Share

Bab 0015

Jam tujuh malam, aku membawa ibu ke meja makan. Sebelum pulang, aku tadi sengaja mampir membeli beberapa lauk untuk makan malam.

“Kamu kenapa, Mbak?” tanyaku saat melihat gelagat aneh Lilik. Di meja makan ia menutup mulut seperti hendak muntah saat aku membuka tutup penanak nasi.

“Bau nasinya bikin mual.” Dia menjawab dengan ragu.

Aku dan ibu saling pandang. Aku mengerutkan kening, tapi tidak dengan ibu. Wajah yang semua cerah kini menjadi keruh. Aku tak tahu sebabnya.

“Sejak kapan kamu mual melihat nasi, Lik?” Dari atas kursi roda, ibu menatap menantunya penuh selidik. Ah, calon mantan menantu tepatnya. Karena Kak Fikri sudah sepakat dengan aku, akan menceraikan istrinya jika kondisi ibu sudah benar-benar pulih. Sementara waktu, kami akan bersikap biasa dulu.

Dia menggelengkan kepalanya, ambigu.

“Coba ambilkan nasi untuk Mbakmu, Mir.” Ibu menyuruhku. Meskipun enggan aku menurut, demi akting. Aku tak mau ibu curiga bila sikapku mendadak berubah pada Lilik, sang pelakor.

Tangan yang sedang menyendok nasi terpaksa menggantung di udara karena ucapan Lilik.

“Nggak usah, De. Nanti Mbak Lilik ambil sendiri kalau mau. Sekarang melihat nasi saja pengen muntah.” Masih dengan menutup hidung Lilik menjawabnya.

“Kamu hamil?” Ibu meninggikan suaranya. Tatapannya kini tak bersahabat sama sekali.

Lilik hamil?

Ya Allah … benarkah apa yang dikatakan Ibu? Jika itu benar, berarti itu anaknya Tama. Dadaku bergemuruh dengan hebatnya. Lututku lemas seketika. Piring dalam genggaman pun jatuh seketika. Pecah menjadi dua, sama seperti hatiku. Hancur. Meskipun sudah tahu mereka pernah melakukan hubungan di ranjang, tapi hati ini rasanya remuk mendengar kenyataan menyakitkan.

“Astaghfirullah … kamu kenapa, Nduk?” Ibu menoleh ke arahku dengan tatapan yang sulit diartikan.

Aku menggeleng, lalu menunduk untuk mengambil pecahan piring. Dengan segera kembali ke tempat duduk tidak tampak kehancuranku di hadapan ibu. Sekuat mungkin aku menyembunyikan luka di hati ini. Pahlawanku tidak boleh tahu apa yang aku rasakan saat ini. Beliau tak boleh pikiran.

Aku membuang muka, menyembunyikan kesedihan saat ibu menggerakkan kursi roda, mendekat ke arah Lilik.

“Kamu hamil dengan siapa, Lik?” Ibu mengguncang pudak wanita yang mematung, pandangannya kosong. Lilik melamun.

“Jawab! Laki-laki mana yang telah menidurimu, Lilik?” Suara Ibu naik beberapa oktaf. Kekecewaan itu tampak jelas di wajahnya yang sudah tidak muda lagi.

Amarah sedang menguasai beliau. Aku takut setelah ini ibu kembali drop. Tensi darahnya kembali tinggi. Aku tidak mau itu terjadi. Aku harus meredamnya.

“Bu, belum tentu Mbak Lilik hamil. Bisa saja ia hanya masuk angin. Biarin ajalah. Nanti setelah minum obat pasti sembuh. Kita makan dulu, ya, aku Mira sudah lapar.” Aku berusaha menenangkan ibu meskipun diri ini tidak yakin mampu menenangkannya.

Kuelus pundak ibu dengan penuh kelembutan. Berusaha menenangkan beliau walaupun hati ini pun butuh ditenangkan. Seandainya, tidak ada ibu di sini, sudah pasti aku marah besar pada Lilik. Tapi, kini aku berusaha menekan emosi itu dalam-dalam demi menjaga kesehatan ibu.

“Ibu tidak bodoh, Mir. Ibu sudah dua kali hamil. Bisa membedakan mana orang yang masuk angin dengan mana yang sedang ngidam. Dulu, ibu pun tidak menyukai nasi ketika hamil Masmu. Mencium baunya saja sudah mual duluan. Lagian, sejak di rumah sakit, ibu juga sudah mencurigai Lilik. Tubuhnya terlihat seperti sedang hamil, tapi ibu tepis. Ibu berusaha untuk berprasangka baik, dia seperti itu karena gendut. Ternyata prasangka ibu salah total.” Dada ibu terlihat naik turun.

Usahaku untuk meredam emosi ibu sia-sia. Ajakan makanku ia abaikan.

Acara makan malam bubar. Nasi dan lauk hanya menjadi pajangan di atas meja. Tidak ada satu orang pun yang meliriknya. Rasa lapar menguap begitu saja. Masalah besar ini sudah membuat kami kenyang seketika.

“Ibu mendadak kenyang karena ada yang hamil tanpa ada suaminya!” Suara ibu bergetar. Tanda tangisnya akan pecah.

Dadaku semakin sebak menyaksikan wanita tercintaku begitu terluka. Mataku sudah terasa panas. Hatiku bagai ditusuk-tusuk oleh ribuan jarum. Sakit, sakit sekali.

Lilik menunduk, jari jemarinya saling meremas.

“Sekarang katakan siapa bapak dari anakmu, Lik?” Suara ibu melengking. Wajahnya memerah, menahan amarah. Tatapannya menghunus. Sungguh, aku takut sekali darah ibu akan semakin tinggi. Padahal, belum ada dua puluh empat jam di rumah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status