! Dari mana dia tahu kalau aku sedang mengincar uangnya? Seandainya ibunya tidak akan mendapatkan uang gusuran yang sangat besar itu, tidak mungkin aku sudi menemui seperti ini! Tidak mungkin aku menjatuhkan harga diriku di depan anak ingusan itu kalau bukan demi impianku. Awas kam
“Ini tempatnya, Mbak?” Tama menatap perempuan yang merupakan tetangga kontrakan Lilik tersebut dengan kening mengkerut. “Iya, ini, Mas. Beberapa hari yang lalu juga ada yang mencari Mbak Lilik. Perempuan. Bahkan dia menitipkan sesuatu untuk Zidane.” Tama terdiam, tapi otaknya berpikir menerka-nerk
Amira terdiam, menunggu jawaban Tama. Sebenarnya dia sendiri ragu, tidak yakin dengan idenya ini. Tapi, Amira merasa perlu melakukan itu demi kebaikan Zidane. [Jangan memintaku yang tidak-tidak, Mir! Mustahil aku kembali dengan Lilik. Itu tidak mungkin terjadi.] Tama mengirimkan pesan balasan pada
“Lilik?” Samar, Amira memanggil wanita yang sedang menuntun bocah cilik sambil menenteng tas yang terlihat berisi dagangan. “Pak tolong berhenti sebentar.” Amira meminta kepada sopir taksi. “Tapi argonya tetap jalan, ya, Mbak.” Sopir mengingatkan. “Nggak masalah, Pak. Nanti saya lebihkan untuk
“Kapan acara lamarannya, De?” tanya Fikri di negeri seberang sana. Amira baru saja menceritakan niat baik Reza yang ingin melamarnya kepada Fikri. “Rencananya empat hari lagi, Bang. Abang sekarang sudah merestui ‘kan?” tanya Amira yang belum begitu yakin sepenuhnya terhadap restu Fikri. “Insya
“Terima kasih banyak, ya, Mas. Maaf nggak bisa menyuruh mampir. Ini susah sangat malam.” Amira menghampiri pria yang berada di balik kemudi bulat setelah memarkirkan motornya di depan rumah. “Memang seharusnya aku tidak mampir, De. Kalau mampir nanti bahaya,” kelakar laki-laki di balik kemudi yang
“Mau sampai kapan kamu diam di situ, Lilik? Mau sampai kapan kamu membiarkan Zidane mengacak-acak permainannya? Cepat bereskan rumah ini! Aku muak melihat kamu yang seperti ini terus! Sudah berapa kali aku bilang? Jangan biarkan anakmu mengacak-acak ruang tamu atau ruang tengah dengan permainannya i
[Bi, tolong sampaikan ke Ibu, aku tidak bisa pulang sore ini. Mungkin, nanti malam baru pulang. Aira meninggal dunia, Bi. Aku bantu-bantu sekalian di sini.] Amira mengirimkan pesan pada Bi Marmi, bibinya. Amira baru sempat memberi tahu keluarganya. Derap langkah kaki yang memasuki ruang tamu membu
“Mas Tama, Mbak.” Amira menyodorkan ke handphone Santi yang baru kembali dari kamar ibunya. “Mungkin mau bicara sama kamu, Mir.” Santi kembali menjatuhkan bobot tubuhnya di samping Amira. “Nggak, dia sengaja menelpon Mbak Santi, kok.” Tama sengaja menghubungi Santi melalui Amira, sebab handphon
Di depan pintu Santi menyambut Amira dengan penuh kesedihan. Sesuai permintaan Tama, Amira akhirnya pergi ke rumah Mumun. Memastikan bahwa keluarga mereka baik-baik saja. Tama sengaja mengutus Amira sebab nomor handphone Santi tidak bisa dihubungi. “Apa kabar, Mbak?” Amira mengulurkan tangan ke ar