Share

Bab 0009

“Iya, Pak harganya sudah segitu. Cocoklah dengan kondisi motornya yang masih mulus dan suaranya yang masih halus.” Suami Mbak Mayang tersenyum ramah. Aku puas dengan cara penjualan Kakak sepupuku itu.

Tidak butuh waktu lama kendaraan ku pun ini sudah beralih tangan dengan segala prosedurnya. Kebetulan sekali Mbak Mayang dan suaminya memiliki bisnis jual beli kendaraan. Jadi sangat terbantu.

“Apa rencanamu selanjutnya?” Mbak Mayang menepuk pundakku, setelah mentransfer sejumlah uang ke rekeningku, sesuai dengan harga yang disepakati tadi.

Kami duduk di kantin rumah sakit.

“Menjual semua perhiasan yang ada, Mbak.” Mbak Mayang mengangguk seraya mengacungkan jempolnya.

“Kamu bisa mengurusnya sekarang. Biar Mbak yang menangani ibumu. Kamu harus gerak cepat sebelum mereka menyadari semuanya.”

“Nggak papa aku tinggal sebentar, Mbak?” Aku memastikan.

“Nggak papa. Justru di sini mumpung dekat dengan toko emasnya. Kamu bawakan?” Aku mengangguk.

“Bagaimana dengan motor yang ada di Lilik?” tanya suaminya Mbak Mayang.

Kami segera mengatur strategi. Karena biar bagaimanapun STNK dan BPKB motor itu atas nama Lilik sendiri. Jadi, kami tidak bisa gegabah.

****

“Wah … ada yang habis jual emas rupanya. Punya banyak duit dong?”

Aku tersentak kaget, menegang sesaat saat menyadari siapa pemilik suara di belakangku, Santi. Kakak iparku, kakak perempuan satu-satunya Tama.

Entah bagaimana ceritanya manusia ondel-ondel itu bisa berada di sini? Kenapa dunia ini sempit sekali? Kenapa aku harus bertemu dengan orang yang sangat ingin aku hindari saat ini. Beruntungnya, uang sudah aku masukkan ke dalam tas. Jadi aman untuk sementara waktu. Pasti, setelah ini akan ada drama dari keluarganya Mas Tama. Tidak mungkin perempuan

“Amira? Kamu nggak tuli ‘kan aku ngomong apa?” Dia menepuk pundakku yang masih menghadap ke etalase toko emas.

Dengan senyum manis aku membalikkan badan, setelah bisa menguasai keadaan.

“Namanya juga habis jual perhiasan, ya, pasti punya banyak uang dong, Mbak. Kalau aku punya uang banyak mau apa? Minta seperti biasanya, maaf kali ini aku tidak akan membaginya denganmu.” Setelah puas menjawab aku pergi meninggalkan toko tersebut sembari mengibaskan tangan di depan mukanya.

“Awas kamu, ya? Akan aku adukan pada Tama.” Suaranya penuh ancaman. Tapi, aku tak peduli.

Setelah lima langkah, aku membalikkan badan, mencebik ke arahnya. Terlihat tangannya mengepal kuat-kuat. Di sampingnya seorang perempuan menarik tangannya untuk melihat ke arah etalase.

Sepertinya Santi datang ke toko ini sedang menemani seseorang membeli perhiasan.

Belum sampai rumah sakit handphoneku sudah berdering. Gegas, kuambil benda pipih itu dari dalam tas. Nama mertua terpampang jelas di sana.

“Ada apa, Bu?” sapaku setelah memberikan salam kepadanya.

“Kamu habis jual perhiasan, Amira?” tanya Bu Mumun tanpa tedeng aling-aling.

Tepat seperti dugaanku, Sanri pasti laporan kepada ibunya. Dasar keluarga keroyokan.

“Ya, kenapa?” Tanpa takut aku menjawabnya.

“Berikan uang itu kepada Ibu.” Suara Bu Mumun penuh intimidasi. Enak sekali dia. Memangnya siapa main minta-minta.

“Maaf, Bu. Uang itu akan saya gunakan untuk pengobatan ibu saya.” Lagi, aku berbohong. Ya Allah … ampuni hamba, demi menutupi kebohongan satunya, hamba harus kembali berbohong.

“Jangan serakah kamu. Bagi dua uang itu dengan ibu. kamu belinya perhiasan pun menggunakan uangnya Tama. Dasar menantu tidak punya malu.” Umpatan itu kembali ke luar dari bibir orang yang disebut mertua.

“Bu, pernah tanya nggak sih gaji anakmu itu berapa?”

“Gaji Tama lima juta. Kenapa?”

Sebesar itu rupanya. Sakit hatiku mengetahui kenyataan itu. Aku pikir dulu gaji Tama hanya sebesar tiga juta. Karena yang ia berikan kepadaku hanya satu juta. Satu juta untuk setoran motor gedenya, satu juta lagi untuk bensin dan segala kebutuhannya. Dan aku percaya saja selama ini.

“Terima kasih sudah memberitahuku sebuah kebenaran. Sebab, yang aku tahu selama ini gaji Mas Tama hanya tiga juta. Itu pun yang ia berikan kepadaku satu juta, Bu. Hanya untuk memenuhi kebutuhan kami. Itu pun aku harus nombok banyak setiap bulannya. Jadi, jangan pernah berpikir aku bisa membeli perhiasan dari uang Mas Tama. Setelah tahu fakta ini aku harap Ibu tidak lagi meminta ini dan itu dari aku. Karena anakmu sendiri nyatanya tidak bisa membelikan aku apa-apa. Untuk sekedar skincare dan baju pun aku harus beli sendiri.”

Kali ini kesabaran dan rasa hormatku menguap entah kemana. Tak ada lagi sopan santun seperti biasanya. Dulu, seberat apa pun hinaan Bu Mumun, aku masih berusaha keras untuk tetap sopan kepadanya karena menghormati Tama. Tapi, setelah mengetahui pengkhianatan itu, rasa hormat seakan hilang begitu saja.

“Kamu, ya!” Suara Bu Mumun kembali melengking.

Kali ini aku memilih mematikan sambungan telepon sepihak. Kejang-kejanglah di sana, Bu. Kamu kira masih bisa menindas aku seperti biasanya. Amira sekarang bukan Amira yang dulu. Lihat kejutan besok pagi, Bu. Aku akan melakukan sesuatu yang tidak kamu pikirkan sebelumnya.
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Sri Wartini
seneng bacanya .. ada perempuan yg cerdas dan bijaksana dlm mengurai masalah ... amiira the best
goodnovel comment avatar
Harma Putri
bagus amira.saya suka dgn tindkan mu wkwkwk
goodnovel comment avatar
Tari Emawan
tenang aja, de..pulisi ga akan bergerak klo ga ada bayarannya. Emang mba ipar pnya uang?
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status