Share

Bab 0013

“Alhamdulillah, barangnya sudah habis. Rezekimu bagus, De. Tidak butuh waktu lama langsung laku.” Mbak Mayang menepuk pundakku yang sedang menatap truk pengangkut barang milikku pergi meninggalkan rumah Mbak Mayang.

“Terima kasih banyak, ya, Mbak. Semua ini berkat jasa Mbak Mayang, barang langsung terjual. Sungguh, aku tidak menyangka akan secepat ini. Tadinya aku pikir butuh waktu berhari-hari untuk mencari pembeli.” Aku memeluk Mbak Mayang erat.

“Itu semua pertolongan dari Allah. Mbak mah apa atuh kalau Allah tidak menggerakkan hati orang tersebut, tidak mungkin orang tadi itu menanggapi postingan Mbak di media sosial.” Mbak Mayang melerai pelukannya.

“Ini komisi buatmu, Mbak,” ucapku setelah kembali ke ruang tamu milik Mbak Mayang. Aku mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna merah dari dalam gepokan, hasil penjualan barang-barangku.

“Kamu nggak perlu repot ngasih komisi ke kami. Pake saja semua untuk kebutuhanmu dan Bulik Sumi,” ucap Mbak Mayang, menolak uang bonus pemberian ku.

“Terima kasih banyak, ya, Mbak.” Mataku berkaca-kaca.

Aku menangis karena haru dan syukur. Di tengah gempuran kemelut rumah tanggaku serta kesehatan ibu yang tidak baik-baik saja Mbak Mayang ada, memberikan pundak dan dukungan penuh untukku.

Mbak Mayang tidak pernah setengah-setengah dalam memberikan bantuannya kepadaku. Ia pun tak segan memasang iklan di media sosial miliknya, mengiklankan barang-barangku. Tidak butuh waktu lama barang tersebut pun laku.

Obrolan kami harus terjeda karena dering handphone dari dalam tasku.

Aku menghela napas panjang setelah mengetahui siapa pemanggilnya.

“Siapa?” Mbak Mayang menangkap gelagatku.

“Tama. Pasti dia akan marah karena barang di rumahnya sudah aku angkut semuanya. Pasti, ibunya sudah mengadu, meminta Tama untuk memarahi aku.” Bisa dipastikan tebakanku benar.

Karena enggan mengangkat telepon, kubiarkan panggilan itu senyap hingga layar handphoneku menghitam.

Aku sudah bersiap untuk pulang. Mbak Mayang pun sudah duduk di depan kemudi, siap mengantarkan aku pulang. Tapi, lagi-lagi handphone dalam tasku kembali berisik, minta diangkat. Kali ini aku mengangkatnya. Mengabaikan telepon Tama, berarti aku lari dari masalah. Bukan solusi terbaik.

“Assalamualaikum. Ada, Mas?” Aku berusaha melembutkan suara, seolah tak ada apa-apa.

“Apa yang telah kamu lakukan pada kakakku, Amira?” Suara Tama meninggi. Tebakanku tepat, dia pasti marah-marah. Entah apa yang disampaikan kakaknya?

“Oh, kakakmu sudah membuat laporan? Memangnya dia bilang apa?” Aku menjawab dengan tenang.

“Tega kamu memfitnah kakakku hingga dia menangis histeris?” Suara Tama semakin tinggi.

Aku tersenyum kecut setelah menghembuskan napas kasar. Tama selalu begitu, percaya dengan semua omongan Kakaknya. Dan aku yakin Santi itu telah mengarang cerita, tentunya memojokkan aku.

“Fitnah. Fitnah yang mana? Oh aku tahu, kakakmu tercinta pasti sudah pengarang cerita tentang video yang aku tunjukkan tadi, ya? Aku tak memfitnah. Tapi, itu kenyataan.”

“Video? Video apa lagi, Amira? Aku tak mengerti. Katakan video apa yang kamu maksud?” Tama terus mendesak.

“Jangan terus mendesakku kalau kamu tidak mau malu sendiri, Mas. Aku peringatkan, kamu boleh saja membela keluargamu dengan mati-matian. Tapi, pastikan keluargamu berada di jalur yang benar. Jangan sampai kebalikannya. Membela mereka hingga titik darah penghabisan, tapi ternyata salah besar. Sebaiknya mulai sekarang jangan menelan mentah-mentah apa kata keluargamu. kamu itu tidak seharusnya selalu ikut-ikutan membenarkan apa kata mereka, Mas.”

“Aku semakin tak mengerti dengan semua ocehan kamu, Amira. Kamu harus tahu, aku lebih percaya dengan ucapan kakakku. Jangan berani macam-macam kamu sama Mbak Santi. Mencari masalah dengannya, berarti bakal berurusan denganku meskipun itu kamu, istriku sendiri.”

Segitu cinta Tama dia pada keluarganya. Namun, cinta membabi buta itu hanya berlaku untuk ibu, kakak serta adik perempuannya. Tidak dengan istrinya, aku. Sebak dada ini bila mengingat semua masa lalu.

“Aku tidak tahu cerita apa yang telah disampaikan kakakmu. Tapi, satu hal yang harus kamu tahu, Mas, tidak semua cerita kakakmu itu benar. Aku harap sebagai laki-laki satu-satunya di keluarga itu, kamu bisa mendidik mereka. Ajarkan pada mereka untuk jujur, dan jangan suka memutarbalikkan fakta yang ….” Belum sempat aku meneruskan ucapan, Tama sudah menyerobot duluan.

“Kamu menuduh keluarga aku berbohong? Terus kamu pikir aku percaya sama omongan kamu? Kamu itu yang pembohong, Amira? Sekali lagi aku tegaskan, aku lebih percaya mbakku. Sepertinya benar kata ibuku, kamu itu dari dulu jahat sama keluargaku!” Suara Tama memburu, dia tidak terima keluarganya dijelekkan.

“Kamu nggak percaya sama aku? Bodo amat, Mas. Nggak ngaruh. Toh, saat ini kepercayaanmu juga tidak penting lagi bagiku. Oh, ya, aku nggak suka sama keluarga kamu? Nggak kebalik, tah? Mati-matian aku berusaha mengambil hati ibumu, tapi dia selalu begitu. Kalau aku jahat sama keluargamu, mana mungkin mau ngasih uang ibumu setiap bulannya? Kalau aku jahat sama orang keluargamu, apa mungkin setiap bulan mau ngasih uang SPP untuk Arin? Coba pikir pake akal sehat dan hati nuranimu, Mas! Nanti kamu akan tahu jawabannya.

Sekali lagi aku ingatkan. Jangan terlalu membela keluargamu mati-matian, sebelum mengetahui kebenarannya. Takutnya, kamu akan malu sendiri kalau tahu fakta yang sesungguhnya.” Aku memejamkan mata sejenak, menghirup oksigen sebanyak-banyaknya guna mengurai sesaknya dada.

Selama ini dengan senang hati aku membantu keluarganya, mati-matian mengambil hati ibunya yang dari awal tidak menyukai aku. Aku pikir dengan memberikan uang jajan setiap bulan itu mampu membuka hati Bu Mumun sehingga bisa menerima aku dengan tangan terbuka. Tapi, ternyata itu hanya khayalan aku semata. Buktinya, ibunya Tama hanya senang menerima uangku saja, tapi tidak dengan diriku. Di belakang mungkin dia mengunjingku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status