Share

Bab 0010

Setengah sebelas siang kami sudah berada di rumah Ibu. Beliau sudah diizinkan pulang dengan beberapa catatan dokter yang harus aku perhatikan. Mbak Mayang menjemput kami. Dia masih di depan menunggu aku. Kami mau segera pergi untuk menjalankan misi selanjutnya.

Saat ini, jarum jam di pergelangan tangan ini menunjuk ke angka tiga belas tepat. Karena ada misi yang harus diselesaikan, aku pun berniat menitipkan ibu pada Bibi.

“Bi, nitip Ibu. Tolong jagain beliau sampai sore kira-kira, bisa?” Aku menatap adik iparnya ibuku. Beliau ada di rumah Ibu. Datang setengah jam yang lalu setelah ibu tidur.

Wanita yang biasa aku panggil bibi itu mengangguk dengan cepat.

“Bisa. Mau ke mana?” Dia balik bertanya sembari mengurut kakinya sendiri.

“Mau ada perlu. Nanti kalau urusannya sudah selesai, aku segera kembali. Bibi mau nitip apa? Mumpung ke kota ini.” Aku pun menyebutkan semua jenis makanan kesukaannya. Dia menggelengkan kepala.

Beliau memang tidak pernah meminta imbalan, selalu tulus membantu. Tapi, aku juga tidak pernah lupa memberikan hadiah untuk beliau setiap aku membutuhkan tenaganya.

“Bibi tidak butuh apa-apa. Tapi, kamu harus cepat kembali. Jangan lama-lama takut kemalaman. Apalagi sekarang sering hujan di sore hari. Sudah pamit sama Ibu? Takutnya nanti nyariin.”

Bibiku ini cerewet. Kadang melebihi ibuku sendiri. Tapi, itu cara dia melindungi keturunan dari kakak laki-laki satu-satunya. Ya, beliau hanya punya dua keponakan, aku dan Kak Fikri. Karena bibi hanya dua bersaudara dengan almarhum bapakku.

“Aku tadi sudah pamit sama ibu. Langsung pulang begitu urusannya sudah selesai. Insya Allah nggak butuh waktu lama, kok, Bi.” Aku pamit setelah mencium punggung tangannya.

“Kamu sudah salat Duhur, Mir?” Bibi menghentikan langkah kakiku. Aku menoleh ke belakang. Lupa untuk menyampaikan sesuatu. Untung saja diingatkan.

“Sudah, Bi. Ibu belum salat. Tadi keburu tidur sebelum waktunya. Nanti tolong dibantu, ya, Bi.” Aku tersenyum melihat anggukan kepalanya. Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih dan pamit.

“Ayo kita berangkat sekarang, Mbak.” Aku menyambar tas cangklong yang sudah disiapkan di atas meja.

Mbak Mayang mengangguk, lalu pamitan pada bibiku.

“Hati-hati bawa mobilnya, May.” Bibiku memberi wejangan pada Mbak Mayang. Sepupuku hanya mengucapkan terima kasih.

“Kamu semangat sekali, Mira?” Mbak Mayang menatapku sembari tersenyum setelah menutup pintu mobil. Kami siap meluncur menggunakan kendaraan roda empat milik Mbak Mayang.

“Yo jelas dong, Mbak. Aku sudah tidak sabar mengambil seluruh hartaku. Hasil kerja kerasku sendiri.”

“Setuju, Mbak mendukungmu. Jadi perempuan itu jangan cengeng. Ketika dikhianati bersedih boleh. Manusiawi itu, tapi jangan berlarut-larut. Jangan kalah untuk kedua kalinya. Boleh diduakan karena sudah terlanjur, tapi jangan sampai dirampas hartanya. Segera ambil tindakan.” Mbak Mayang memberikan mengoperasikan mobilnya.

“Mbak sudah hubungi sopir truknya?” t

“Sudah aman.” Mbak Mayang menjawab sembari fokus melihat ke arah jalan. Kami sudah meninggalkan rumah ibuku.

“Apa saja yang dibeli pake uangmu sendiri, De?” Mbak Mayang bertanya setelah sampai jalan raya.

“Spring bed, meja rias, tv LED, sofa. Sebenarnya peralatan dapur juga banyak. Tapi, aku nggak berminat karena memang hanya barang-barang murahan yang di rumah ibu juga sudah ada. Paling nanti mau aku ambil presto, blender dan mixernya aja. Selebihnya biar diambil Bu Mumun atau biar dipake untuk istri keduanya Mas Tama nanti.”

Ya rencananya aku akan mengambil perabotan yang aku beli menggunakan uangku sendiri. Sungguh, aku tidak rela bila hasil keringatku dinikmati oleh keluarga penghianat itu. Sudah cukup selama ini aku membagi hasil kerjaku dengan mereka. Tidak ada lagi membantu mereka mulai saat ini.

Rencananya, nanti barang-barang itu akan dijual. Untuk sementara waktu aku titipkan dulu di rumah Mbak Mayang.

Di dalam mobil, Mbak Mayang banyak memberikan masukan ini dan itu. Salah satunya, memberikan saran untuk segera membuka usaha setelah resmi bercerai dari Tama.

“Aku menunggu waktu yang tepat untuk menyampaikannya semua ini pada ibu, Mbak. Aku tak mau keputusanku ini mempengaruhi kesehatan beliau. Untuk sementara waktu, aku akan pura-pura baik-baik saja.”

“Iya, Mbak setuju. Kamu pastikan ibumu benar-benar sehat dulu seperti dulu lagi. Selepas itu, pelan-pelan berikan pengertian kenapa kalian harus bercerai.”

Aku mengangguk setuju dengan ucapan Mbak Mayang. Banyak hal yang kami bicarakan hingga tanpa terasa mobil sudah sampai di rumah yang selama dua tahun setengah aku tempati.

“Sepi, De. Aman ini.” Mbak Mayang terlihat celingak-celinguk.

Lekas aku membuka pintu dengan kunci cadangan yang biasanya kubawa.

Dengan langkah lebar aku memasuki rumah, mencari barang-barang yang siap diamankan. Mataku membulat sempurna saat menyadari tidak ada TV LED yang biasa bertengkar di atas meja di ruang tengah. Kemana ini?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status