Share

Bab 0012

“Wong edan! Kembalikan televisiku!” Suara Bu Mumun melengking.

“Suruh Mas Tama beliin sendiri, Bu. Jangan mengambil barang milik orang lain. Itu TV aku beli menggunakan uangku sendiri. Maaf, TVnya aku ambil karena sedang butuh.” Aku tak memberikan kesempatan perempuan itu untuk membantah.

“Ada ini, Bu? Kenapa ada orang membawa TV dari arah rumah ini?” Kakak iparku secara tiba-tiba, seperti jelangkung.

Tapi aku tak menghiraukannya. Kaki ini terus melangkah meninggalkan rumah mertua menuju mobil, tempat barang-barangku di simpan.

“Amira, balikin tv ibuku!” Suara Santi terdengar jelas di belakangku. Aku terus melangkah tanpa menoleh sedikitpun ke belakang.

“Jangan gila kamu. Itu barang milik ibu kenapa kamu ambil? Mau menjadi maling kamu?” Kerudungku ditarik Santi dari

belakang.

“Lepaskan!” Aku berusaha melepaskan diri, tapi sia-sia. Cengkeramannya terlalu kuat hingga aku tidak bisa memberontak begitu saja.

“Apa gunanya kamu pake kerudung kalau suka mencuri barang milik orang lain?” Tarikan Santi semakin kuat. Aku meringis karena kena rambut.

“Tarik yang kuat, Santi! Biar tahu rasa! Jadi menantu kok tidak ada sopan santunnya. Mengambil barang milik mertua tanpa izin. Menyesal aku menjadikan kamu menantu! Pantas saja tidak punya anak. Mandul, kelakuannya aja seperti itu!” Dari arah belakang Bu Mumun mengumpat.

Ada yang nyari di dalam sini saat dibilang mandul. Padahal kata dokter, aku ini tidak ada masalah. Belum dikasih kepercayaan saja sama Allah. Tapi aku bersyukur, dengan tidak adanya anak di antara kami memudahkan aku untuk melepaskan diri dari Tama dan keluarganya yang Naudzubillah.

“Rasakan ini! Sebentar lagi kamu pasti akan diceraikan oleh adikku.” Santi mengencangkan tarikan kerudungku. Aku meringis, menahan sakit di kepala. Terlihat orang-orang berdatangan karena melihat keributan di depan rumah tetangga.

Ada dua rumah yang kami lewati ketika akan kembali ke kediaman Tama. Aku bersitegang di depan rumah yang kami lalu itu.

“Lepaskan!” Mbak Mayang membantuku melepaskan diri dari Santi.

“Amira itu tidak salah!” lanjutnya dengan suara tinggi.

Detik berikutnya, Mbak Mayang berhasil melepaskan kerudungku dari cengkraman Santi.

“Mana ada maling tidak salah? Bela terus saudaramu yang gila itu!” Santi menatap tajam ke arahku. Aku mengelus kepala yang terasa sakit.

“Maling teriak maling! Kalian yang maling itu! Itu TV aku beli menggunakan uangku sendiri. Bukan uangnya Mas Tama. Lalu, kalian main ambil seenaknya sendiri. Aku sedang butuh uang. Jadi, jangan coba-coba menghalangi aku mengambil milikku!” Kutatap dua orang perempuan yang merupakan keluarga Tama.

“Pembohong. Itu Tama yang membeli, bukan kamu! Dasar wong edan!” Bu Mumun tidak terima.

Aku tersenyum miring, mata ini menatap ke sekeliling. Para tetangga menjadikan kami bahan tontonan.

“Mas Tama itu hanya mampu memberikan nafkah satu juta dalam satu bulan. Karena uangnya habis untuk setoran motor sportnya dan juga bekalnya sendiri. Padahal, kebutuhan rumah tangga itu meskipun hanya berdua, lebih dari satu juta. Aku terpaksa nombok tiap bulannya. Aku ikhlas, tidak ingin mengungkit ini sebenarnya. Tapi, karena ibu mengaku-ngaku, aku harus meluruskan ini. Sekarang aku tanya, bagaimana ceritanya uang satu juta itu bisa dipake untuk beli tv yang harga berjuta-juta?”

Sebenarnya aku tidak ingin membeberkan ini di depan semua orang. Karena sebenarnya sebuah kekurangan suami yang tidak pantas untuk diumbar-umbar. Sebagai seorang istri, seharusnya aku menutup ini dari orang-orang. Tapi, ibunya Tama yang membuat terpaksa membeberkan semuanya.

“Awas kamu Amira! Akan aku adukan pada Tama. Biar kamu diceraikan sekalian!” Santi mengancam.

“Silakan. Siapa takut.” Aku menantangnya. Justru itu yang sangat aku harapkan. Aku melanjutkan langkah menuju rumah Tama.

“Itu apa, Santi?” Bu Mumun terdengar heboh. Jari telunjuknya mengarah pada mobil truk yang saat ini sudah terisi dengan barang-barangku tadi.

“Itu barang-barangku. Maaf, aku ambil. Mau dijual. Sedang butuh uang banyak.” Aku tersenyum seraya masuk ke dalam mobil Mbak Mayang, setelah memberikan instruksi kepada pak Rohan untuk segera jalan.

“Gila kamu, Amira! Kembalikan barang-barang itu atau aku laporkan ke kantor polisi.” Santi menggedor-gedor pintu mobil Mbak Mayang. Aku membuka kaca mobil hingga setengah.

“Silakan kalau berani. Mungkin, kamu yang justru mendekam di balik jeruji besi dengan tuduhan pencemaran nama baik. Aku punya bukti-bukti kalau itu barang murni dibeli menggunakan uangku sendiri. Jangan macam-macam kalau tidak mau mempermalukan diri sendiri. Aku tunggu surat cerai dari adikmu. Satu lagi, jaga sikapmu padaku kalau tidak mau rahasia busukmu diketahui oleh orang lain sejagat Maya.”

Aku tersenyum puas melihat ekspresi Santi yang tampak menegang seketika. Mukanya memerah. Entah marah atau malu?
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Siti Hasanah
mantap Amira,jadi perempuan yg strong dan tegas
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status