Share

Bab 0014

“Pertanyaan kedua, kenapa kamu mengambil seluruh barang-barang di rumah? Bahkan TV di di rumah ibuku pun kamu ambil tanpa perasaan. Aku benar-benar tidak mengenali kamu lagi, Amira.” Tama kembali meninggikan suaranya.

“Karena aku butuh uang.” Jawabanku singkat, padat.

“Kalau memang butuh uang itu kerja. Sok-sokan resign, tapi menjual barang yang ada di rumah.”

Ucapan Tama bagai anak panah yang menancap pada relung hati. Sakit. Sangat sakit. Seandainya dia suami yang baik, tidak akan sanggup ngomong seperti itu.

Seharusnya dia bilang, “Seharusnya kamu ngomong kalau kekurangan uang, bukan malah menjual barang-barang. Kan kamu masih punya suami. Kebutuhanmu adalah tanggung jawabku sepenuhnya. Kamu istriku.”

Sayangnya, aku lupa kalau Tama tidak akan pernah ngomong seperti itu. Dia justru amat sangat bahagia kalau istri bekerja. Berarti, ada orang yang akan mengambil tanggung jawabnya memenuhinya semua kebutuhan rumah tangga. Laki-laki itu tinggal membantu ala kadarnya. Kan memang begitu selama ini.

Ya Allah … ke mana aja aku selama ini? Kenapa aku baru menyadarinya saat ini?

“Sekalipun aku resign, ini tidak ada urusannya denganmu, Mas. Toh, aku makan tidak akan minta sama kamu, kok, tenang aja. Lagian, menjual barang dari hasil kerja keras aku sendiri memang salah? Ingat, semua barang yang aku ambil itu dibeli menggunakan uangku sendiri. Tentu kamu nggak lupa akan hal itu, kan, Mas?”

Tidak ada jawaban dari seberang sana. Mungkin sudah kehabisan kata-kata.

“Sekali lagi, aku hanya mengambil barang yang aku beli sendiri. Tidak ada barang yang menggunakan uangmu. Aku tidak berbuat curang, kok, jadi tenang saja.”

Dia terdiam. Mungkin, sedang berpikir.

“Tapi, tidak seharusnya kamu membawa semua barang itu. Setidaknya sisain satu, TV di rumah ibu. Beliau itu suka kesepian kalau nggak ada orang di rumah. Hiburan Ibu satu-satunya, hanya TV.” Suara Tama melemah. Mungkin, merasa kalah

sehingga ia harus mengalah.

“Kok, aku merasa bersalah ya, Mas. Padahal itu tv aku lho. Dibeli menggunakan uangku sendiri, kenapa dilarang mengambilnya? Kan aneh. Kamu tahu kan biaya rumah sakit ibuku, tuh, nggak murah. Setelahnya, kami pun masih butuh makan. Jadi, wajar dong kalau ambil barang-barangku dijual . Kami butuh biaya hidup. Kalau memang ibumu menginginkan TV, ya, dibelikanlah. Gajimu itu kan lima juta setiap bulannya, pasti tabungan kamu sekarang sudah banyak. Setiap bulannya sisa dua juta, kan? Masa iya tidak kami mampu membelikan TV ibumu! Okelah, kalau kamu keberatan beli secara cash, bisa, kok, kredit. Diangsur setiap bulan. Beres ‘kan? Jangan dibiasakan suka ngerecokin barang milik orang lain.” Lega, itu yang aku rasakan setelah meluahkan segala unek-unek yang selama ini mengganjal di dalam sini.

Seandainya, kamu tidak mengkhianatiku, TV itu akan tetap berada di rumah ibumu.

“Kamu benar-benar keterlaluan Amira!” Suaranya menggebu-gebu. Aku hanya meresponnya dengan cebikan meskipun dia tak melihatnya.

“Maaf, saat ini aku tidak bisa membantu Ibumu lagi. Aku sedang butuh banyak uang untuk hidupku sendiri.” Klik, sambungan telepon aku matikan sepihak.

Di dalam mobil, tidak ada lagi pembicaraan antara aku dan Mbak Mayang. Hening. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing.

“De, itu kayak motornya Lilik?” tanya Mbak Mayang setelah kami parkir di halaman rumah Ibu tepat pada jam setengah tujuh malam.

“Bener, Mbak. Mau ngapain ia ke sini?” Sungguh, aku takut dia ngomong macam-macam di hadapan Ibu yang saat ini belum sehat 100%.

Dengan segera aku turun dari mobil, berjalan menuju rumah.

“Sudah lama datangnya, Mbak?” Aku bertanya pada Lilik setelah mengucapkan salam.

“Sudah. Sudah dari tadi. Ada tiga jam yang lalu.” Lilik menjawab dengan sumringah.

Kekhawatiranku semakin menjadi-jadi. Takut-takut Lilik keceplosan di hadapan ibu. Keresahanku bertambah berkali lipat manakala tidak aku temukan bibi di rumah ini. Jangan-jangan dia sudah pulang.

“Ibu lagi ngapain, Mbak?”

“Ada di kamarnya?”

Gegas, aku menuju kamar Ibu. Bertanya-tanya apa saja yang dilakukan Lilik di sini.

“Mbakmu bilang hanya kangen dengan ibu dan juga masmu. Itu sebabnya, ia ingin tinggal di sini beberapa hari.”

Deg!

Spontan aku menggigit bibir bawah.

Seandainya ibu tahu tujuan Lilik tinggal di sini, dia itu bukan rindu dengan ibu dan juga Kak Fikri. Tapi, mau menumpang hidup. Karena tidak mungkin lagi tinggal sendiri dalam kondisi tidak punya apa-apa. Mau tinggal di sini untuk menumpang hidup. Cari makanan gratisan.

Sejujurnya, aku jijik menampung pengkhianat di rumah ini. Tapi, kalau aku mengusirnya takut ibu bertanya macam-macam. Dan kalau aku jujur, rasanya tidak siap. Karena pasti, kejujuranku akan mempengaruhi kesehatan ibu. Dan aku tidak mau itu terjadi. Lebih baik aku mencari cara untuk membuatnya tidak betah tinggal di sini.

Aha, aku tahu apa yang harus aku lakukan. Lihatlah, Lilik. Apa yang akan aku lakukan padamu besok. Aku menyeringai membayangkan bagaimana reaksi perempuan murahan tersebut.
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Siti Hasanah
next nya gak sabaran apa yg dilakukan Amira PD pengkhianat
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status